Negara Importir Minyak Diminta Tingkatkan Kewaspadaan
Oleh
Karina Isna Irawan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketidakpastian harga minyak dunia akibat persoalan geopolitik di sejumlah negara meningkatkan risiko bagi perekonomian global. Negara-negara importir minyak diminta meningkatkan kewaspadaan agar defisit transaksi berjalan tidak melebar.
Dana Moneter Internasional (IMF) dalam laporan proyeksi perekonomian global yang dirilis Rabu (10/4/2019) kembali merevisi pertumbuhan ekonomi tahun 2019 menjadi 3,3 persen. Dalam enam bulan terakhir, IMF telah memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi sebanyak 3 kali.
Sebelumnya, dalam proyeksi ekonomi yang dirilis Oktober 2018, di sela-sela Pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia, di Bali, perekonomian dunia diperkirakan tumbuh 3,7 persen pada 2019.
IMF menyebutkan, ada tiga faktor utama yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi global kembali direvisi ke bawah, yaitu ketidakpastian negosiasi perang dagang AS-China, dampak kenaikan suku bunga The Federal Reserve (The Fed), dan harga minyak dunia.
Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Christine Lagarde memperingatkan bahwa perekonomian global menghadapi ”momen yang sulit” atau delicate moment. Pertumbuhan ekonomi tahun 2019 diperkirakan terlemah sejak tahun 2009.
Pelemahan ekonomi global juga berdampak terhadap volume perdagangan barang dan jasa global yang diperkirakan tumbuh melambat sebesar 3,4 persen tahun 2019. Sementara pada 2018, volume perdagangan global tercatat tumbuh 3,8 persen.
Dalam laporan terbarunya, IMF secara spesifik menyoroti ketidakpastian harga minyak dunia akibat penurunan produksi di sejumlah negara. IMF memperkirakan harga rata-rata minyak jenis WTI tahun 2019 sebesar 59,2 dollar AS per barrel.
Harga minyak dunia dalam jangka menengah sangat mungkin naik lagi akibat sentimen geopolitik negara-negara Timur Tengah, kerusuhan sipil di Venezuela, sanksi terhadap Iran, dan penurunan produksi minyak di AS.
”Dalam konteks ini, menghindari salah langkah kebijakan yang dapat membahayakan aktivitas ekonomi harus menjadi prioritas,” kata IMF dalam laporannya.
Harga minyak dunia dalam jangka menengah sangat mungkin naik lagi akibat sentimen geopolitik negara-negara Timur Tengah, kerusuhan sipil di Venezuela, sanksi terhadap Iran, dan penurunan produksi minyak di AS.
Kenaikan harga minyak dunia jangka menengah ini mesti diwaspadai oleh negara-negara importir minyak, seperti Indonesia, India, dan Pakistan. Sebab, defisit transaksi berjalan bisa melebar karena nilai nominal impor minyak naik, sementara ekspor turun.
Kondisi Indonesia
Secara terpisah, Direktur Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal berpendapat, kecenderungan harga minyak dunia berbalik naik mesti diwaspadai sampai akhir tahun 2019. Kondisi itu akan berdampak terhadap neraca dagang migas apalagi subsidi BBM dan tarif listrik tahun 2019 cukup tinggi.
”Kita harus mulai mewaspadai karena harga minyak baik jenis Brent atau WTI hanya beda sekitar 10 dollar AS per barrel dibandingkan dengan posisi harga tertinggi tahun 2018,” ujar Faisal.
Mengutip data Kementerian Keuangan, alokasi subsidi BBM dan LPG tahun 2019 sebesar Rp 100,7 triliun, sementara subsidi listrik Rp 59,3 triliun.
Menurut Faisal, jika harga minyak dunia terus merangkak naik, urgensi untuk menaikkan harga BBM dan tarif listrik semakin besar. Pemerintah mesti mengendalikan defisit neraca migas agar defisit transaksi berjalan tidak semakin lebar.
Defisit transaksi berjalan Indonesia menjadi salah satu yang terdalam dibandingkan dengan negara tetangga, yakni 3 persen PDB.
Sebagai perbandingan, neraca transaksi berjalan Malaysia surplus 2,3 persen, Vietnam surplus 3 persen, Thailand surplus 7,5 persen, bahkan Singapura surplus 19 persen. Defisit neraca transaksi berjalan dialami Filipina sebesar 2,4 persen.
Di sisi lain, lanjut Faisal, sumber pertumbuhan ekonomi dari konsumsi rumah tangga diperkirakan stabil, investasi akan melambat, belanja pemerintah meningkat, ekspor melambat, dan impor melambat lebih tajam dari ekspor sehingga defisit neraca perdagangan menyempit.
”Ini masih sejalan dalam tiga bulan pertama tahun 2019 sehingga masih memungkinkan perekonomian tahun ini tumbuh berkisar 5,1-5,2 persen,” kata Faisal.
IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia stabil pada kisaran 5,2 persen pada tahun 2019 dan 2020. Adapun neraca transaksi berjalan tahun 2019 diperkirakan ada perbaikan dari defisit 3 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) menjadi defisit 2,7 persen PDB.
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara, dalam berbagai kesempatan, mengatakan, defisit transaksi berjalan masih mungkin untuk diperbaiki. Pada 2016-2017, defisit transaksi berjalan bisa di bawah 2 persen PDB karena inflasi rendah dan ekspor tumbuh. BI menargetkan defisit transaksi berjalan tahun 2019 di bawah 2,5 persen PDB.
Untuk memperbaiki defisit, lanjut Mirza, pemerintah dan BI fokus meningkatkan ekspor dan pariwisata. Pemerintah sudah menerbitkan berbagai insentif untuk memacu produktivitas ekspor industri. Sementara perbankan didorong menyalurkan kredit untuk kegiatan produktif berorientasi ekspor.