Kenangan Bersama Jokowi Naik ke Puncak Gunung Kerinci
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
”Ayo, pokok’e kudu isoh tekan puncak, Tok. Nek ora, ngisin-ngisini wong Solo karo wong Semarang (Ayo, pokoknya harus bisa sampai puncak, Tok. Kalau tidak, memalukan orang Solo dan orang Semarang),” ujar Totok Suripto mengutip pernyataan Joko Widodo—Presiden RI saat ini—ketika mendaki Gunung Kerinci, Sumatera Barat, pada 18 Februari 1983, hampir 36 tahun silam.
Totok merupakan teman pendakian Jokowi dari Semarang, sedangkan Jokowi berasal dari Solo. Mereka sama-sama tergabung dalam satu organisasi mahasiswa pencinta alam di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, yang bernama Mapala Silvagama.
Namun, saat pendakian ke Kerinci, mereka tak hanya berdua. Masih ada 11 teman lain yang juga ikut mendaki salah satu gunung api tertinggi se-Asia Tenggara itu.
Totok masih ingat betul, langkah Jokowi begitu cepat sehingga 11 teman lainnya tertinggal jauh di belakang. Namun, Totok harus terus mengimbangi langkah Jokowi karena tak boleh ada pendaki berjalan sendirian di tengah hutan.
”Kami di situ tak boleh berjalan sendirian karena nanti bisa diterkam harimau,” kata Totok.
Setelah hampir 24 jam menyusuri lereng Kerinci, Jokowi ternyata sampai puncak lebih awal. Dia pun langsung mengibarkan bendera Merah Putih dari ketinggian 3.805 meter di atas permukaan laut.
”Jokowi berada di jarak 75 meter lebih dulu dari saya. Dan dari puncak, dia terus menyemangati teman-teman lain yang masih berada di bawah,” ujar Totok.
Menyatukan
Suka duka saat pendakian Kerinci di atas hanya secuil dari serangkaian kisah menarik yang diceritakan ulang oleh sebagian rekan Jokowi dalam peluncuran buku Jokowi Travelling Story: Kerinci 1983 di Jakarta, Senin (8/4/2019) malam. Momen lain yang tak terlupa ialah pendakian itu telah membawa persatuan.
Erwansyah, salah satu rekan pendakian Jokowi, mengungkapkan, kala itu, dampak dari Pemilu 1978 sangat terasa. Hawa panas politik masuk dalam pergaulan di kampus-kampus, termasuk Fakultas Kehutanan UGM.
Dalam berbagai komunitas dan kelembagaan, seolah semua terbagi menjadi dua kelompok yang saling berseberangan, yakni kelompok merah dan hijau. Kelompok merah sering disebut nasionalis, yang diwakili Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), sedangkan kelompok hijau disebut islami, yang diwakili Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Kala itu, Erwansyah, rekan pendakian Jokowi lainnya, menceritakan, angkatan ’80 terus menjadi rebutan dua kelompok tersebut. Erwansyah sendiri sudah masuk dalam kelompok HMI.
Namun, Jokowi saat itu tak pernah ikut kepengurusan atau menjadi anggota organisasi mahasiswa. ”Jadi, ada kelompok putih yang tak berpihak ke mana pun, termasuk Pak Jokowi,” kata Erwansyah.
Lambat laun, ada kesadaran di angkatan ’80 Fakultas Kehutanan UGM bahwa pembagian dua kelompok itu telah memecah belah persatuan antarteman seangkatan. Mereka yang sadar pun mencari sebuah organisasi yang terlepas dari suasana politik kampus. Pilihan jatuh pada organisasi Mapala Silvagama.
”Silvagama ini yang menyatukan kami semua. Dengan Silvagama, kan, tujuannya jelas, selain melakukan hobi, juga bisa belajar organisasi. Kami sadar, di mata alam, semua sama,” lanjutnya.
Singkat cerita, angkatan ’80 yang tergabung dalam Mapala Silvagama itu pun sepakat menjadikan momen naik Gunung Kerinci sebagai tanda persatuan.
Kondisi desa di Kerinci
Sang penulis buku Jokowi Travelling Story: Kerinci 1983, Rifqi Hasibuan, menyadari, kisah pendakian Kerinci oleh tim Mapala Silvagama mungkin hanya akan menjadi cerita biasa kalau tak ada Jokowi di dalamnya. Hanya cerita segerombolan mahasiswa yang naik ke Gunung Kerinci dengan modal nekat.
”Hanya cerita-cerita dramatis, seperti ketinggalan pesawat Hercules lalu pindah jalur darat, cerita mau dibegal, hingga ketemu macan kumbang di tengah hutan. Tentu saja para pendaki lain punya kisah lebih ekstrem dari itu,” tutur Rifqi.
Namun, dengan adanya Jokowi di cerita itu, Rifqi juga tak mau dipandang sinis bahwa dirinya sedang mengampanyekan sosok Jokowi jelang Pemilihan Presiden 2019. Buku dikeluarkan jelang pilpres karena memang tepat pada 16 April nanti Mapala Silvagama merayakan ulang tahun ke-41.
Rifqi menegaskan, buku Jokowi Travelling Story: Kerinci 1983 murni potret sosok Jokowi semasa kuliah, secara khusus saat bergabung dengan tim Mapala Silvagama. Kisah-kisah yang terkandung dalam buku itu pun berasal langsung dari ingatan rekan Jokowi semasa perkuliahan.
”Kami sadar, karena aktor yang terlibat adalah orang nomor satu di negeri ini, Pak Jokowi, tentu ini dipandang politis, terserah. Tetapi, kami coba memotret apa adanya,” katanya.
Meski demikian, entah kebetulan atau tidak, Rifqi menyebut, memang banyak dari rangkaian cerita dan pesan di dalam buku ini ternyata cukup mirip dan beririsan dengan kondisi Jokowi saat ini.
Buku Jokowi Travelling Story: Kerinci 1983, misalnya, bercerita betapa buruknya perjalanan darat dari Jakarta menuju Sumatera. Oleh karena itu, Jokowi saat ini cukup giat melakukan pembangunan infrastruktur.
Buku ini juga bercerita soal kondisi desa-desa saat itu di Kerinci yang sangat tertinggal dengan di Jawa. Sekarang, Jokowi terus menggenjot program dana desa supaya tidak ada lagi status desa tertinggal.
Hal paling utama, buku ini menegaskan bahwa Jokowi memang menjadi bagian dari Fakultas Kehutanan UGM dan anggota Mapala Silvagama. Namun, itu mungkin hanya kebetulan, mungkin juga tidak, karena Jokowi-lah yang saat ini menjabat sebagai Presiden RI.
Teman dekat pendakian Jokowi, Totok, ingat bahwa Jokowi seusai dilantik sebagai presiden pernah berkelakar. ”Ini semua karena saya naik Kerinci nomor satu, saya menjadi presiden. Coba kalau kamu, Tok, yang nomor satu, mungkin kamu yang menjadi presiden.”