Jokowi dan Mahathir Kirim Surat Keberatan kepada Uni Eropa
Oleh
Ayu Pratiwi
·3 menit baca
BRUSSELS, SELASA — Presiden RI Joko Widodo dan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad keberatan dengan kebijakan diskriminatif Uni Eropa terkait kelapa sawit. Uni Eropa menyingkirkan komoditas itu dalam kategori bahan pangan berkelanjutan. Kebijakan itu dinilai tidak adil karena memberikan lebih banyak peluang kepada komoditas lain masuk pasar Eropa.
Uni Eropa (UE) menuding produksi kelapa sawit telah menyebabkan deforestasi. Hal ini bertentangan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
”Pemerintahan kami memandang kebijakan itu sebagai strategi ekonomi dan politik yang disengaja untuk menyingkirkan minyak kelapa sawit dari pasar UE,” demikian surat tertulis yang ditandatangani Jokowi dan Mahathir yang ditunjukkan kepada Presiden Dewan Eropa Donald Tusk dan Presiden Parlemen Eropa Antonio Tajani tertanggal 5 April 2019.
Dengan demikian, Indonesia dan Malaysia melawan secara keras regulasi Renewable Energy Directive (RED) II yang diluncurkan Uni Eropa. Sesuai dengan target SDGs pada 2030, kedua negara memiliki komitmen terhadap pelestarian hutan, produksi minyak kelapa sawit yang berkelanjutan, dan penanggulangan kemiskinan.
”Kehidupan lebih dari 13 juta orang (petani dan keluarga mereka) di Malaysia dan Indonesia bergantung pada industri minyak kelapa sawit. Oleh sebab itu, kami menolak dengan keras regulasi RED II,” tulis Jokowi dan Mahathir. Mereka berencana menentang kebijakan RED II melalui penyelesaian perselisihan di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan organisasi lain.
Indonesia dan Malaysia memiliki komitmen terhadap pelestarian hutan, produksi minyak kelapa sawit yang berkelanjutan, dan penanggulangan kemiskinan.
Pada 8-9 April 2019, negara-negara penghasil minyak sawit yang tergabung dalam Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) berkumpul di Brussels, Belgia, untuk membahas mengenai isu di atas.
Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution memimpin delegasi Indonesia, sedangkan delegasi Malaysia dipimpin Tan Yew Chong, Sekretaris Jenderal Kementerian Industri Primer Malaysia. Kolombia yang bertindak sebagai negara pengamat diwakili oleh Felipe Garcia Echeverri, Duta Besar Kolombia untuk Kerajaan Belgia yang juga menjabat sebagai Kepala Misi Kolombia untuk UE.
Staf Khusus Menteri Luar Negeri untuk Penguatan Program- program Prioritas Peter F Gontha menceritakan, pada Selasa (9/3/2019), saat di Brussels, mereka telah bertemu dengan pimpinan dari Parlemen Eropa serta usaha-usaha Eropa yang berkepentingan dengan produk kelapa sawit di Indonesia.
”Mereka juga terus terang bahwa sebenarnya perlakuan UE (terhadap minyak kelapa sawit) tidak adil. Namun, karena ada banyak anggota parlemen yang mendukung kebijakan itu, tidak banyak yang bisa mereka perbuat (untuk melawan kebijakan RED II),” kata Peter.
Ketidakadilan kebijakan itu tampak jelas jika dikaitkan dengan tindakan negara-negara Eropa di masa lalu yang telah menyebabkan deforestasi. ”Di Eropa sudah tidak ada hutan lagi. Mereka telah melakukan deforestasi sejak era revolusi industri. Sebanyak 63 persen dari total tanah Indonesia adalah hutan dan kita sedang memperbaikinya. Sementara di Eropa, hanya ada 30 persen,” tutur Peter.
Ia menambahkan, minyak kelapa sawit masih dipandang lebih kompetitif dibandingkan minyak nabati dari tanaman lain. Untuk memproduksi 1 ton minyak nabati menggunakan kedelai, misalnya, diperlukan hingga sembilan kali lebih banyak tanah dibandingkan kelapa sawit.