Pembangunan PLTA Batang Toru Dinilai Tidak Rusak Lingkungan
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air Batang Toru di Sipirok, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara dianggap tidak merusak lingkungan sebab dibangun di Areal Penggunaan Lain atau APL, bukan di wilayah hutan primer. Proyek ini juga dianggap tidak merusak ekosistem orangutan Tapanuli yang jumlahnya tinggal 800 individu.
Senior Executive for External Relations PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE) Firman Taufick mengatakan, pihak PT NSHE membangun PLTA Batang Toru di atas lahan Areal Penggunaan Lain (APL). “Kami tidak menggunakan lahan hutan primer dan luas lahan dengan bangunan permanen hanya 122 hektar atau 0,07 persen dari luas ekosistem Batang Toru,” kata Firman saat berkunjung ke kantor Harian Kompas di Jakarta, Senin (8/4/2019).
PT NSHE telah membeli lahan dari masyarakat sekitar 695 hektar dan hanya menggunakan 122 hektar di antaranya. Sisa lahan yang tidak terpakai akan dikembalikan serta ditanami kembali dengan jenis tanaman pakan satwa liar. Adapun luas ijin lahan yang diperoleh yakni 6.598,35 hektar yang ditujukan untuk eksplorasi, survey, dan perencanaan.
Pembangunan PLTA Batang Toru dilakukan di aliran sungai Batang Toru, kawasan desa Sipirok dan Marancar, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. PLTA ini berkapasitas 510 megawatt dan ditargetkan selesai pada 2022.
Firman menanggapi segala polemik pembangunan PLTA Batang Toru yang dianggap merusak lingkungan dan merugikan penduduk sekitar. Ia menegaskan, seluruh lahan dibeli dari masyarakat dan bekas perkebunan karet serta campuran. “Tidak ada relokasi dan kami memberdayakan penduduk sekitar,” ujarnya.
PLTA Batang Toru tidak akan membuat kekeringan dan banjir karena banjir di hilir akan terjadi apabila debit air lebih besar dari 325 meter kubik per detik di Sipetang yang menjadi bagian hulu bendungan. Adapun saat PLTA beroperasi penuh hanya mengeluarkan debit air maksimum sebesar 207 meter kubik per detik.
PLTA ini juga tidak menutup total sungai sehingga air akan terus mengalir ke bagian hilir. Adapun permasalahan sedimentasi dan banjir sudah rutin terjadi sebelum PLTA Batang Toru dibangun.
Pembangunan PLTA Batang Toru telah menggunakan kajian sehingga tidak akan dibangun di wilayah rawan gempa. Mereka menggunakan studi yang dilakukan oleh Tenaga ahli untuk Desain Bendungan, Kegempaan, dan Terowongan Didiek Djarwadi. Selain itu, mereka telah menggunakan standar ICOLD (International Commissions on Large Dams).
Staf Khusus Komisaris Utama PT NSHE Tito Pranolo mengatakan, genangan yang ada hanya akan naik di sungai saja. “Air tidak akan sampai keluar hingga ke permukaan karena genangan hanya akan naik setinggi 70 meter, sedangkan bendungan ini dibangun di antara bukit setinggi antara 200 hingga 300 meter,” tutur Tito.
Orangutan
Pembangunan PLTA Batang Toru dipandang akan merusak ekosistem orangutan Tapanuli yang jumlahnya tinggal 800 individu. Tito mengatakan, dokumen AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) PLTA Batang Toru telah disusun pada 2014. Adapun isu orangutan Tapanuli baru ditemukan pada 2017 dan dinyatakan sebagai spesies baru.
“Kami telah memperbaiki AMDAL dan akan memasukkan kajian terkait orangutan Tapanuli di dalamnya,” kata Tito.
Senior Advisor Lingkungan PT NSHE Agus Djoko Ismanto menambahkan, pihak PT NSHE telah mengamati empat orangutan yang berada di wilayah tempat pembangunan PLTA Batang Toru. Salah satu orangutan ditemukan berada di sisi bukit yang berbeda.
Orangutan diketahui menyeberang menggunakan pepohonan yang berada di tengah-tengah sungai. Alhasil, mereka tidak akan terisolasi dan dapat bertemu dengan orangutan lainnya.
Selain itu, berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh PT NSHE, jumlah orangutan yang menjelajah di sekitar areal proyek berjumlah antara 2 individu hingga 6 individu sehingga pembangunan PLTA tidak akan membuat orangutan tersebut punah.