Debat Perlu Angkat Persoalan Ekonomi yang Lebih Substantif
Oleh
Karina Isna Irawan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Debat kelima pemilihan presiden diharapkan menyentuh inti persoalan dalam perekonomian RI. Pembahasan isu ekonomi oleh kedua kandidat presiden dinilai masih parsial dan berkutat pada hal-hal kecil, seperti harga komoditas dan kebutuhan pokok saja.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah Redjalam berpendapat, sejauh ini pembahasan isu ekonomi dalam debat pemilihan presiden masih parsial. Kedua kandidat belum memunculkan masalah-masalah utama dalam perekonomian nasional.
“Isu ekonomi yang diangkat masih isu-isu kecil, seperti harga cabai dan kebutuhan pokok lain. Ini bukan inti (masalah) apalagi untuk debat di level presiden,” kata Piter dalam diskusi publik bertema ulasan ekonomi triwulan I-2019 dan isu jelang debat kelima calon presiden di Jakarta, Selasa (9/4/2019).
Menurut Piter, permasalahan utama di sektor keuangan mesti dibahas calon presiden dalam debat nanti. Saat ini setidaknya ada dua masalah sektor keuangan Indonesia, yaitu suku bunga tinggi yang menyebabkan biaya ekonomi tinggi, dan struktur ekonomi lemah sehingga terjadi defisit transaksi berjalan.
Dibandingkan negara-negara kawasan Asia Tenggara, lanjut Piter, perkembangan sektor keuangan Indonesia masih rendah. Misalnya, defisit transaksi berjalan Indonesia menjadi salah satu yang terdalam dibandingkan negara tetangga, yakni sebesar 3 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).
Sebagai perbandingan, neraca transaksi berjalan Malaysia surplus 2,3 persen, Vietnam surplus 3 persen, Thailand surplus 7,5 persen, bahkan Singapura surplus 19 persen. Defisit neraca transaksi berjalan dialami Filipina sebesar 2,4 persen.
Setidaknya ada dua masalah sektor keuangan Indonesia, yaitu suku bunga tinggi yang menyebabkan biaya ekonomi tinggi dan struktur ekonomi lemah sehingga terjadi defisit transaksi berjalan
“Defisit transaksi berjalan yang cukup dalam ini yang menyebabkan nilai tukar rupiah sangat rentan terhadap dinamika global,” kata Piter.
Menurut Piter, permasalahan defisit transaksi berjalan sudah dialami Indonesia selama bertahun-tahun. Hal itu karena perbaikan tidak dilakukan secara tuntas oleh pemerintah periode-periode sebelumnya. Publik berharap calon presiden memunculkan masalah disertai solusi terbaik.
Mengutip data Bank Indonesia (BI), defisit transaksi berjalan pada triwulan IV-2018 sebesar 9,1 miliar dollar AS atau 3,57 persen produk domestik bruto (PDB). Defisit itu lebih besar dari triwulan III-2018 karena laju impor barang nonmigas lebih tinggi dari ekspor.
Selain neraca dagang, defisit transaksi berjalan triwulan IV-2018 juga disebabkan defisit neraca jasa 1,6 miliar dollar AS dan neraca pendapatan primer 7 miliar dollar AS. Secara keseluruhan, defisit transaksi berjalan pada Januari-Desember 2018 sebesar 31,1 miliar dollar AS atau 2,98 persen PDB.
Sebelumnya, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara mengatakan, tekanan global yang bersumber dari kenaikan suku bunga acuan Amerika Serikat menyebabkan pelemahan nilai tukar di hampir semua negara. Risiko pelemahan nilai tukar akan lebih besar menimpa negara-negara yang memiliki defisit transaksi berjalan, termasuk Indonesia.
Mirza menyebutkan, defisit transaksi berjalan masih mungkin untuk diperbaiki. Pada 2016-2017, defisit transaksi berjalan bisa di bawah 2 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) karena inflasi rendah dan ekspor tumbuh. Bank Indonesia menargetkan defisit transaksi berjalan tahun 2019 di bawah 2,5 persen PDB.