Tampak Lamban, Redistribusi Lahan Dijalankan Hati-hati
JAKARTA, KOMPAS — Belum ada redistribusi lahan dari kawasan hutan yang benar-benar diberikan dalam bentuk sertifikat. Padahal Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2015-2019 mengamanatkan redistribusi program tersebut seluas 4,1 juta hektar.
Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) hingga Desember 2018, baru sejumlah 2,4 juta hektar lahan di kawasan hutan yang disiapkan bagi redistribusi lahan atau biasa disebut tanah obyek reforma agraria (TORA). Perjalanannya terkesan lamban karena pelepasan kawasan hutan butuh dilakukan secara hati-hati.
Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) hingga Desember 2018, baru sejumlah 2,4 juta hektar lahan di kawasan hutan yang disiapkan bagi redistribusi lahan atau biasa disebut tanah obyek reforma agraria (TORA).
Kehati-hatian tersebut untuk memastikan subyek TORA atau penerima redistribusi lahan benar-benar pihak yang tepat serta pelepasan tersebut tidak mal administrasi. Misalnya berasal dari “pemutihan kasus” yang seharusnya diselesaikan melalui penegakan hukum.
“Jangan sampai diterima di luar yang berhak mendapatkannya. Penerima harus pas,” kata Sigit Hardwinarto, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK, Sabtu (6/4/2019), di Jakarta.
Karena itu, proses TORA yang berasal dari penguasaan tanah masyarakat di dalam kawasan hutan ini diselesaikan melalui dua jalur menurut kategorinya. Jalur pertama yang termasuk kategori inventarisasi dan verifikasi (Inver) Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (PKTH) melalui tim Inver.
Kategori Inver PTKH ini menyangkut permukiman transmigrasi beserta fasilitas umum dan fasilitas umum yang telah memperoleh persetujuan prinsip, permukiman beserta fasilitas sosial dan fasilitas umum, lahan garapan berupa sawah dan tambak rakyat, dan pertanian lahan kering yang menjadi sumber mata pencaharian utama masyarakat setempat. Pada kategori ini didapat lahan seluas 993.199 hektar yang hasilnya telah diserahkan kepada gubernur.
Proses panjang
Proses selanjutnya, masih panjang. Gubernur merekomendasikan hasil ini kepada Menko bidang Perekonomian sebagai Ketua Tim Percepatan PPTKH yang menganalisis rekomendasi dan memberikan persetujuan. Hasil persetujuan Tim Percepatan PPTKH disampaikan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK).
Menteri LHK menyampaikan hasil persetujuan kepada gubernur/walikota/bupati/ Tim Inver PTKH. Kemudian, Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) unit di bawah KLHK melakukan penataan batas dan hasilnya ditetapkan Menteri LHK. Terakhir, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional menyertifikasinya.
Sigit Hardwinarto menyadari mekanismenya sangat panjang. Ia beralasan karena birokrasi ini menyesuaikan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan sebelumnya. “Makanya Pak Darmin (Nasution, Menteri Koordinator Perekonomian) bilang agak rumit ya memang,” kata dia.
Ia mengatakan saat ini telah terbit Surat Keputusan Gubernur pada 26 provinsi yaitu Aceh, Riau, Sumut, Sumbar, Jambi, Kepri, Bengkulu, Sumsel, Babel, Kalbar, Kalteng, Kalsel, Kaltara, Kaltim, Sulsel, Sulbar, Sultra, Sulteng, Gorontalo, Sulut, NTB, NTT, Maluku, Maluku Utara, Papua Barat, dan Papua. Sedangkan 19 provinsi telah membuat rekomendasi Gubernur tentang PPTKH pada 116 kabupaten seluas 352.985 ha. Dari jumlah itu yang telah mendapat pertimbangan persetujuan tim Percepatan PPTKH sebanyak 14 provinsi pada 74 kabupaten seluas 180.013 ha.
Sedangkan penanganan pada kategori non Inver meliputi alokasi Tora dari 20 persen pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan, hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) tak produktif, dan program pemerintah untuk pencadangan pencetakan sawah baru. Totalnya didapat seluas 1,4 juta ha. Rincian ada pada tabel di atas.
Sekretaris Jenderal KLHK, Bambang Hendroyono, menambahkan, berdasarkan perpres tidak seluruh hasil Inver dan non Inver menjadi TORA, sebagian ada yang direkomendasikan menjadi perhutanan sosial sesuai kebutuhan masyarakat. Di kawasan lindung bisa dalam bentuk skema Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Desa, sementara di Kawasan hutan produksi bisa menjadi Hutan Kemasyarakatan, Hutan Desa dan Hutan Tanaman Rakyat.
Berdasarkan perpres tidak seluruh hasil Inver dan non Inver menjadi TORA, sebagian ada yang direkomendasikan menjadi perhutanan sosial sesuai kebutuhan masyarakat.
Karena itu, kerja Inver dan non Inver ini pun nantinya juga mendukung target lain yang “dibebankan” pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk membentuk 4,3 juta ha perhutanan sosial (dari target semula 12,7 juta ha) pada 2019. Hingga kini terbentuk perhutanan sosial seluas 2,6 juta ha.
“Pada akhirnya semua upaya ini untuk menuju kepastian kawasan hutan, kepastian hukum bagi pengelola, dunia usaha, BUMN dan masyarakat, dan kepastian usahanya sehingga kemakmuran masyarakat dapat terwujud”, kata Bambang.
Adendum konsesi
Bambang pun mengatakan telah melakukan addendum terhadap 13 izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) di Provinsi Riau, Jambi, Sumsel, Kaltim, Kalbar, Babel, dan Jambi seluas 34.383 ha berupa area penggunaan lain (APL) untuk diserahkan kepada pemerintah daerah dan dialokasikan seluruhnya bagi masyarakat setempat. Selain itu terdapat pula area hutan lindung (2.685 ha), hutan produksi (13.926 ha), dan kawasan konservasi (155 ha).
Menurut data KLHK, perusahaan tersebut yaitu PT Wirakarya Sakti, Tebo Multi Agro, Bumi Andalas Permai, Bumi Mekar Hijau, Bina Duta Laksana, Bangun Rimba Sejahtera, Ruas Utama Jaya, Balai Kayang Mandiri, Acacia Andalan Utama, Sumalindo Hutani Jaya, Kelawit Hutani Lestari, Kelawit Wana Lestari, dan Daya Tani Kalbar.
Sekjen Bambang Hendroyono mengatakan surat IUPHHK yang terdapat addendum ini akan direvisi dan diterbitkan IUPHHK baru yang luasannya telah dikurangi. Ia pun mengatakan tidak ada insentif terkait addendum ini. “Ini kontribusi perusahaan yang mendukung pelaksanaan TORA dan perhutanan sosial,” kata dia.