AMBON, KOMPAS — Penggunaan merkuri dan sianida secara besar-besaran di kawasan tambang emas liar Gunung Botak di Pulau Buru, Maluku, selama lebih dari tujuh tahun telah merusak lingkungan. Sejumlah warga dilaporkan terpapar merkuri. Kondisi itu dianggap sangat mengancam ketahanan bangsa.
Sekretaris Jenderal Dewan Ketahanan Nasional Letnan Jenderal Doni Monardo dalam pemaparannya pada kegiatan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Provinsi Maluku di Ambon, Selasa (9/4/2019), kembali mengingatkan akan bahaya tersebut. Hingga saat ini belum dilakukan penanganan terhadap lingkungan yang tercemar.
Doni mengungkapkan sejumlah hasil penelitian yang menunjukkan bahwa air, sedimen, ikan, kepiting, dan udang di Teluk Kayeli sudah tercemar merkuri. Selama ini, warga masih mengonsumsi makanan tersebut. Sejumlah warga pun dilaporkan telah terpapar merkuri. ”Bagaimana dengan generasi di daerah ini? Ini sangat mengancam ketahanan nasional,” ujar mantan Panglima Kodam XVI/Pattimura itu.
Seperti yang diberitakan sebelumnya, penelitian Yusthinus T Male, dosen Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pattimura, yang dirilis November 2015, menyebutkan, pencemaran merkuri sudah parah. Sampel rambut warga sekitar lokasi memperlihatkan kadar merkuri 18 miligram (mg) per 1 kilogram (kg) sampel atau lebih tinggi 36 kali dari standar minimum.
Bagaimana dengan generasi di daerah ini? Ini sangat mengancam ketahanan nasional.
Konsentrasi merkuri pada udang di atas tiga kali lipat dari standar, ikan tujuh kali, kerang enam kali, dan kepiting dua kali. Standar minimal konsentrasinya 0,5 mg per 1 kg sampel (Kompas, 28/3/2019). Merkuri digunakan petambang untuk mengikat emas dari mineral lain. Limbah pengolahan emas itu dibuang ke sungai, pekarangan rumah, dan dekat areal persawahan.
Hasil penelitian Yusthinus itu selaras dengan hasil penelitian dari Kesehatan Kodam Pattimura yang menggandeng sejumlah dokter pada Desember 2016. Mereka mengambil sampel darah warga di sekitar Gunung Botak. Dari 23 orang yang diambil sampelnya, 22 orang di antaranya punya kadar merkuri dalam tubuh melebihi ambang batas 0,000010 gram dalam 1 liter darah (Kompas, 25/10/2018).
Doni berharap ada keseriusan dari pemerintah daerah dan aparat keamanan setempat untuk menjaga agar tidak ada lagi penambangan liar dan pengolahan emas menggunakan merkuri atau sianida. Saat ini, aktivitas penambangan di Gunung Botak sudah ditutup dan dijaga oleh aparat. Penutupan itu dipimpin oleh Kepala Polda Maluku Inspektur Jenderal Royke Lumowa pada Oktober 2018.
Penutupan pernah dilakukan lebih dari 30 kali sejak tambang mulai beroperasi pada Oktober 2011. Saat Doni memimpin Kodam Pattimura, dirinya yang menginisiasi penutupan besar-besar pada November 2015. Seiring dengan perpindahan tugas Doni dari Kodam Pattimura, para petambang masuk lagi ke sana. Kondisi serupa dikhawatirkan jika Royke dipindahkan dari Polda Maluku.
Kepala Bidang Humas Polda Maluku Komisaris Besar M Roem Ohoirat menjamin bahwa tidak ada lagi petambang yang masuk ke Gunung Botak. Pekan lalu ada petambang yang kedapatan mengolah emas menggunakan merkuri. Mereka masuk mengambil material di Gunung Botak lewat jalur yang tidak diawasi aparat. Kini, mereka sedang menjalani proses hukum.
Kepala ikan
Yusthinus kepada Kompas menyarankan agar masyarakat tidak mengonsumsi kepala ikan. Merkuri yang masuk ke dalam tubuh ikan akan menumpuk di bagian kepala. Merkuri masuk melalui rantai makanan. Metil merkuri dimakan plankton, plankton dimakan ikan kecil, dan ikan kecil dimakan ikan sedang, dan ikan sedang dimakan ikan besar. Ikan ikan sedang dan ikan besar itulah yang dimakan manusia.
Jika sudah masuk ke dalam tubuh manusia, merkuri akan terus mengendap. Merkuri tidak keluar lewat keringat ataupun saat buang air besar dan buang air kecil. Merkuri dapat menembus plasenta. Anak yang dikandung oleh ibu yang terpapar merkuri dalam konsentrasi tinggi kemungkinan besar akan mengalami cacat fisik dan mental, seperti tragedi Minamata di Jepang.