UE Waspadai Berita Bohong Menjelang Pemilu Eropa
BRUSSELS, MINGGU —Komisi Uni Eropa mewaspadai ancaman penyebaran berita bohong yang digerakkan negara dan disebarkan melalui media sosial untuk meracuni lanskap politik Eropa menjelang pemilihan parlemen Eropa, Mei mendatang.
”Ada kekuatan eksternal anti-Eropa yang berusaha, baik secara terbuka maupun diam-diam, memengaruhi pilihan demokratis orang Eropa,” kata Donald Tusk, Presiden Dewan Eropa, belum lama ini.
Tusk mengklaim, hal itulah yang terjadi pada ”kasus Brexit dan sejumlah kampanye pemilu di seantero Eropa”.
Pada 23-26 Mei 2019, warga Eropa akan mendatangi tempat-tempat pemungutan suara untuk memilih sekitar 700 anggota parlemen Uni Eropa yang berkedudukan di Strasbourg, Perancis. Parlemen Eropa bertugas mengawasi legislasi di semua negara Eropa.
Memasuki minggu-minggu terakhir kampanye, Minggu (7/4/2019), para pejabat akan waspada penuh dan khawatir bahwa pihak lawan, termasuk Moskwa, akan mencoba menyebarkan berita bohong melalui media sosial. Penyebaran berita-berita bohong itu bakal meningkatkan dukungan pada berbagai partai populis, memperdalam perpecahan yang ada selama pemilihan, dan merusak kepercayaan pada demokrasi atau institusi Uni Eropa.
Beberapa pihak bahkan menyebut fenomena itu sebagai sebuah serangan yang dikendalikan negara. ”Ada bukti kuat yang menunjuk Rusia sebagai sumber utama disinformasi di Eropa,” kata Wakil Ketua Komisi Uni Eropa dan mantan Perdana Menteri Estonia, Andrus Ansip.
”Disinformasi merupakan bagian dari doktrin militer Rusia sekaligus strategi untuk memecah belah dan melemahkan negara Barat,” ujar Ansip, Desember 2018.
Kepercayaan publik terhadap institusi negara, Uni Eropa, dan media arus utama sudah menurun. Di titik inilah para pengguna internet yang mencari pundi-pundi uang dari jumlah klik di internet menemukan pasar bagi berita-berita bohong.
Propaganda yang dipimpin negara, ditambah efek viral dari platform media sosial yang berbasis di Amerika Serikat, seperti Facebook, Twitter, dan Youtube, menjadi resep ampuh untuk melancarkan serangan.
Mariya Gabriel, Komisioner Uni Eropa untuk Ekonomi Digital, menyebut hal itu sebagai sebuah ”momok tak terlihat yang mengganggu kehidupan warga dan memengaruhi opini serta pengambilan keputusan”.
Panduan
Menanggapi hal itu, Komisi Uni Eropa telah membuat panduan bagi negara-negara anggotanya agar mendukung jurnalisme berkualitas atau bekerja sama dengan lembaga pemeriksa fakta independen.
Selain itu, pada Maret 2019 dibangun juga ”sistem peringatan dini” yang memungkinkan setiap ibu kota negara berbagi informasi apabila ada ”upaya terkoordinasi dari aktor asing untuk memanipulasi” debat demokratis yang berlangsung.
Badan Urusan Eksternal Komisi Uni Eropa (EEAS) memiliki tim yang terdiri atas 15 orang dengan tugas mendeteksi dan menganalisis kampanye disinformasi yang menargetkan Uni Eropa.
Situs web mereka, yaitu UE vs disinformasi (https://euvsdisinfo.eu/), telah menangkal lebih dari 5.000 berita palsu yang mayoritas terkait Rusia.
Akan tetapi, Paul Butcher dari Pusat Kebijakan Eropa mengamati, melibatkan badan intelijen negara atau kementerian, seperti EEAS, dalam kampanye bisa kontraproduktif. Hal itu akan memicu kecurigaan adanya penyensoran.
Menurut Butcher, pilihan yang lebih baik untuk melakukan kontrapropaganda yang dipimpin lembaga negara adalah dengan menyiapkan ”resistensi struktural terhadap disinformasi melalui upaya masyarakat sipil, lembaga swadaya masyarakat, dan swasta”.
Dalam beberapa bulan terakhir, otoritas Eropa telah mendesak pengembang platform daring untuk lebih akuntabel dalam memasang konten yang akan dilihat jutaan pasang mata penggunanya. Beberapa negara, seperti Perancis, sudah memutuskan untuk mengatur hal itu dalam regulasi.
Tahun lalu, Facebook, Google, dan Twitter menandatangani kode praktik dengan otoritas di Brussels. Dengan kode ini, industri berkomitmen untuk transparan dalam iklan politik, menutup akun palsu, dan memblokir akun ”penyebar informasi palsu” dengan menghentikan pembayaran iklannya.
Inisiatif itu telah membuahkan hasil. Namun, menurut Komisi Eropa, dinding pemisah antara informasi benar dan salah masih belum kebal dari serangan. (AFP/REUTERS/ADH)