Banalitas Kekerasan Lintas Ruang
Kekerasan terhadap jurnalis tidak hanya terjadi di dunia nyata. Di era digital ini, marak kasus persekusi dan pengungkapan identitas jurnalis ke media sosial.
Akhir-akhir ini muncul jenis kekerasan baru terhadap jurnalis, yaitu aksi pelacakan dan pembongkaran data dan identitas jurnalis. Oknum tertentu menyebarkan informasi privasi itu ke media sosial agar jurnalis disudutkan dan dipersalahkan bersama-sama.
Melimpahnya kanal-kanal ekspresi di media sosial membuat siapapun berpotensi mengabaikan ketentuan-ketentuan penyelesaian sengketa pers yang sudah diatur dengan jelas di Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Pasal 5 ayat (2) UU Pers menyebutkan, pers wajib melayani hak jawab apabila sebuah pemberitaan dinilai tidak tepat atau kurang akurat. Bahkan, apabila sebuah media bersikeras tidak mau melayani hak jawab, berdasar Pasal 18 ayat (2), media tersebut bisa dipidana denda maksimal hingga Rp 500 juta.
Tak cukup itu, UU Pers juga memberikan sanksi pidana denda maksimal Rp 500 juta kepada media-media yang terbukti melakukan penghakiman, penghinaan, dan pencemaran nama baik dalam pemberitaan-pemberitaan mereka.
Namun, fakta di lapangan, begitu muncul ketidakpuasan dari pihak-pihak tertentu terhadap sebuah pemberitaan media, mereka langsung melakukan persekusi terhadap jurnalis. Jalur-jalur penyelesaian sengketa pers tak ditempuh, sebaliknya justru aksi-aksi banalitas perundungan dilakukan, baik secara langsung maupun lewat jejaring media sosial.
Jalur-jalur penyelesaian sengketa pers tak ditempuh, sebaliknya justru aksi-aksi banalitas perundungan dilakukan, baik secara langsung maupun lewat jejaring media sosial.
“Karena tidak puas dengan sebuah pemberitaan, pihak-pihak tak bertanggungjawab langsung mencari data diri jurnalis, kemudian menyebarkannya ke media sosial dengan ditambahi hujatan dan ajakan penyerbuan. Pelanggaran privasi terjadi dan potensi timbulnya kekerasan sangat nyata di sana,” kata Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Ade Wahyudin akhir pekan lalu di Jakarta.
Beberapa kali kasus persekusi dan pengungkapan indentitas jurnalis ke media sosial terjadi selama tahun 2018. Selain privasi mereka diumbar di media sosial, para jurnalis juga harus mengalami ancaman dari massa tertentu akibat penggiringan opini oleh oknum-oknum pelaku doxing (memublikasikan data informasi pribadi di dunia maya untuk tujuan jahat).
Ancam narasumber
Dalam sejumlah kasus pemberitaan sensitif, bukan sekadar jurnalis yang harus mengalami ancaman, tetapi juga narasumber-narasumber di dalamnya. Pendapat-pendapat narasumber di media dilaporkan ke penyidik dengan tuduhan pencemaran nama baik atau fitnah.
Menurut Ade, narasumber dengan segala pernyataannya yang dimuat di media pada dasarnya merupakan bagian dari karya jurnalistik. Karena itu, segala macam sengketa yang muncul dari pemberitaan semestinya diselesaikan melalui Dewan Pers.
Narasumber dengan segala pernyataannya yang dimuat di media pada dasarnya merupakan bagian dari karya jurnalistik.
“Prinsipnya, pertangungjawabannya tidak bisa sekadar dibebankan kepada narasumber tetapi juga kepada media yang menayangkannya. Jika praktik-praktik seperti ini dibiarkan, maka banyak narasumber bisa dipidanakan dan jurnalis akan semakin sulit mencari berita karena narasumber menjadi takut untuk dikutip pernyataannya,” papar Ade.
LBH Pers juga mengamati sejumlah kasus ketika sejumlah media melakukan investigasi dan meluncurkan hasil peliputannya, kepolisian langsung memanggil jurnalis untuk diperiksa dan dibuat berita acara pemeriksaannya untuk dilanjutkan ke proses hukum, termasuk menjadikan jurnalis sebagai saksi di persidangan. Praktik-praktik pemeriksaan seperti ini praktis akan mengganggu dan mengikis pekerjaan-pekerjaan jurnalis. Semestinya, penyidik hanya memanfaatkan hasil peliputan sebagai pintu masuk untuk melanjutkan penyelidikan tanpa harus mengganggu pekerjaan jurnalis.
Faktor internal dan eksternal
Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo atau biasa dipanggil Stanley mengidentifikasi kekerasan terhadap jurnalis belakangan tidak lagi didominasi oleh aparat, tetapi justru oleh kelompok-kelompok komunal masyarakat. Menurut Stanley, aksi-aksi kekerasan terhadap jurnalis disebabkan oleh dua faktor, yaitu internal dan eksternal.
Kekerasan terhadap jurnalis belakangan tidak lagi didominasi oleh aparat, tetapi justru oleh kelompok-kelompok komunal masyarakat.
Dari sisi internal jurnalis atau media, terdapat sejumlah hal yang memicu terjadinya kekerasan, antara lain inkompetensi jurnalis, pelanggaran etik serius, rendahnya kualitas sumber daya manusia, kecerobohan, kepercayaan diri berlebihan dari jurnalis, dan keberpihakan media.
Sementara itu, dari sisi eksternal juga muncul sejumlah penyebab, seperti tak dipahaminya tugas jurnalis oleh publik, kekecewaan pemberitaan pada grup media, kekecewaan pada berita-berita yang dibingkai (framing), anggapan jurnalis sebagai provokator, hingga generalisasi pandangan negatif terhadap jurnalis.
Belajar dari sejumlah kasus persekusi dan doxing terhadap jurnalis akhir-akhir ini, terlihat jelas bahwa potensi kekerasan terhadap jurnalis semakin tak terbatas ruang, semua bisa terjadi baik di dunia nyata maupun virtual. Di era digital, jurnalis perlu membangun kesadaran, literasi, sekaligus kewaspadaan untuk mengantisipasi ancaman-ancaman banalitas lintas ruang, yang ternyata juga dialami oleh masyarakat pada umumnya.