Jangan Ada Lagi Petaka di Jalur Kereta
Tidak dimungkiri, kereta rel listrik (KRL) menjadi moda yang semakin diandalkan warga Jabodetabek. Dengan penumpang lebih dari 1 juta orang per hari, kelancarannya sangat diinginkan. Karenanya, sekali terjadi gangguan perjalanan, ribuan, mungkin ratusan ribu orang bisa terdampak.
Maka wajar jika perjalanan KRL sebenarnya memiliki standar tinggi dalam prosedur keamanan dan keselamatan. Prosedur ini harus dijalankan sejak rangkaian gerbong keluar dari depo sampai kembali ke depo setelah dioperasikan.
Sebelum memulai perjalanan, petugas akan memeriksa beberapa bagian di perangkai roda (bogie). Ini dilakukan agar kereta aman untuk diberangkatkan. Begitu pun juga sistem rem yang menjadi salah satu faktor kunci keselamatan perjalanan kereta. Adapun cara kerja sistem penahan laju kereta api juga bergantung pada panjang pendeknya kereta.
Selain pengereman, KRL memiliki konstruksi dan komponen lain, terutama pantograf. Pantograf merupakan alat pengantar listrik untuk menggerakkan kereta rel listrik atau KRL. Sebuah pantograf harus memenuhi persyaratan ketinggian tertentu yang disesuaikan dengan kondisi sistem listrik aliran atas.
Baca juga : Mencari Aman di Jalur Sesak
Kemudian juga memiliki tekanan kontak rata-rata serendah mungkin dengan memperhatikan keseimbangan dengan kualitas pengumpulan arus tinggi, serta mudah dioperasikan dari kabin masinis. Gangguan pada pantograf akan membuat KRL terhenti atau mogok. Akibatnya, rangkaian perjalanan kereta api lainnya dapat terganggu.
Kecelakaan kereta
Hampir setiap tahun terjadi kecelakaan kereta api jarak jauh maupun KRL di Jabodetabek. Kereta anjlok merupakan jenis kecelakaan terbanyak yang dialami kereta api di Indonesia. Dalam kurun waktu 2013-2017, setidaknya terdapat 156 kejadian kereta anjlok. Jumlah ini lebih banyak dibandingkan dengan penyebab kecelakaan lainnya, yaitu tabrakan antar kereta api (7 kali), terguling (1 kali), dan banjir atau longsor (9 kali).
Periode 2015 merupakan tahun paling sering terjadi kereta anjlok, yaitu sebanyak 68 kali. Beberapa kejadian anjloknya kereta saat itu adalah Kereta Api Probowangi jurusan Surabaya-Banyuwangi, Jawa Timur, yang anjlok di Jalan Ahmad Yani, Surabaya, pada 17 Maret 2015. Tidak ada korban jiwa akibat kecelakaan itu, tetapi evakuasi yang berlangsung lebih dari 7 jam memperlambat perjalanan kereta api lain.
Kecelakaan kereta api tidak dapat dipandang remeh, karena korban yang ditimbulkan pun tak sedikit. Total korban luka bahkan mencapai 637 orang dan korban meninggal sebanyak 78 orang. Jika dirata-rata, tiap tahunnya ada 49 korban luka dan enam korban meninggal karena kecelakaan kereta.
Ini perlu diwaspadai, mengingat kereta api menjadi salah satu moda transportasi andalan masyarakat. Potensi korban luka dan meninggal masih sangat tinggi, mengingat besarnya penumpang kereta setiap hari. Rata-rata jumlah penumpang KRL Jabodetabek per hari mencapai lebih dari satu juta orang pada 2018. Bahkan, target penumpang di tahun 2019 bertambah menjadi 1,2 juta penumpang per hari dengan kekuatan armada KRL hingga 1.450 unit.
Perjalanan KRL juga tidak luput dari kecelakaan. Pada 19 Agustus 2015, KRL rute Bekasi-Jakarta Kota anjlok dekat Stasiun Manggarai. Penyebabnya adalah dua as roda gerbong paling belakang keluar rel. Hal serupa terjadi pada 18 Mei 2016, saat KRL jurusan Bogor-Jatinegara anjlok di jalur lengkung setelah stasiun Manggarai menuju stasiun Sudirman.
Tak berhenti, tahun-tahun berikutnya juga terjadi kecelakaan. Musibah paling baru terjadi pada 10 Maret 2019, saat KRL jurusan Jatinegara-Bogor keluar jalur rel dan menyebabkan 19 orang luka-luka. Akan tetapi, kecelakaan paling naas terjadi pada 9 Desember 2013, saat truk tangki milik Pertamina berkapasitas 24.000 liter meledak tertabrak KRL rute Serpong-Tanah Abang di Bintaro. Sedikitnya tujuh orang meninggal dunia dan 73 orang luka-luka.
Baca juga : Tips Menghindari Pelecehan Seksual dalam Kereta
Dari semua kejadian itu, banyak prasarana perkeretaapian rusak berat, seperti jaringan kabel listrik aliran atas, jalur rel, kawat listrik, hingga tiang listrik. Oleh sebab itu, KNKT melakukan penyelidikan/investigasi untuk mengetahui penyebab kecelakaan. Namun, dari laporan KNKT selama ini, penyebab kereta anjlok berkaitan erat dengan perawatan prasarana perkeretaapian yang tidak baik.
Dalam penyelidikan KA 1517 KRL rute Bogor-Kampung Bandan pada tahun 2015, keausan rel mencapai 17 mm, melebihi batas maksimum yang telah ditetapkan, yaitu 15 mm. Selain anjlok, beberapa insiden di seputar perjalanan KRL adalah kerusakan pantograf, korsleting sistem listrik, gangguan sinyal, banjir yang menggenangi rel, aksi pencopetan hingga pelecehan terhadap penumpang perempuan.
Popularitas KRL
KRL sebagai moda transportasi utama di Jabodetabek semakin berkembang. Jumlah penumpang KRL bertambah setiap tahunnya. Dari tahun 2011-2018, rata-rata jumlah penumpang dalam sehari bertambah 669,7 ribu orang. Hingga Juni 2018, rata-rata jumlah penumpang harian mencapai 1.001.438 penumpang. Pada 2017, jumlah penumpang KRL dalam setahun mencapai 315,8 juta. Jumlah tersebut meningkat 23 persen dibanding jumlah penumpang KRL pada 2015.
Dari 79 stasiun KRL yang melayani pada tahun 2018, terdapat lima stasiun paling padat penumpang. Lima stasiun tersebut adalah Stasiun Tanah Abang, Bogor, Bekasi, Manggarai, dan Jakarta Kota. Stasiun Tanah Abang sebagai stasiun paling ramai, setiap harinya melayani 49,8 ribu penumpang di hari kerja dan 39,7 ribu penumpang di hari libur.
Menilik sejarahnya, sejak jaman Belanda, kereta lokomotif listrik telah beroperasi di Jakarta. KA Bonbon sebutan bagi kereta lokomotif listrik itu beroperasi tahun 1926. KA Bonbon menjadi cikal bakal KRL saat ini. Pemerintah Belanda kala itu membeli sejumlah lokomotif listrik seperti seri 3000 buatan Swiss, seri 3100 buatan Jerman AEG, serta KRL (Kereta Rel Listrik) buatan pabrik Westinghouse dan General Electric.
Jalur elektrifikasi yaitu jalur Tanjungpriok-Jatinegara pertama kali diresmikan pada April 1925. Selanjutnya, elektrifikasi dilakukan pada jalur lintas Jakarta Kota-Kemayoran, dan Jatinegara-Manggarai-Gambir-Jakarta Kota. Pada 1930, jalur kereta Jakarta Kota-Bogor mulai dioperasikan. Sebanyak 72 perjalanan telah melintas jalur ini dalam kurun waktu 9 tahun.
Pada 1976, KRL buatan Jepang mulai beroperasi menggantikan kereta lokomotif listrik. Penggantian jenis kereta dilakukan karena usia kereta lokomotif listrik sudah tua dan tidak ada penambangan lokomotif listrik baru.
Baca juga : Solidaritas Ada dari Perjumpaan di Kereta
Selama beroperasi, KRL yang digunakan merupakan rangkaian kereta bekas dari Jepang. Namun, pada 2009 Dirjen Perkeretaapian Departemen Perhubungan melarang impor KRL bekas. KRL bekas boleh diimpor hanya sampai tahun 2012. Sebagai gantinya, mulai 2012 sampai 2019 PT.KAI Commuter Jabodetabek (KCJ) akan membeli KRL baru yang akan menggantikan 236 unit KRL bekas.
Pada 2011 pola single operation diterapkan pada semua KRL AC termasuk KRL Ekspress melalui layanan KRL Commuter Line. Dengan pola ini, setiap kereta wajib berhenti di setiap stasiun. Pada akhir tahun, pola loop line diterapkan. Melalui pola ini, rute KRL lebih sederhana dan sistem transit diberlakukan. Kemudian pada 2013, semua KRL ekonomi ditiadakan dan diganti oleh KRL Commuter Line. Dengan perubahan ini, tidak ada lagi penumpang yang naik ke atap gerbong kereta.
KRL berkembang dengan pengoperasian 12 unit kereta setiap rangkaian. Rangkaian 12 unit kereta ini mulai digunakan pada 2015. Rangkaian KRL 12 kereta ini telah melayani lintas Bogor–Jakarta Kota, Bekasi–Jakarta Kota, Tangerang–Duri. KRL Commuter Line saat ini dikelola oleh PT Kereta Commuter Indonesia (KCI). Sebelumnya, perusahaan ini bernama PT.KAI Commuter Jabodetabek (KCJ). PT KCJ dibentuk pada 2009 untuk mengoperasikan KRL AC di bawah PT KAI.
Faktor perawatan
Untuk memaksimalkan pelayanan, PT KCI menambah frekuensi perjalanan KRL, jumlah unit kereta, dan jumlah stasiun KRL mengikuti peningkatan jumlah penumpang. Pada 2018, jumlah perjalanan KRL per hari mencapai 918 perjalanan.
Sebelumnya pada 2015, jumlah perjalanan KRL hanya 881 perjalanan setiap harinya. Pada 2015, stasiun KRL berjumlah 71. Tiga tahun berikutnya jumlah stasiun bertambah menjadi 79 stasiun. Demikian pula jumlah unit KRL bertambah dari 666 unit KRL pada 2015 menjadi 900 unit KRL pada 2018.
Sebagai upaya menekan kecelakaan kereta, perusahaan penyedia layanan kereta api/KRL melakukan evaluasi yang didasarkan pada hasil investigasi KNKT. Selaku lembaga yang bertanggungjawab untuk menyelidiki kecelakaan transportasi di Indonesia, KNKT memberikan banyak rekomendasi untuk tiap kejadian kecelakaan. Total ada 127 rekomendasi pada tahun 2015-2017.
Seluruh rekomendasi yang dirangkum dalam empat kategori, yaitu pengaturan/aturan, sarana, prasaran, dan pengendalian/pengawasan ditujukan untuk mengurangi potensi kecelakaan kereta. Dari empat kategori tersebut, rekomendasi untuk melakukan pengendalian/pengawasan memiliki porsi paling besar, yaitu 53,54 persen. Rekomendasi kedua adalah dari sisi pengaturan/aturan (20,47 persen). Sementara prasarana dan sarana masing sebesar 17,32 persen dan 8,66 persen.
Hal tersebut menunjukkan bahwa dari sisi kualitas sarana dan prasarana sebenarnya sudah baik, namun proses perawatan dan pengawasan yang sesuai prosedur masih belum dilaksanakan dengan baik.
Masih banyak prosedur yang salah dan lalai dilaksanakan. Karena itu, rekomendasi pengendalian/pengawasan dilakukan dengan beberapa cara, seperti melakukan audit keselamatan perkeretaapian, perbaikan sarana sesuai prosedur, hingga pengawasan pelaksanaan aturan teknis. Semua itu perlu agar tidak ada lagi petaka di moda ini.
(DEBORA LAKSMI INDRASWARI/LITBANG KOMPAS)