Kalau memang tidak ada yang mau ditutupi, kenapa tak segera dilaporkan? Begitulah pertanyaan Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi Febri Diansyah menanggapi batas akhir penyerahan laporan harta kekayaan penyelenggara negara periode 2018 pada 31 Maret lalu untuk bidang legislatif, baik DPR maupun DPRD.
Pertanyaan itu tentu wajar. Pasalnya, jumlah pelaporan LHKPN, yang menjadi kewajiban para penyelenggara ataupun calon penyelenggara negara, masih rendah meski lebih dari 50 persen. Dari 560 jumlah anggota DPR periode 2014-2019, sebanyak 527 orang kembali mencalonkan diri sebagai anggota legislatif pada Pemilu 2019 (Kompas, 26 Februari 2019). Mengacu data KPK yang diunggah di elhkpn.kpk.go.id, tercatat 351 anggota DPR dari total 553 wajib lapor yang sudah menyerahkan LHKPN sebelum tenggat waktu.
Sebagian dari mereka yang belum melaporkan beralasan masih sibuk berkampanye di daerah pemilihan (dapil)-nya sehingga tak punya waktu untuk mengirimkan LHKPN. Bahkan, ada pula yang baru bersedia menyerahkan LHKPN saat dinyatakan terpilih sesuai peraturan Komisi Pemilihan Umum.
Alasan keterbatasan waktu, ribet apalagi rumit saat menyusun pelaporan, tampaknya dalih yang dicari-cari. Sebab, Direktur LHKPN KPK Isnaini menyatakan, pihaknya telah memberikan kemudahan untuk mengisi lewat daring atau menghubungi call centre 198 jika ada kendala dalam pengisian.
Mengapa tetap tak dilakukan, tampaknya hanya para penyelenggara negara sendiri yang bisa menjawab. Jadi, dengan konteks ini, relevan jika Jubir KPK bertanya, ”Kalau tak ada yang ditutupi, kenapa LHKPN tak segera diserahkan?”
Mungkinkah ada yang memang ditutupi seperti dikhawatirkan Febri? Mungkin belum tentu benar adanya sesuatu yang ditutupi. Namun, jika melihat pengalaman KPK saat operasi tangkap tangan terhadap anggota DPR dari Fraksi Golkar Bowo Sidik Pangarso pada Kamis (28/3/2019) lalu, tampaknya mungkin saja ada harta yang ditutupi.
Pada kasus Bowo, KPK menemukan uang Rp 8 miliar dalam 82 kardus. Uang tersebut akan dibagi-bagikan kepada pemilih di dapil-nya di Jawa Tengah II sebagai biaya serangan fajar Pemilihan Umum 17 April mendatang. Dari bukti uang yang diduga KPK sebagai suap sejumlah perusahaan yang ”memodali”-nya berkontestasi, uang tersebut memang termasuk harta yang menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, dan diperkuat oleh Peraturan KPK Nomor 7 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pengumuman, dan Pemeriksaan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara, wajib dilaporkan rutin selama menjabat ataupun setelah menjabat.
Namun, ternyata dari data di elhkpn.kpk.go.id, Bowo yang menjabat anggota DPR sejak 2014 dan mencalonkan lagi pada Pemilu 2019 hanya sekali menyerahkan LHKPN pada 2017. Total kekayaan yang dimiliki waktu itu sebesar Rp 10 miliar. Tentu dengan kasus Bowo, tak heran jika Jubir KPK membuat sinyalemen adanya sesuatu yang ditutupi sehingga para penyelenggara negara tersebut beralasan terhadap kewajiban LHKPN-nya.
Diminta cermat
Karena itu, dengan rendahnya kesadaran penyelenggara dan para calon penyelenggara melaporkan kewajiban kepemilikan hartanya, tentu wajar jika masyarakat diminta cermat memilih calon anggota legislatif. Kepatuhan penyerahan LHKPN pun diharapkan KPK jadi salah satu pertimbangan menentukan pilihan mencoblos. Karena dengan menimbang kepatuhan LHKPN, diharapkan juga politik uang dan ”kebiasaan korupsi” dapat dipupus dari citra anggota legislatif.
Padahal, ”kebiasaan korupsi”, untuk mengumpulkan pundi-pundi sebanyak mungkin jelang pemilu, seperti diungkap KPK lewat Studi Benturan Kepentingan Pilkada pada 2015, 2017, dan 2018, tak menjamin si calon memenangi kontestasi pemilu meski harta kekayaannya berjumlah besar. Justru, menurut Febri, kepatuhan menyerahkan LHKPN merupakan ujian awal kejujuran para calon penyelenggara negara. Sebab, di sanalah, jika asal usul harta kekayaannya berasal honor yang secara legal diterimanya selama itu, mereka tentu akan melaporkan apa adanya hartanya.
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menegaskan, pemilih perlu lebih teliti memilih calon yang punya kejujuran pada pemilu mendatang. ”Awalnya dimulai dari LHKPN,” ujarnya.
Almas Syafrina dari ICW pun meyakini berbagai macam aplikasi diharapkan dapat digunakan untuk mengenali calon legislatif sehingga pemilih tak memilih kucing dalam karung anggota legislatif dan kita memiliki anggota legislatif yang tak hanya bersih, tetapi juga punya integritas.