JAKARTA, KOMPAS — Lesunya perekonomian global yang juga berdampak bagi Indonesia tentu menjadi tantangan bagi siapa pun presiden yang terpilih nantinya. Guna memberi rekomendasi, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) tengah menyusun peta jalan perekonomian Indonesia.
”Memang, siapa pun yang terpilih menjadi presiden akan menghadapi tantangan yang tidak sederhana, khususnya dalam satu hingga dua tahun ke depan. Secara umum, negara-negara di kawasan Asia, termasuk Indonesia, sedang mengalami penurunan ekonomi yang signifikan,” ujar Rektor Unika Atma Jaya Jakarta Agustinus Prasetyantoko di Jakarta, Rabu (10/4/2019).
Diskusi ini mengemuka dalam Kongkow Bisnis bertema ”Titipan Roadmap Perekonomian Indonesia”. Hadir sebagai narasumber adalah Wakil Ketua Umum (Apindo) Shinta W Kamdani; juru bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma’ruf Amin, Arif Budimanta; dan anggota Tim Ekonomi Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, Anthony Budiawan.
Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) telah mengubah proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun 2019 dari 3,7 persen menjadi 3,5 persen. Bank Dunia juga menyebutkan situasi ekonomi global ”semakin suram”. Pertumbuhan ekonomi diproyeksikan 2,9 persen (Kompas, 12/3/2019).
Keadaan ekonomi global juga berdampak pada Indonesia dalam lima tahun terakhir, pertumbuhan domestik bruto Indonesia berkisar di angka 5 persen. Kementerian Perdagangan mencatat, ekonomi Indonesia tumbuh 5,01 persen pada tahun 2014, 4,88 persen (2015), 5,03 persen (2016), 5,07 persen (2017), dan 5,17 persen (2018).
Untuk itu, kata Prasetyantoko, untuk menghadapi tantangan ekonomi global, peningkatan daya saing mutlak dilakukan. Menurut dia, harus ada usaha yang sistemik guna memberi kepastian bagi pelaku usaha dalam menjalankan bisnis yang berdaya saing.
”Sistemik itu berarti kerangka regulasi harus diurai satu-satu, mana yang menghambat dan mana yang masih bisa didorong. Tidak hanya soal perizinan, tetapi juga dari sisi pembebasan tanah, perpajakan, dan aspek lain yang harus dilihat secara komprehensif,” tutur Prasetyantoko.
Sumber daya manusia
Mengutip data Institute for Development of Economics and Finance (Indef), pada Agustus 2018, sebagian besar penganggur merupakan lulusan sekolah menengah atas (7,95 persen) dan sekolah menengah kejuruan (11,24 persen). Di samping itu, penganggur dari lulusan universitas juga cukup besar (5,89 persen).
Dalam upaya meningkatkan daya saing, maka sumber daya manusia menjadi kunci untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi. Prasetyantoko menilai, pendidikan formal perlu disertakan oleh berbagai program sertifikasi agar ketika lulus lebih berdaya saing dan siap kerja.
Senada dengan itu, Anthony Budiawan mengatakan, dalam upaya meningkatkan daya saing, perlu penguasaan teknologi dalam industri, terlebih saat ini dunia sedang menghadapi revolusi industri 4.0.
”Pemanfaatan industri 4.0 dapat meningkatkan efisiensi proses produksi sehingga daya saing pun meningkat. Misalnya, di sektor pertanian, yaitu dengan memanfaatkan teknologi untuk mempermudah pengolahan tanah, mencegah penyakit tanaman, hingga mengatur waktu penyiraman,” kata Anthony.
Arif Budimanta juga turut menyampaikan pendapatnya. Ia menilai, harus ada kesetaraan dalam aktivitas usaha bagi bonus demografi yang akan dimiliki Indonesia. Untuk itu, pemerintah juga terus berusaha hadir dalam dunia usaha.
”Maka, untuk meningkatkan daya saing, ada tiga faktor utama yang menjadi pertimbangan, yaitu investasi dalam rangka mendatangkan devisa untuk jangka panjang, penciptaan lapangan kerja, dan melibatkan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah dalam rantai pasok,” ujar Arif.
Daya saing
Dalam kesempatan yang sama, Shinta menegaskan pentingnya peningkatan daya saing dalam menghadapi tantangan ekonomi global. Menurut dia, daya saing merupakan kunci untuk meningkatkan produktivitas.
”Tak hanya soal daya saing, kami juga sedang menyusun peta jalan untuk presiden terpilih. Ada tiga bagian utama yang sedang kami siapkan, mulai dari konseptual (studi literatur), masukan dan rekomendasi dari pelaku usaha, hingga matriks kebijakan mengenai tantangan dunia usaha,” papar Shinta.
Terkait tantangan dunia usaha, akan ada pembahasan mengenai isu sektoral yang terdiri dari pengolahan manufaktur, pariwisata, pangan dan pertanian, energi, dan UMKM. Ada juga isu lintas sektoral, yaitu makro ekonomi, perbankan, pembiayaan ketenagakerjaan, perpajakan, serta regulasi dan birokrasi dunia usaha.
”Peta jalan ini akan diserahkan kepada presiden terpilih pada Agustus 2019. Kami harap ini dapat menjadi masukan bagi pemerintah dalam menentukan regulasi yang sesuai dengan tantangan dunia usaha,” kata Shinta.