JAKARTA, KOMPAS— Kesadaran anak muda untuk berpartisipasi dalam proses politik terlihat dari munculnya beberapa gerakan untuk mengawal Pemilu 2019 yang mereka inisiasi sendiri. Hanya, inisiatif ini masih berhadapan dengan tantangan sulitnya menularkan semangat serupa kepada anak muda lainnya untuk terlibat dalam gerakan yang sama.
Sebagian gerakan pengawalan yang muncul menjelang pemungutan suara Pemilu 2019 memanfaatkan teknologi informasi dan media sosial untuk sosialisasi serta memantik minat publik. Sebagai contoh, ada gerakan Teman Rakyat yang menggaungkan gerakan Unboxing Caleg via ruang digital. Gerakan ini mengulas latar belakang calon anggota legislatif (caleg), lalu hasilnya dipublikasikan di situs Temanrakyat.id dan Instagram dalam bentuk tulisan, video, atau infografis.
Selain itu, juga ada gerakan urun daya Kawal Pemilu Jaga Suara (KPJS) 2019 yang merupakan metamorfosis Kawal Pemilu 2014. Perekrutan sukarelawan dilakukan secara daring memanfaatkan media sosial. Setelah itu, hasil kerja sukarelawan disajikan kepada publik lewat laman daring Kawalpemilu.org.
Namun, sekalipun diinisiasi generasi muda, gerakan itu berhadapan dengan sebagian pemuda yang menganggap politik tidak berkaitan dengan kehidupan sehari-hari.
Tantangan ini juga tecermin dari hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada 4-5 April 2019, yang melibatkan 541 responden di 17 kota besar di Indonesia. Hanya sepertiga responden berusia 17-30 tahun menyatakan tertarik ikut dalam lembaga pemantau pemilu. Persentase ini lebih kecil daripada kelompok usia 31-40 tahun yang 55 persen di antaranya menyatakan tertarik.
Ainun Najib, penggagas Kawal Pemilu 2014 yang kini terlibat dalam KPJS 2019, dihubungi di Singapura, Senin (8/4/2019), menuturkan, pemuda Indonesia sebenarnya cukup antusias berpartisipasi dalam Pemilu 2019. Sebagian sukarelawan KPJS 2019 juga merupakan anak muda.
Bagaimana jika ada anak muda yang bersikap apolitis? ”Ibarat melihat suatu produk, produk politik yang ditawarkan kepada anak muda itu kemungkinan tak menarik bagi kalangan muda sehingga mereka tidak tertarik. Ini sebenarnya menjadi kritik bagi partai politik atau tahapan pemilu itu sendiri,” kata Ainun.
Selain gerakan dari masyarakat, Komisi Pemilihan Umum membuat rekayasa sosial mendorong partisipasi masyarakat melalui Relawan Demokrasi. Mereka merekrut anak muda untuk menyosialisasikan Pemilu 2019. Namun, para sukarelawan ini juga acap menemui teman sebayanya yang tak tertarik dengan Pemilu 2019.
Sri Fatimah (20), salah satu sukarelawan di Jakarta, mengatakan, masih banyak anak muda yang tidak tertarik dengan politik. Di kampusnya, ia menemukan banyak mahasiswa yang bahkan tidak tahu pemilu akan digelar pada 17 April 2019.
Minim teladan
Munculnya apatisme di kalangan muda terhadap politik dipengaruhi banyak faktor. Selain kecewa terhadap proses politik, sebagian anak muda juga tak menemukan teladan dari elite politik.
Inisiator gerakan Bangun Negerikoe, Suryo AB, menuturkan, hal ini bisa membuat kalangan anak muda enggan berpartisipasi, termasuk dalam menggunakan hak pilih.
Dalam kondisi minim teladan dari kalangan elite, peran organisasi kepemudaan sebagai wadah berorganisasi menjadi penting. Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Sunanto mengatakan, anak muda sebenarnya antusias terlibat dalam politik. Mereka hanya perlu diberikan ruang.
”Kawan-kawan di Pemuda Muhammadiyah, misalnya, senang sekali diajak menjadi sukarelawan dalam gerakan KPJS 2019. Nanti kami akan bicarakan dulu dengan anggota tentang kegiatan ini. Bila disetujui, kami bisa menggerakkan kawan-kawan di lapangan untuk berpartisipasi,” katanya.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik FISIP Universitas Indonesia Aditya Perdana mengatakan, geliat partisipasi pemuda dalam politik masih tinggi, tetapi mengambil bentuk baru seiring dengan perkembangan teknologi. Namun, bentuk aktivisme anak-anak muda itu juga menghadapi tantangan daya gaung gerakan. Sebab, selain berhadapan dengan kesenjangan akses informasi, gerakan ini berhadapan dengan anak muda lain yang kebanyakan pasif. (REK/AGE/INK/EDN)