”Grameen Bank” ala Farida Alawi dari Banten

Oleh

Dwi Bayu Radius

· 5 menit baca

Farida Alawi (58) menyalurkan pinjaman tanpa agunan untuk masyarakat kurang mampu melalui koperasi. Kesejahteraan mereka ditingkatkan tanpa kehilangan kepatuhannya membayar angsuran. Meski berkali-kali dicemooh, Farida bergeming untuk mengentaskan kaum papa dari kemiskinan.

Farida menemui sejumlah warga di Desa Sindangsari, Kecamatan Pabuaran, Kabupaten Serang, Banten, Jumat (5/4/2019). Ketua Koperasi Abdi Kerta Raharja (AKR) itu dengan ramah memasuki halaman rumah Endah Purwani Basuki (52), debitor AKR. Di pekarangan tersebut, tampak sawi dan selada segar berdaun lebat yang siap dipanen. Kolam lele terlihat pula di belakang budidaya sayur dengan sistem hidroponik itu.

”Saya beli sayurnya, Bu Endah. Lelenya sudah bisa dijual, 1,5 bulan lagi,” ujar Farida sambil mengamati ikan-ikan di sebuah kolam. Endah lancar membayar cicilan. Dia sudah tiga kali menerima pinjaman, mulai dari Rp 1 juta hingga Rp 2,5 juta dengan masa pengembalian enam bulan. Pinjaman-pinjaman tersebut digunakan untuk membiayai sekolah anak Endah.

”Maklum, saya hanya guru PAUD (pendidikan anak usia dini). Honor saya dirapel setiap enam bulan, bahkan bisa setahun,” ujarnya. Endah dibayar hanya Rp 100.000 per bulan. Sebagai Ketua Posyandu Flamboyan di Desa Sindangsari, dia juga menerima honor Rp 75.000 per bulan yang diterimanya setiap tiga bulan sekali. Sementara suaminya bekerja sebagai montir dengan penghasilan sekitar Rp 2 juta per bulan.

Meski demikian, Endah mampu membayar kredit dengan lancar sehingga AKR memfasilitasinya untuk menjadi peserta program sosial. Kerja sama Bank Indonesia dan AKR itu direalisasikan untuk menambah penghasilan Endah dengan menyediakan budidaya sayur dan kolam lele secara cuma-cuma.

Endah adalah salah satu dari penerima manfaat AKR. Selama 10 tahun berdiri, koperasi itu telah memiliki 36.350 anggota dengan aset Rp 82 miliar. Meski tanpa agunan, angka kredit bermasalah AKR sangat rendah atau tak pernah melampaui 0,45 persen.

Koperasi tersebut menyediakan pinjaman mulai dari Rp 800.000 hingga Rp 25 juta dengan suku bunga bervariasi. Pinjaman kurang dari Rp 5 juta yang biasa diambil para pelaku usaha kecil menengah, misalnya, dikenai suku bunga 2 persen per bulan.

Meski pinjaman disalurkan kepada masyarakat kurang mampu, mereka disiplin membayar cicilan. Bahkan, sebagian dari mereka melunasi pinjaman lebih cepat.

Terinspirasi Grameen Bank

Koperasi itu menempati gedung megah berlantai tiga di Kelurahan Kaduagung, Kecamatan Tigaraksa, Kabupaten Tangerang, Banten. Gedung dengan luas total 450 meter persegi itu dilengkapi dengan ruang pamer produk-produk yang dihasilkan para anggota AKR, aula untuk diklat, dan konter.

Keyakinan Farida bahwa masyarakat kecil mampu melunasi pinjaman terinspirasi Grameen Bank yang didirikan oleh Muhammad Yunus pada tahun 1983. Warga Bangladesh tersebut diganjar Nobel Perdamaian pada 2006 karena kesuksesan Grameen Bank menyalurkan kredit untuk kaum papa.

”Saya memang mengidolakan Yunus. Saat datang ke Bangladesh pada tahun 2008, saya semakin meyakini kehebatan Grameen Bank. Saya melihat sendiri situasi Bangladesh,” ujarnya. Di Bangladesh dengan kemiskinan yang lebih tinggi saja, bank itu memercayai para pengemis sebagai debitor dan mereka sanggup melunasinya.

Saya memang mengidolakan Yunus. Saat datang ke Bangladesh pada tahun 2008, saya semakin meyakini kehebatan Grameen Bank. Saya melihat sendiri situasi Bangladesh.

AKR bermula ketika Farida menyaksikan kerusuhan dan krisis moneter pada tahun 1998. Banyak masyarakat jatuh miskin. Ketika itu, Farida menjabat sebagai Kepala Bidang Investasi Daerah Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah Kabupaten Tangerang.

Pada tahun 2003, Farida ditantang Bupati Tangerang saat itu, Ismet Iskandar, untuk membuat program pengentasan masyarakat dari kemiskinan. ”Saya mengusulkan pembentukan lembaga keuangan mikro di desa-desa. Belum apa-apa, saya ditertawakan,” ujarnya.

Masyarakat miskin bisa menerima pinjaman tanpa jaminan. Sementara, banyak koperasi unit desa (KUD) justru gulung tikar. ”Sampai ada camat bilang, ’Potong kuping saya kalau berhasil. Amblas, KUD saja banyak yang nyungsep.

Yang banyak rentenir. ”Namun, program itu di Bangladesh sukses,” katanya.

Farida berketetapan hati untuk menjalankan program itu. Kejelian Farida memanfaatkan peluang membuat program dengan dana Rp 250 juta untuk desa prasejahtera tersebut berhasil diwujudkan. Masyarakat di desa-desa lain ikut mengajukan pinjaman.

”Dana ditambah lagi. Program terus berkembang hingga dilaksanakan di 17 kecamatan dengan kredit bermasalah nol persen,” katanya. Pada tahun 2004, dana bisa digulirkan untuk dialihkan ke peminjam-peminjam lain. Uang yang dikelola Farida sudah mencapai miliaran rupiah pada tahun 2005.

Karena itu, Farida bersama DPRD Kabupaten Tangerang membuat Peraturan Daerah Kabupaten Tangerang Nomor 5 Tahun 2006 tentang Lembaga Perkreditan Kecamatan (LPK) dan Lembaga Pembiayaan Pengembangan (LPP) Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).

Dana ditambah lagi. Program terus berkembang hingga dilaksanakan di 17 kecamatan dengan kredit bermasalah nol persen.

Di sela-sela mengurus LPK dan LPP UMKM, Farida mendirikan AKR pada 2009. Dia lantas mengungkapkan niatnya menjadikan LPK dan LPP UMKM sebagai koperasi. ”Suara sumbang terdengar lagi, ’Mana ada koperasi yang berhasil, KUD saja bangkrut.’ Saya ingin buktikan, koperasi itu bisa maju,” ujarnya.

Saat Koperasi Benteng Mikro Indonesia (BMI) tersebut dibentuk pada tahun 2013, simpanan yang dikelolanya Rp 12 miliar dengan aset Rp 300 miliar dan karyawan sebanyak 300 orang. Pada tahun 2015, Farida secara sukarela mengundurkan diri sebagai pengawas BMI.

”Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian, rangkap jabatan pada koperasi sejenis tidak diperbolehkan,” ujarnya. Selain itu, Farida ingin berkonsentrasi membesarkan AKR karena koperasi tersebut tidak dibina pemerintah daerah.

Tak hanya berorientasi profit, AKR juga menerapkan kepedulian sosial yang tinggi. Sejak koperasi itu berdiri, misalnya, 1.000 pelajar telah mengikuti pendidikan setara sekolah menengah atas (SMA) untuk menempuh ujian paket C tanpa dipungut bayaran.

Farida bercita-cita mendirikan sekolah menengah kejuruan (SMK) gratis. Dia juga berencana membangun SMK jurusan teknologi informasi.

Farida juga meyakinkan para anggota AKR untuk membantu masyarakat yang membutuhkan uluran tangan dengan zakat, infak, sedekah, dan wakaf (ziswaf). ”Saya yakin, kalau lahan SMK tersebut dibeli dengan pinjaman dari bank, cicilannya bisa dibayar dengan ziswaf,” katanya.

Sebagian keuntungan AKR juga disisihkan untuk membantu warga, seperti sunatan massal, reparasi rumah, dan menyantuni yatim piatu. ”Sudah 13 rumah diperbaiki,” kata Kepala Bagian Ekonomi Pembangunan Sekretariat Daerah Kabupaten Tangerang yang pensiun pada 1 Januari 2019 itu.

Farida Alawi

Lahir: Purwakarta, Jawa Barat,

22 Desember 1960

Suami: Denny (64)

Anak:

- Senny Hafiani Nurdina (29)

- Firiyal Fakhril Hadi (28)

Pendidikan:

- SDN 5 Purwakarta, Jawa Barat, 1967-1973

- SMP Cintawana, Tasikmalaya,

Jawa Barat, 1973-1976

- SMA Cintawana, Tasikmalaya,

Jawa Barat, 1976-1979

- S-1 Jurusan Manajemen Fakultas

Ekonomi Universitas Islam Nusantara Bandung, Jawa Barat, 1980-1985

- S-2 Ilmu Pemerintahan Universitas Satyagama, Jakarta, 2000-2002

Editor: