Sebagai partai yang lahir dari rahim gerakan reformasi, Partai Amanat Nasional dibidani beberapa organ pergerakan 1998. Majelis Amanat Rakyat merupakan salah satu organ gerakan reformasi yang mendirikan PAN. Selain itu, ada pula Pusat Pengkajian Strategi dan Kebijakan Muhammadiyah dan Kelompok Tebet.
Majelis Amanat Rakyat (MARA) merupakan salah satu gerakan yang kritis pada pemerintahan Presiden Soeharto. Saat MARA dideklarasikan pada 14 Mei 1998 di Jakarta, banyak pihak mempertanyakan apakah majelis ini nantinya akan bertransformasi menjadi partai politik atau tidak.
Akhirnya, pada 5-6 Agustus 1998 di Mega Mendung, Bogor, para pendiri MARA sepakat membentuk partai politik. Dalam kesepakatan itu dibentuk partai bernama Partai Amanat Bangsa (PAB). Namun, seiring perjalanannya, nama PAB berubah menjadi Partai Amanat Nasional (PAN) yang dideklarasikan 23 Agustus 1998 di Istora Senayan, Jakarta.
Setidaknya ada 50 tokoh dari berbagai kalangan, mulai dari aktivis politik, tokoh agama, kalangan profesional, hingga cendekiawan, yang ikut mendeklarasikan partai berlambang matahari ini. Sebut saja mantan Ketua Umum Muhammadiyah Amien Rais, Goenawan Mohammad, AM Fatwa, Abdillah Toha, Rizal Ramli, Albert Hasibuan, Toety Heraty, Emil Salim, Faisal Basri, dan lain-lain.
PAN berpegang pada semangat perjuangan reformasi sehingga kehadiran PAN diharapkan membuka optimisme dan arah baru bangsa, layaknya matahari terbit yang tertera di logo partai. Muatan sejarah pembentukan PAN yang lekat dengan Muhammadiyah membuat partai ini masuk dalam inklinasi sumbu partai islam.
PAN meraih 7,4 persen suara saat keikutsertaan perdana di Pemilu 1999. Raihan suara itu mengantarkan 34 politisi PAN ke kursi parlemen. Meskipun tidak masuk dalam jajaran atas partai pemenang Pemilu 1999, debut awal PAN cukup diperhitungkan karena elitenya menjadi penggerak terbentuknya ”Poros Tengah” saat Sidang Umum MPR, 1 Oktober 1999, untuk memilih Presiden RI.
Strategi ”Poros Tengah” itu akhirnya mengantar Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi Presiden RI, dengan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri sebagai Wakil Presiden. Sementara Ketua Umum PAN Amien Rais menjadi Ketua MPR RI.
Dalam perjalanannya, PAN mengalami banyak dinamika politik, mulai dari mencabut dukungan terhadap Presiden Abdurrahman Wahid hingga kemelut di internal partai dan perubahan sikap politik.
Sepanjang pemilu era reformasi, raihan suara PAN cenderung stagnan. Perolehan persentase suara tertinggi diraih dalam Pemilu 2004, yaitu 9,6 persen suara sah nasional. Namun, pada Pemilu 2009 capaian itu turun menjadi 6 persen dan sedikit naik di Pemilu 2014 (7,6 persen).
Pemilu 2019 akan menjadi ajang pembuktian apakah PAN mampu bertahan atau raihan suaranya kian turun dari posisi sebelumnya.
Sejauh ini, hasil survei Litbang Kompas pada Maret lalu menunjukkan elektabilitas partai ini ada di angka 2,9 persen. Dengan memperhitungkan margin of error ± 2,2 persen, PAN berpotensi melewati ambang batas parlemen 4 persen.