JAKARTA, KOMPAS — Kebiasaan merokok tidak hanya merugikan perokok aktif dan pasif, tetapi juga berpengaruh pada orang yang terpapar tar yang menempel di sekitar perokok. Bahkan, bayi bisa meninggal mendadak jika terus terpapar tar rokok.
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 Kementerian Kesehatan, tingkat prevalensi merokok di Indonesia cenderung naik dari tahun ke tahun. Pada Riskesdas 2013, prevalensi perokok pada remaja (10-18 tahun) sebesar 7,2 persen. Pada Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016, sebesar 8,8 persen dan Riskesdas 2018 sebesar 9,1 persen.
Tingginya prevalensi perokok di Indonesia tersebut menunjukkan masih kurangnya kesadaran masyarakat terhadap bahaya merokok. Padahal, kebiasaan merokok tidak hanya merugikan perokok aktif dan orang yang terpapar asap rokok atau perokok pasif, tetapi juga berpengaruh pada orang yang terpapar tar karena menempel di benda sekitar perokok.
Ketua Umum Perhimpunan Dokter Kedokteran Komunitas dan Kesehatan Masyarakat Indonesia Mariatul Fadilah mengatakan, kandungan tar yang ada pada rokok akan menempel pada baju atau benda di sekitar perokok. “Salah satu yang mudah terpapar bahaya dari tar pada rokok yakni bayi. Dari beberapa kasus yang ada, bayi yang meninggal mendadak biasanya ayah atau ibunya perokok,” kata Mariatul dalam peluncuran Gerakan Bebas Tar dan Asap Rokok di Jakarta, Selasa (9/4/2019).
Tar merupakan asap padat dan berwarna coklat ketika kering. Tar yang dihasilkan dari pembakaran rokok akan menempel di baju atau benda lain melalui asap yang dihembuskan perokok. Tar yang sudah melekat pada suatu benda akan sulit lepas.
Bayi akan menghirup tar yang menempel di baju perokok ketika digendong atau dipeluk. Akibatnya, fungsi dari paru-paru untuk menangkap oksigen menjadi terganggu.
Hal tersebut menyebabkan oksigen yang masuk ke dalam paru-paru tidak dapat diolah dengan baik untuk disalurkan ke seluruh organ tubuh. Padahal, tubuh membutuhkan asupan oksigen yang baik.
Meskipun demikian, belum ada penelitian khusus terkait penyakit yang menyebabkan bayi meninggal mendadak akibat pengaruh rokok. Beberapa kasus yang ditemukan merupakan pengamatan dokter terhadap lingkungan bayi.
Merusak sistem saraf
Tar yang dihirup bayi juga dapat merusak sistem sarafnya. “Saraf yang sudah rusak baru dapat diganti setelah 20 hingga 25 tahun ke depan,” ujar Mariatul.
Mariatul berharap agar Indonesia dapat terbebas dari rokok dan tar. Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan, yaitu melalui pendampingan konseling. Dari penelitian yang dilakukannya, ada beberapa orang yang dapat berhenti secara langsung karena adanya kemauan dari dirinya sendiri.
Akan tetapi, ada juga yang akan berhenti ketika melihat perokok menderita sakit akibat kebiasaan merokok, salah satunya kanker. “Ada juga yang dapat berhenti secara bertahap. Dua minggu awal, mereka akan mengalami kegelisahan karena sudah kecanduan nikotin. Setelah itu, ia akan hidup normal,” kata Mariatul.
Peneliti Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik, Amaliya, mengatakan, ada perokok yang dapat langsung berhenti merokok melalui konseling. Namun, ada juga yang harus melalui berbagai terapi.
Beberapa terapi dapat dilakukan untuk mengganti nikotin yang sebelumnya masuk melalui pembakaran rokok. “Ada yang ditempel, dihisap, dikunyah seperti permen karet, dan ada yang diberi obat,” kata Amaliya.
Agar efektif, terapi tersebut perlu dilakukan bersama dengan pendekatan psikologis melalui konseling. Masyarakat dapat mendapatkan konseling di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) terdekat atau fasilitas kesehatan lainnya yang menyediakan konseling bagi perokok.
Perokok yang ingin berhenti merokok biasanya akan mengalami rasa sakit dan gelisah. Mereka juga akan merasa ada yang janggal karena berhenti melakukan kebiasaan yang sudah lama dilakukan. Karena itu, dibutuhkan pengalihan yang dapat mengubah kebiasaannya menghisap rokok.
Anggota Gerakan Bebas Tar dan Asap Rokok (Gebrak) Aryo Andriyanto mengatakan, masyarakat dan pemerintah perlu sadar pada masalah publik yang disebabkan oleh rokok. “Tar tidak hanya dari rokok saja, tetapi bisa dari pembakaran lainnya, seperti asap knalpot,” kata Aryo.
Ia berharap ada upaya nyata dari masyarakat dan pemerintah untuk mengurangi risiko tar, salah satunya dengan mengurangi rokok. Upaya yang dapat dilakukan yakni melalui pendekatan edukatif untuk menyadarkan masyarakat agar berhenti merokok. Tujuannya agar masayakat dapat hidup di lingkungan yang sehat.