Gubernur Sulteng Usulkan Kombinasi Mangrove dan Tanggul di Teluk Palu
Oleh
VIDELIS JEMALI
·3 menit baca
PALU, KOMPAS — Gubernur Sulawesi Tengah Longki Djanggola mengusulkan kombinasi pembangunan tanggul dan mangrove untuk melindungi pesisir Teluk Palu, termasuk dari ancaman tsunami. Pertimbangan utama pengamanan pesisir Teluk Palu adalah mitigasi.
”Memang rencana awalnya pembangunan tanggul laut. Itu tak masalah, malah kami bersyukur. Tetapi, tak semata-mata tanggul laut itu prioritas. Usulan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Letnan Jenderal Doni Monardo di depan tanggul ditanam mangrove, tidak masalah,” kata Longki di Palu, Sulteng, Selasa (9/4/2019).
Longki menyampaikan hal itu saat dimintai tanggapan Pemerintah Provinsi Sulteng terkait rencana pembangunan tanggul di pesisir Teluk Palu sebagaimana tercantum dalam rencana induk rekonstruksi Sulteng pascagempa bumi, tsunami, dan likuefaksi, 28 September 2018.
Menurut Longki, pembangunan tanggul dan penanaman mangrove bisa dikombinasikan demi mitigasi. Kondisi itu malah memperindah Teluk Palu. ”Kalau itu berhasil, alangkah indahnya Teluk Palu. Ada tanggul laut, ada juga mangrove,” ucapnya.
Longki berharap tidak ada pihak yang mengklaim satu usulan lebih baik daripada usulan atau rencananya lain. Karena tanggul sudah direncanakan dari awal, pembangunannya tidak boleh dihalangi. ”Tetapi, ada ide penanaman mangrove, saya dukung. Kami akan cari sumber pendanaannya,” katanya.
Kalau itu berhasil, alangkah indahnya Teluk Palu. Ada tanggul laut, ada juga mangrove.
Dalam rencana induk rekonstruksi Sulteng pascagempa, di Teluk Palu dibangun tanggul laut. Ini bagian dari ide besar membangun kembali Sulteng menjadi lebih baik (build back better).
Tanggul laut
Kepala Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Sulteng Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Arie Setiadi Moerwanto, beberapa waktu lalu, menyatakan, tanggul laut dibangun untuk mencegah pasang laut dan tsunami.
Tanggul sepanjang 7 kilometer itu akan dikombinasikan dengan pepohonan di bagian belakangnya. Nantinya jalan raya agak tinggi juga dibangun untuk tujuan mitigasi, yakni meredam energi tsunami.
Arie menyebutkan, tanggul dibangun melihat kondisi pantai Teluk Palu yang kebanyakan langsung curam pascatsunami lalu. Kondisi itu tak memungkinkan mangrove tumbuh.
Namun, berdasarkan pengamatan di lapangan, masih terdapat sejumlah tempat yang landai, di mana pasang surut laut bisa terjadi. Lokasi itu di dekat tambak garam Kelurahan Talise, Kecamatan Mantikulore, Palu. Panjangnya mencapai 150 meter dengan jangkauan surut 10-30 meter. Di zona ini dulu tumbuh satu pohon bakau yang hancur karena tsunami lalu.
Menanggapi pernyataan Longki, Andika, Sekretaris Jenderal Pasigala Centre, konsorsium lembaga swadaya masyarakat untuk pengawasan pascabencana Sulteng, menyatakan, hal itu merupakan langkah positif dari polemik antara tanggul dan mangrove selama ini. Namun, pilihan tanggul dan mangrove tetap berbeda dengan segala konsekuensinya. ”Pertama, dari segi anggaran. Itu pasti berbeda jauh. Jelas mangrove berbiaya murah,” katanya.
Pertama dari segi anggaran. Itu pasti berbeda jauh. Jelas mangrove berbiaya murah.
Hal lain, tanggul laut tak cocok dengan kondisi pesisir Teluk Palu yang labil dan rentan dengan penurunan atau kenaikan permukaan karena gempa. Tanggul tak menjawab mitigasi dengan kondisi seperti itu.
”Kami tetap berkukuh dalam konteks mitigasi, pilihan utamanya tetap mangrove. Hanya, konsepnya konservasi dalam arti harus ada perencanaan yang jelas, siapa yang bertanggung jawab dalam pengembangan dan pelestariannya kelak,” ujarnya.