Alat Tangkap Perlu Diatur
Hilangnya ikan lemuru dari perairan Banyuwangi dinilai bukan akibat rumpon, melainkan penggunaan alat tangkap yang tidak mendukung perikanan berkelanjutan.
BANYUWANGI, KOMPAS— Hilangnya lemuru di Muncar bukan karena rumpon, melainkan penggunaan alat tangkap yang tak terkendali. Penggunaan alat tangkap perlu diatur kembali.
Hal itu dikemukakan dosen perikanan dan kelautan Universitas Brawijaya, Malang, Darmawan Okto Sucipto. ”Sampai saat ini belum ada kajian pengaruh rumpon terhadap hilangnya lemuru. Harus dilihat terlebih dulu berapa jarak migrasi lemuru. Jika migrasi lokal, keberadaan rumpon tidak berpengaruh,” kata Darmawan yang dihubungi dari Banyuwagi, Selasa (9/4/2019).
Faktor yang mungkin lebih berpengaruh, ujar Darmawan, kondisi perairan dan penggunaan alat tangkap yang tidak mendukung perikanan berkelanjutan. Keduanya merupakan faktor yang bisa dikendalikan. Sementara pemanasan global, yang juga menjadi faktor berpengaruh, tidak bisa atau lebih sulit dikendalikan manusia.
Pengaturan kembali
Darmawan mengusulkan pengaturan kembali jumlah alat tangkap dan pengawasan ukuran mata jaring pada alat tangkap nelayan. Dalam Surat Keputusan Bersama Gubernur Jawa Timur dan Bali Tahun 1992 Nomor 38/1992/673/1992 tentang Penetapan Jumlah Alat Tangkap Purse Seine di Selat Bali disebutkan, jumlah alat tangkap ditetapkan 273 unit. Jumlah tersebut terdiri dari 190 unit di Jawa Timur dan 83 unit di Bali.
”Pemerintah harus meninjau berapa jumlah kapal purse seine yang beroperasi. Bisa jadi jumlahnya lebih dari yang disepakati atau kalau jumlah kapal sama, kapasitas tangkap semakin besar,” ujar Darmawan.
Alat tangkap lemuru tidak hanya purse seine. Alat tangkap bagan, jaring cetet (gillnet), dan payang juga bisa digunakan untuk menangkap lemuru. ”Masalahnya, alat tangkap tersebut tidak diatur,” katanya.
Darmawan mengusulkan ada dokumen baru yang mengatur alat tangkap selain purse seine. Pada 2014, Darmawan bersama sejumlah akademisi merekomendasikan hal tersebut, termasuk mengatur penggunaan alat tangkap yang menggunakan lampu.
Hal senada disampaikan Manajer Bidang Kebijakan Blue Carbon dan Perikanan di Conservation International Indonesia Audry J Siahainenia. Ia meragukan pernyataan nelayan bahwa rumpon menjadi penyebab hilangnya lemuru.
”Lemuru merupakan ikan yang tidak senang tinggal di rumpon. Mereka lebih senang hidup berkelompok dan berpindah-pindah,” kata Audry.
Audry juga menekankan perlunya pengawasan alat tangkap yang digunakan nelayan. Ia juga menduga, hilangnya lemuru akibat penggunaan alat tangkap yang tidak mendukung perikanan berkelanjutan.
”Seharusnya mata jaring yang digunakan nelayan tidak kurang dari 1 inci. Penggunaan jaring di bawah 1 inci membuat lemuru tidak sempat berpindah karena lemuru remaja ikut tertangkap,” ujarnya.
Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia Banyuwangi Hasan Basri mengatakan, saat ini para nelayan masih menggunakan alat tangkap purse seine. Namun, ia mengatakan, jumlahnya mulai berkurang.
”Sebelum tahun 2010, jumlahnya lebih dari 100 unit. Namun, kini tinggal 70 unit dan hanya 20 unit yang masih aktif beroperasi. Berkurangnya jumlah lemuru membuat alat tangkap tersebut ditinggalkan,” ujarnya.
Hasan mengatakan, banyak nelayan purse seine beralih ke alat tangkap lain, ada pula yang tidak lagi melaut. Nelayan yang tetap menggunakan alat tangkap purse seine kini tidak menggunakan dua kapal, tetapi satu kapal saja.
Ketika dikonfirmasi terkait jumlah alat tangkap purse seine, Kepala Dinas Perikanan dan Pangan Banyuwangi Hary Cahyo Purnomo enggan memberikan data.
Ia justru meminta Kompas menanyakan hal itu kepada Kepala Unit Pelaksana Teknis Pangkalan Pendaratan Ikan Muncar Kartono Umar. Namun, yang bersangkutan tidak menanggapi pesan singkat Kompas dan tidak mengangkat telepon. (GER)