Publik Antusias Mengawasi Pemilu
Mendekati hari pemungutan suara Pemilu 2019, publik semakin sadar dan antusias untuk terlibat aktif dalam pengawasan penyelenggaraan pemilu. Kesadaran dan antusiasme ini diungkapkan oleh responden lintas generasi.
Antusiasme ini terekam dalam jajak pendapat Kompas yang dilakukan pekan lalu. Hampir seluruh responden (95,9 persen) sepakat, penyelenggaraan pemilu harus diawasi. Masyarakat juga menyadari betapa pentingnya keterlibatan secara langsung untuk mengawasi pemilu. Lebih dari dua pertiga responden (69,7 persen) menyatakan, pengawasan pemilu seharusnya dilakukan oleh masyarakat.
Kesadaran ini juga bermuara pada antusiasme responden untuk terlibat dalam pengawasan pemilu, baik pada tahap kampanye maupun saat hari pemungutan suara. Pada saat kampanye, publik cenderung responsif ketika melihat sejumlah pelanggaran, seperti pemasangan atribut kampanye yang tidak pada tempatnya. Hampir sepertiga responden (29,8 persen) menyatakan akan melapor ke pengawas pemilu ketika menemukan pelanggaran ini.
Selain itu, tindakan lain juga dilakukan, mulai dari melaporkan kepada pemerintah setempat (16,5 persen) hingga bertindak langsung mencabut atribut kampanye yang dipasang tak pada tempatnya (11,3 persen). Sesuai peraturan Komisi Pemilihan Umum, ada beberapa tempat yang tak boleh dipasangi alat peraga kampanye, seperti taman, pohon, serta sarana dan prasarana publik.
Sikap responsif juga ditunjukkan saat menemukan anak-anak yang ikut serta dalam kampanye. Bahkan, responden menyatakan tak hanya melaporkan ke pengawas pemilu, tetapi juga menyampaikan teguran langsung kepada tim sukses atau partai politik yang berkampanye.
Meski demikian, di balik sikap responsif selama masa kampanye, publik masih cenderung pasif terhadap beberapa hal yang cukup sensitif, seperti politik uang. Lebih dari sepertiga responden masih memilih diam jika melihat atau mengetahui kondisi ini. Hal ini menjadi tantangan bagi penyelenggara pemilu mengingat masih tingginya jumlah temuan pelanggaran terkait pemilu.
Menurut catatan Badan Pengawas Pemilu, hingga 1 April 2019 terdapat 6.649 temuan dan laporan terkait pelanggaran pemilu. Pelanggaran yang ditemukan antara lain berupa pelanggaran administrasi, kode etik, dan pelanggaran hukum lainnya. Tentu dibutuhkan partisipasi masyarakat untuk memberikan laporan jika menemukan pelanggaran, termasuk politik uang.
Hari pemilihan
Selain pada masa kampanye, publik juga antusias mengawasi hari pemungutan suara. Minat untuk berpartisipasi dituangkan dalam wadah yang beragam, mulai dari bergabung dalam organisasi relawan hingga menjadi saksi di tempat pemungutan suara.
Berpartisipasi dalam lembaga pemantau pemilu juga menjadi salah satu hal yang menarik minat publik. Hampir separuh responden (47,1 persen) menyatakan tertarik untuk terlibat di lembaga pemantau pemilu. Hal ini mengindikasikan bahwa publik mulai menyadari pentingnya peran lembaga itu untuk menjaga kualitas pemilu.
Menariknya, generasi milenial juga menyatakan tertarik untuk bergabung dalam lembaga pemantau pemilu. Lebih dari separuh responden (55 persen) dengan rentang usia 31-40 tahun atau milenial matang menyatakan tertarik untuk bergabung dalam organisasi pemantau pemilu. Selain itu, hampir sepertiga bagian responden milenial muda (17-30 tahun) juga tertarik ikut serta. Meski tak besar, hal ini mengindikasikan kalangan pemilih mula mulai tertarik berperan aktif dalam pengawasan pemilu.
Tingginya antusiasme publik untuk ikut serta dalam pemantau pemilu ini berbanding lurus dengan banyaknya lembaga pemantau pemilu pada hari pemungutan suara 17 April 2019. Hingga 26 Maret, Bawaslu telah memberikan akreditasi kepada 51 lembaga pemantau pemilu. Jumlah ini terdiri dari 49 lembaga pemantau dalam negeri dan 2 lembaga pemantau luar negeri.
Gerakan untuk mengawasi pemilihan umum juga muncul dari akar rumput. Kebanyakan gerakan ini dilakukan dengan memanfaatkan perkembangan teknologi yang ada, seperti kawalpemilu.org dan kawalpilpres2019.id. Gerakan serupa dilakukan melalui media sosial yang mengajak masyarakat untuk ikut serta dalam pemantauan pemilu secara langsung.
Selain terlibat di organisasi pemantau pemilu, publik juga tertarik memantau pemilu dengan bertindak sebagai saksi di TPS. Ketertarikan yang lebih besar ditunjukkan oleh publik untuk menjadi saksi pasangan calon presiden dan wakil presiden (46,6 persen). Sementara hanya 39,4 persen responden yang menyatakan tertarik untuk bergabung sebagai saksi dari partai politik.
Penghitungan suara
Pengawasan juga dinyatakan oleh responden, yakni pada proses penghitungan suara. Sebesar 65,4 persen responden lebih tertarik mengikuti penghitungan suara pemilihan presiden dan wakil presiden di TPS hingga selesai. Sementara itu, sebanyak 60,1 persen responden menyatakan tertarik mengikuti penghitungan suara pemilihan anggota legislatif.
Hanya saja, responden justru lebih antusias untuk memantau hasil pemilu dari hitung cepat atau quick count. Sebesar 81 persen responden menyatakan akan memantau hasil pemilu melalui tahap ini. Lembaga penyiaran memang diizinkan menayangkan hasil hitung cepat 2 jam setelah selesainya pemungutan suara di wilayah Indonesia bagian barat.
Tentu saja hal ini menjadi lebih menarik karena publik bisa mengetahui hasil pemilu lebih cepat. Apalagi, publik harus menunggu hingga Mei untuk mengetahui hasil resmi dari KPU. Sebab, rekapitulasi dan penetapan hasil penghitungan suara tingkat nasional baru akan berlangsung pada 9-22 Mei 2019.
Hitung cepat memang menjadi magnet bagi responden di semua generasi. Dari kelompok usia 17-30 tahun (milenial muda), misalnya, 71,4 persen responden menyatakan akan memantau hasil pemilu melalui hitung cepat.
Ketertarikan yang lebih besar ditunjukkan oleh kelompok responden dari generasi berikutnya. Mayoritas responden (87,4 persen) dari kelompok usia 31-40 tahun juga akan memantau hasil pemilu dari hitung cepat. Begitu juga halnya dengan sebagian besar responden dari generasi X (41-52 tahun) dan baby boomers (53->71).
Antusiasme masyarakat untuk memantau pemilu ini berbanding lurus dengan minat masyarakat menggunakan hak pilihnya pada 17 April. Hampir seluruh responden (97,8 persen) menyatakan akan menggunakan hak pilihnya di TPS. Pada pemilu kali ini, KPU menargetkan tingkat partisipasi pemilih mencapai 77,5 persen. Angka ini naik dari target partisipasi pemilih di Pemilu 2014, yakni 75 persen.
Tingkat partisipasi pemilih di Indonesia memang cenderung bergerak fluktuatif sepanjang era reformasi. Tahun 1999, pemilu pertama saat reformasi, angka partisipasi pemilih mencapai 92,74 persen. Pada pemilu selanjutnya, angka ini terus menurun, hingga kemudian baru sedikit naik pada Pemilu 2014 menjadi 75,11 persen. Tentu, tingginya antusiasme responden itu diharapkan bisa membuahkan harapan terhadap meningkatnya partisipasi pemilih di pemilu tahun ini.
Berdasarkan daftar pemilih tetap yang dirilis KPU, terdapat 192,8 juta jiwa yang memiliki hak pilih pada Pemilu 2019. Dari jumlah ini, sebanyak 31,3 persen atau 60,3 juta pemilih berasal dari generasi muda berusia 17-30 tahun. Oleh karena itu, tentu saja, antusiasme generasi muda juga dinantikan dalam pergelaran pemilu nanti.
Penyelenggaraan pemilu tinggal menghitung hari dan hasilnya akan berdampak pada dinamika kehidupan negara ini lima tahun mendatang. Kesadaran dan antusiasme publik yang tinggi untuk mengawasi proses penyelenggaraan pemilu merupakan modal sosial untuk menjamin kualitas dan kemurnian hasil Pemilu 2019.