Balas Dendam Ajax Menghadapi Doping Bernama Ronaldo
Emosi terbagi dua di Stadion Olimpico, Roma, 26 Mei 1996. Di satu sisi, pelukan dan tawa menyertai Gianluca Vialli dan rekan-rekan setelah menjuarai Liga Champions. Saat bersamaan, pemain-pemain Ajax Amsterdam tak mau menunjukkan wajahnya saking kecewa kalah dengan status unggulan dan juara bertahan.
Begitulah gambaran final Liga Champions pada 1996. Kiper Ajax kala itu, Edwin van Der Sar, tertunduk menutupi wajahnya setelah tidak mampu menahan penalti Vladimir Jugovic. Gol Jugovic membuat Juventus menang 4-2 dalam drama adu penalti setelah seri, 1-1, dalam pertarungan 120 menit.
Vialli, kapten sekaligus penyerang Juventus, mabuk dalam kebahagiaan bersama rekan-rekannya. Mereka seperti tidak menyangka, sebagai kuda hitam, mampu mengalahkan sang juara bertahan yang saat itu sedang di era terbaiknya.
Ajax saat itu sedang berada dalam era emas. Mereka mendominasi Liga Champions dan Eredivisie dengan bakat muda seperti Edgar Davids, Marc Overmars, Jari Litmanen, dan Frank de Boer. Setahun sebelumnya, mereka baru saja menumbangkan tim penguasa Italia, Milan, di final Liga Champions.
Di balik kemenangan itu, terdapat kecurigaan besar terhadap para pemain “Si Nyonya Besar”. Pemain mereka terlihat mampu bermain dengan intensitas tinggi sepanjang 120 menit, saat Ajax dengan tim mudanya mulai kelelahan pada babak tambahan.
Finidi George, penyerang sayap Ajax yang turut bermain di final, mengaku terkejut dengan ketahanan pemain Juventus. “Biasanya pemain hanya mampu melakukan hal itu selama 20 menit. Ketika Anda bisa melakukannya 120 menit, dan pada akhir musim, maka itu tidak wajar,” katanya dalam sebuah acara dokumenter Belanda, Andere Tijden Sport pada 2013.
Beberapa tahun setelah kemenangan Juventus di 1996, skuad Juventus menghadapi tes penggunaan doping pada 2004. Saat itu, dokter klub Riccardo Agricola terbukti bersalah karena memberikan doping jenis erythropoietin (EPO), tanpa sepengetahuan klub.
EPO yang meningkatkan kadar hemoglobin diketahui juga digunakan pada era 1994-1998. Doping jenis itu dilarang di olah raga karena bisa meningkatkan stamina begitu signifikan.
Seorang saksi ahli di persidangan Agricola, dokter spesialis darah Giuseppe D’Onofrio menyebutkan, nyaris seluruh pemain menggunakan EPO. Hal itu diketahui berdasarkan penelitiannya.
Gelandang Antonio Conte dan Alessio Tacchinardi menggunakan itu untuk mengurangi masalah anemia atau kekurangan darah. Sementara itu, tujuh pemain, antara lain Alessandro Del Piero dan Didier Deschamps, juga turut menggunakan EPO dalam dosis kecil.
Kekalahan akibat dugaan doping itu masih membayangi Overmars dan rekan-rekan hingga saat ini. Mereka kehilangan kesempatan meraih dua gelar beruntun Liga Champions. Dan hingga kini, Ajax paceklik gelar selama 24 tahun. Final tahun itu bersama pelatih Louis van Gaal adalah kesempatan terakhir mereka juara.
“Hal yang lucu, kami menang pada final 1995, kemudian bermain di final 1996 melawan Juventus. Ketika Juventus tidak sepenuhnya...,” ketus Overmars yang tidak menyelesaikan perkataannya. Dia merujuk pada Juventus yang menggunakan bantuan dari obat.
Doping alami
Dua setengah dekade setelahnya, Ajax berpeluang besar membalaskan dendam. Keduanya akan bertemu pada perempat final Liga Champions. Leg pertama berlangsung nanti malam atau Kamis (11/4/2019) pukul 02.00, di markas Ajax, Stadion Johan Cruyff.
Baca juga : Enigma Buku Harian Solksjaer
Tim asal ibu kota Belanda itu tidak perlu takut lawannya menggunakan doping kali ini. Namun, mereka perlu menakuti pemain lawan yang seperti memiliki doping alami dari dalam tubuhnya. Pemain itu adalah peraih lima kali gelar pemain terbaik di dunia, Ballon d’Or, Cristiano Ronaldo.
Bayangkan saja, pada usia 34 tahun, Ronaldo masih menjadi momok besar tim-tim lawan. Sebelumnya, dia menghasilkan hattrick ke gawang tim dengan salah satu pertahanan terbaik, Atletico Madrid, pada babak 16 besar. Dia sudah mencetak 24 gol dan 12 asis musim ini.
Ronaldo dikabarkan akan turun pada laga tersebut. Padahal, dua pekan sebelumnya saat jeda internasional, kapten tim nasional Portugal itu harus menepi karena cedera hamstring. "Ronaldo akan bermain, kecuali jika sesuatu terjadi," kata pelatih Juventus Massimiliano Allegri kepada Sky Sport.
Baca juga : Paradoks "Si Lili Putih"
Kemampuan Ronaldo memulihkan diri sangat menakjubkan. Biasanya pemain lain harus menghabiskan waktu hingga bulanan untuk menyembuhkan cedera seperti yang menderanya.
Ronaldo memang tidak menggunakan doping, tetapi seperti ada kekuatan ekstra dalam tubuhnya. Dalam pemeriksaan dokter di Juventus, mantan pemain Real Madrid itu memiliki tubuh yang sama dengan seorang berusia 23 tahun.
Pria asal Madeira ini hanya memiliki tujuh persen lemak dalam tubuhnya, yang mana tiga atau empat persen lebih rendah dari rata-rata pemain profesional. Setengah atau 50 persen tubuhnya berisi massa otot.
Dengan tubuh seperti itu, pemain dengan ciri khas nomor punggung tujuh itu masih menjadi pemain tercepat pada Piala Dunia Rusia 2018. Walaupun sudah mencapai usia kepala tiga, dia bisa mencapai puncak kecepatan hingga 33,98 kilometer per jam.
Rahasianya bukan EPO atau suplemen lain. Ronaldo memang pintar merawat tubuh. Jurnalis asal Spanyol, Santiago Segurola, dalam Bleacher Report, menyampaikan dia tidak pernah keluar malam untuk berpesta, makan malam, ataupun minum alkohol. Dia selalu berlatih, baik bersama tim maupun sendiri di rumah.
Baca juga : Musim Panen Pertahanan Liverpool
Pemain andalan Ajax, Frenkie de Jong, bahkan memuji kemampuan Ronaldo. "Juventus adalah favorit. Di sana terdapat idola saya, Ronaldo, pemain terbaik di dunia. Kita bisa melihat kehebatan Ronaldo saat melawan Atletico Madrid,” ucapnya mengomentari pertemuan di perempat final.
Akankah Ajax berhasil membalaskan dendamnya pada dua dekade lalu? Jawabannya baru bisa dipastikan setelah dua leg perempat final. Yang pasti, Ajax akan kembali berhadapan dengan pengaruh obat, kali ini obatnya bernama Ronaldo. (AP/REUTERS)