Bertani Tanpa Bakar Lahan
Setelah tiga tahun tak berani menanam padi, warga Desa Sebangau Mulya kini bernapas lega. Sudah ada alternatif cara membuka lahan tanpa membakar yang memberi hasil panen melimpah.
Tiga tahun lamanya petani di Desa Sebangau Mulya, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, enggan berkebun. Alasannya takut ditangkap saat membakar lahan. Selama itu, mereka bertahan dengan hasil panen tahun 2015 sambil menahan kekhawatiran bahwa beras akan habis. Dari kegetiran itu, pemerintah desa mencari solusi dan berinovasi.
Petani di desa itu hanya tahu cara membuka dan membersihkan lahan dengan membakar. Tahun 2016-2017 dua orang ditangkap aparat karena membakar lahan. Meski tidak dipenjara, hal itu menimbulkan kengerian pada petani.
Berdasarkan data desa, ada 20 keluarga memilih keluar dari desa setelah bencana asap serta pelarangan membakar hutan dan lahan. Sebagian pulang ke kampung asal karena mereka transmigran. Sebagian lagi memilih kerja di kebun sawit.
Seorang petani, Suparmin (71), menuturkan, kebiasaan membakar sudah dilakukan turun-temurun. Kebiasaan itu tidak hilang sejak ia dan keluarganya mengikuti program transmigrasi pada 1982 ke Pulang Pisau.
”Kalau membakar hasilnya banyak, enggak keluar uang. Intinya tiga M, murah, mudah, dan (hasilnya) memuaskan,” kata Suparmin di Sebangau Mulya, Kamis (7/3/2019).
Sejak dilarang membakar, hampir tiga tahun Suparmin mencoba menanam padi tanpa membakar. Namun, tak ada hasil. Menurut dia, panen itu hanya panen penghormatan.
”Maksudnya, kalau karung ditaruh di atas pundak, tangan yang membawa bisa menyentuh kepala seperti hormat bendera. Kalau panen melimpah, tangan enggak bisa sentuh kepala saking banyaknya panen,” tutur Suparmin.
Kepala Desa Sebangau Mulya Hariwung mengatakan, kegetiran itu membuat ia rela masuk penjara dan mengizinkan warga tetap membakar lahan untuk memenuhi kebutuhan.
”Lalu saya berpikir, pemerintah pusat melarang, tetapi tak ada solusi. Nah, solusi ini yang harus dicari,” ujar Hariwung di ruang kerjanya.
Mencari solusi untuk mengganti kebiasaan membakar lahan bukan tanpa kendala. Di kawasan gambut, keasaman airnya cukup tinggi. Selain itu, sebagian besar lahan juga direndam air gambut sehingga berbentuk rawa.
Dengan membakar, petani diuntungkan karena mengurangi biaya operasional. Membersihkan 1 hektar lahan bisa dilakukan satu orang saja, sedangkan membuka lahan tanpa membakar petani harus melibatkan banyak orang.
Belum lagi serasah bekas pembersihan harus dibusukkan dengan proses lebih lama. Kalau tidak, tanaman tidak bisa bertahan lama. Dengan membakar, serasah akan langsung menjadi abu yang sekaligus berfungsi sebagai pupuk.
Demplot PLTB
Hariwung dan beberapa petani akhirnya memutuskan membuat demplot percobaan pengelolaan lahan tanpa bakar (PLTB). Ia menyiapkan anggaran Rp 200 juta untuk pengoperasiannya. Anggaran itu diambil dari dana desa.
Lahan hutan sekunder seluas 13 hektar dibuka. Pengerjaan dilakukan oleh 74 petani warga setempat. Para pekerja diberi honor harian.
”Saya sudah membicarakan dan memasukkan dalam program desa. Hal itu sudah disetujui masyarakat, pemerintah desa, bahkan badan pemusyawaratan desa,” ucap Hariwung.
Hariwung dan masyarakat didampingi banyak pihak, seperti Balai Penyuluh Pertanian (BPP) Sebangau, World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia di Kalteng, dan Kemitraan yang merupakan mitra kerja Badan Restorasi Gambut (BRG).
Erlangga Risambar Orizativan, penyuluh pendamping Desa Sebangau Mulya, menuturkan, pihaknya menyiapkan bantuan berupa 300 kilogram benih padi jenis memberamo dan padi gogo. Sementara padi NI dikumpulkan sendiri oleh masyarakat sekitar 200 kilogram lebih.
”Kami sudah melakukan penelitian dan percobaan di kantor. Padi memberamo dan gogo yang paling cocok di Sebangau Mulya. Tidak hanya memberikan benih, kami juga mendampingi dari awal hingga akhir,” katanya.
Erlangga menjelaskan, dari sejarah petani transmigran di Pulang Pisau lebih sering menggunakan padi jenis NI. Padi ini rentan penyakit dan membutuhkan intervensi khusus karena ditanam di lahan gambut.
Lahan seluas 13 hektar
dibagi menjadi dua, yakni untuk kawasan memberamo dan gogo, sebagian lagi untuk padi NI. Kedua varietas ini ditanam di waktu yang berbeda. Padi memberamo dan gogo ditanam pada Oktober 2018, padi NI ditanam awal November.
Hasilnya, masyarakat mulai memanen padi memberamo pada Februari 2019. Hasil panen sekitar 2 ton padi memberamo dan gogo. Berikutnya, panen padi NI juga menghasilkan sekitar 2 ton.
”Kualitas padi memberamo dan gogo lebih baik, kalau padi NI rentan penyakit dan kurang melimpah,” ucap Erlangga. Rosenda Chandra Kasih, Coordinator Landscape USAID Kalteng, menyatakan, pihaknya menyiapkan tata kelola air. Mereka membangun sekat kanal yang membelah 13 hektar lahan tersebut.
”Tidak hanya sekat kanal, kami juga membangun skema pengawasan, mengadakan pelatihan, dan memberikan bibit pisang untuk menjadi pagar demplot,” katanya.
Menurut Rosenda, adanya demplot dan inisiatif untuk menggunakan anggaran desa merupakan bentuk kesadaran masyarakat terhadap kelestarian lingkungan hidup. Apalagi, Desa Sebangau Mulya merupakan kawasan penyanggah Taman Nasional Sebangau yang menjadi fokus kerja WWF Kalteng.
Skema baru
Keberhasilan demplot tanpa bakar itu menjadi inspirasi bagi 354 keluarga yang tinggal di desa itu. Sebanyak 74 keluarga sudah menyiapkan lahan untuk mencoba PLTB dengan bibit yang ada. Pekerjaan rumahnya adalah menyiapkan bibit bagi sisa keluarga.
”Maka, kami siapkan BUMDes (Badan Usaha Milik Desa) yang berbentuk seperti koperasi. Hasil panen di demplot itu kami berikan semua ke pekerja, baik yang membersihkan maupun yang panen, tetapi pakai mekanisme baru,” kata Hariwung.
Hariwung menjelaskan, skema itu disebut sistem bawon. Sistem ini merupakan upah tradisional si pemilik lahan ke buruh yang bekerja dalam pertanian di Jawa. Sistem ini diterapkan dengan skema 4:1, artinya empat karung padi untuk pekerja dan pemanen, satu karung untuk BUMDes.
Satu karung berukuran lebih kurang 50 kilogram. Satu karung yang dikumpulkan di BUMDes dijadikan benih yang dibagikan secara gratis ke masyarakat.
”Tujuan penggunaan dana desa tercapai, semua untuk masyarakat. BUMDes-nya berkembang, masyarakat mulai mengubah paradigma membakar lahan,” kata Hariwung.
Desa Sebangau Mulya merupakan satu dari 47 Desa Peduli Gambut (DPG) di Kalteng. Tujuan pembentukan DPG adalah untuk mengubah paradigma pengelolaan sistem pertanian menjadi lebih ramah lingkungan, khususnya pada lahan gambut.
Mengubah paradigma bukan pekerjaan mudah. Namun, kepedulian dan kesadaran terhadap lingkungan mampu mengalahkan kebiasaan yang membawa getir masa lalu di desa itu.