JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Provinsi DKI Jakarta meminta semua badan pengelola jalan tol untuk menjaga lahan kolong tol layang yang menjadi tanggung jawab mereka. Ha ini untuk mencegah adanya aktivitas di kolong yang berpotensi menimbulkan bahaya pada struktur jalan layang serta konsumen jalan tol.
Potensi bahaya yang sudah menjadi kenyataan yaitu terbakarnya ratusan bedeng di kolong Jalan Tol Lingkar Dalam KM 25 di Kelurahan Pejagalan, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara, Sabtu (30/3/2019). Kebakaran itu diduga akibat salah satu penghuni lupa mematikan kompor saat meninggalkan rumah. Tidak ada korban jiwa dari kejadian itu, tetapi 117 keluarga kehilangan tempat tinggal.
Menurut Camat Penjaringan M Andri, ada banyak lahan kolong tol lain yang berpotensi mengalami kejadian serupa di Kelurahan Pejagalan dan Kelurahan Penjaringan. ”Kami meminta pengelola jalan tol melakukan upaya lebih dalam pengamanan dan pengawasan kolong tol,” ucapnya, Senin (8/4/2019).
Untuk penanganan setelah kebakaran di kolong Tol Lingkar Dalam Km 25, Andri menyebutkan, Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Utara sudah melakukan rapat dengan mengundang pengelola, yaitu PT Citra Marga Nusaphala Persada Tbk (CMNP). Pemkot meminta CMNP meningkatkan pengamanan di lokasi kebakaran.
Berdasarkan pantauan di kolong tol tersebut pada hari Senin, sejumlah petugas keamanan dari CMNP terlihat berjaga. Steger-steger terpasang di kolong tol. Menurut Andri, CMNP juga sedang memperkuat struktur jalan tol.
Ia menambahkan, pihaknya sudah menerima surat dari CMNP yang menyatakan rencana untuk memagari area kolong tol. Ia berharap hal itu menjadi solusi jangka panjang mengamankan kolong tol dari aktivitas ilegal, termasuk pendirian bangunan liar. Sebab, sumber daya Kecamatan Penjaringan terbatas untuk mengawasi seluruh lahan kolong tol, apalagi pemilik lahan bukan pemprov.
Untuk membantu, Forum Koordinasi Pimpinan Kecamatan Penjaringan sudah memasang spanduk di dekat lokasi kebakaran yang menyatakan, warga dilarang mendirikan bangunan di kolong jalan tol dan ruang milik jalan. Lurah Pejagalan pun sudah melayangkan imbauan secara tertulis.
Meski demikian, salah satu warga kolong tol, Safrudin (53), meminta pemprov dan pemerintah pusat tetap mengizinkan warga tinggal di sana. Jika pindah, mereka kesulitan mencari nafkah. Sebagian besar warga di kolong tol tersebut bekerja dengan memulung sampah.
Salah satu pemulung itu adalah Minggu (23). Ia biasa mencari sampah di sekitar Pluit, Jakarta Utara, pukul 19.00-24.00, dengan penghasilan rata-rata Rp 50.000 per hari. Dari total sepuluh anggota keluarganya, hanya Minggu yang bertahan di kolong setelah kebakaran, sedangkan yang lain mengungsi untuk sementara waktu ke kampung halaman di Cikande, Serang, Banten.
”Saya tidak ada uang untuk mengontrak,” ujar Minggu saat ditanya tentang pilihannya yang bertahan di kolong meskipun tanpa naungan atap rumah.
Selain meminta para pengelola menjaga lahan kolong jalan tol masing-masing, pemprov juga berupaya mendapat izin memanfaatkan lahan kolong tol untuk kepentingan publik sehingga tidak memberi ruang bagi bangunan liar. Di Penjaringan, lahan kolong Tol Prof Dr Sedyatmo di seberang Ruang Publik Terpadu Ramah Anak-Ruang Terbuka Hijau Kalijodo direncanakan menjadi lahan parkir bagi pengunjung Kalijodo.
Andri mengatakan, pembangunan kemungkinan dimulai pada tahun ini dengan dana kompensasi lantai bangunan (KLB) Suryalaya. Perusahaan ini juga wajib membangun jembatan penyeberangan dari lahan parkir kolong tol ke Kalijodo.
Sebelumnya, Pemprov DKI dibantu kepolisian dan TNI membongkar bangunan liar di kolong itu pada 14 Juni 2017. Penertiban itu menyasar 150-an pintu dan 16 kafe.
Mantan penghuni kolong tol seberang Kalijodo, Anton (50), mengatakan, tidak ada lagi warga yang berani mendirikan bangunan di sana. Ia pun lelah menghadapi pembongkaran yang berulang. ”Sebelumnya, pembongkaran pernah dilakukan pada tahun 2007 dan 2012,” katanya.