Anggaran Pembangunan Tanggul Laut Lebih Baik untuk Pemulihan dan Mitigas
Pembangunan tanggul laut di Teluk Palu, yang anggarannya bersumber dari utang luar negeri, didesak untuk dibatalkan. Anggaran tersebut lebih baik digunakan untuk program pemulihan sosial-ekonomi penyintas dan memperkuat mitigasi.
Oleh
Videlis Jemali
·2 menit baca
PALU, KOMPAS — Pembangunan tanggul laut di Teluk Palu, yang anggarannya bersumber dari utang luar negeri, didesak untuk dibatalkan. Anggaran tersebut lebih baik digunakan untuk program pemulihan sosial-ekonomi penyintas dan memperkuat mitigasi.
Pemerintah merencanakan pembangunan tanggul laut sepanjang 7 kilometer di Teluk Palu, persisnya dari Kelurahan Silae ke Kelurahan Talise. Tanggul itu untuk meredam pasang yang saat ini melanda sejumlah titik di pesisir pascatsunami, 28 September 2018. Tanggul dilengkapi dengan jalan raya yang agak tinggi. Kombinasi struktur buatan itu juga sekaligus untuk meredam tsunami.
Belum diketahui pembangunan tanggul itu kapan dimulai, tetapi diperkirakan dilaksanakan tahun 2019 ini. Anggaran yang digunakan disebut-sebut berasal dari utang luar negeri, salah satunya dari Badan Kerja Sama Internasional Jepang (JICA).
Namun, rencana pemerintah itu ditolak elemen masyarakat sipil lokal. Dengan tsunami lalu yang merupakan tsunami ketiga di Teluk Palu dalam kurun 90 tahun, pesisir seharusnya dikelola untuk konservasi dengan pilihan utama penanaman mangrove. Tsunami sebelumnya terjadi pada 1938 dan 1968.
Sekretaris Pasigala Centre, gabungan lembaga swadaya masyarakat untuk pengawasan pascagempa Sulteng, Andika, menyatakan, anggaran besar dari utang luar negeri itu lebih baik dipakai untuk program pemulihan dan produktivitas penyintas.
Di Kabupaten Sigi, misalnya, sekitar 8.000 hektar lahan sawah tak diolah karena rusaknya jaringan irigasi utama di daerah itu. Penanganan jangka pendek untuk mereka saat ini dengan melaksanakan padat karya. Irigasi secara keseluruhan baru selesai diperbaiki pada 2020.
”Anggaran besar dari utang luar itu seharusnya untuk membantu penyintas, misalnya pembangunan sumur agar petani bisa mengolah lahannya. Pemerintah harus memastikan program-program rekonstruksi relevan dengan kebutuhan penyintas,” kata Andika di Palu, Sulteng, Rabu (10/4/2019).
Selain untuk pemulihan ekonomi-sosial penyintas, lanjut Andika, anggaran pembangunan tanggul juga bisa dipakai untuk memperkuat mitigasi, mulai dari peralatan peringatan dini hingga peningkatan kapasitas penyintas dalam menghadapi bencana. Kedua aspek yang sangat penting dalam kebencanaan itu belum diwujudkan saat ini.
”Ini dana yang pengembaliannya dibayar oleh semua orang, jadi penggunaannya harus terkait dengan kepentingan banyak orang, bukan hanya untuk diserap dan dijadikan proyek,” kata Andika.
Neni Muhidin, pegiat literasi kebencanaan Sulteng, mengatakan, pemerintah tidak mendengarkan aspirasi warga yang penyintas terkait dengan rencana pembangunan tanggul. Partisipasi penyintas penting dalam pembangunan kembali daerah bencana karena pembangunan tersebut tujuannya untuk kehidupan lebih baik bagi penyintas.
Saat ditanya terkait dengan besarnya anggaran pembangunan tanggul, Kepala Dinas Bina Marga dan Penataan Ruang Sulteng Saefullah Djafar mengatakan, anggaran baru bisa diketahui setelah desain tanggul laut selesai dikerjakan. Desain tanggul laut belum selesai digarap.