Partai Baru Tak Mudah Hadapi Pemilu
Upaya partai politik baru mengambil peluang di Pemilu 2019 rasanya tidak akan mudah. Tingkat elektoral partai pendatang baru masih sulit mengimbangi partai politik lama yang sudah mengikuti beberapa kali pemilu. Gejala melemahnya identitas kepartaian belum memberikan limpahan dukungan kepada partai baru.
Pengalaman partai baru seperti Gerindra dan Hanura di Pemilu 2009 dan Partai Nasdem di Pemilu 2014 rasanya sulit diulang oleh partai-partai baru di Pemilu 2019 ini. Betapa tidak, hasil dua kali survei Kompas, misalnya, menyebutkan keempat partai pendatang baru di Pemilu 2019 ini rasanya berat untuk bersaing secara elektoral dengan partai lama yang sudah beberapa kali menjadi peserta pemilihan umum.
Partai Persatuan Indonesia (Perindo), Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Berkarya, dan Partai Garuda menjadi empat partai politik baru yang tahun 2019 untuk pertama kalinya mengikuti pemilu. Hasil survei Litbang Kompas merekam, keempat partai ini belum memiliki elektoral yang memadai untuk masuk dalam kelompok partai yang potensial lolos ambang batas parlemen empat persen.
Keempatnya memang masuk kategori partai yang di atas kertas berat untuk lolos ambang batas parlemen karena masing-masing memiliki tingkat keterpilihan kurang dari dua persen, bahkan tiga diantaranya malah di bawah satu persen. Kalaupun memperhitungkan rentang sampling error, keempat partai ini juga masih belum melampaui potensi suara empat persen sebagai syarat suaranya bisa dikonversikan dengan kursi DPR RI.
Pengalaman partai baru seperti Gerindra dan Hanura di Pemilu 2009 dan Partai Nasdem di Pemilu 2014 rasanya sulit diulang oleh partai-partai baru di Pemilu 2019 ini.
Sementara dua kategori lainnya adalah kelompok partai yang di atas kertas sudah melampaui ambang batas parlemen. Dari kategori ini tercatat ada PDI Perjuangan (25,6 persen), Partai Gerindra (16,1 persen), Partai Golkar (8,7 persen), dan PKB (6,6 persen). Keempat partai ini memiliki potensi aman yang diperkirakan akan lolos dan berhak mengkonversikan suara yang diraihnya nanti ke dalam kursi DPR pusat.
Sementara kategori selanjutnya adalah partai yang memenuhi minimal ambang batas parlemen, Artinya, di kategori ini, dengan harus mempertimbangkan tingkat sampling error +/- 2,2 persen di survei ini, partai-partai yang masuk memiliki peluang untuk lolos di parlemen pusat. Mereka adalah Demokrat, PKS, PAN, PPP, dan Nasdem.
Sementara itu partai-partai lama, seperti Hanura, PKPI, dan PBB dalam konteks survei Kompas kali ini cenderung masuk dalam kelompok partai pendatang baru di atas, bersama Perindo, PSI, Berkarya, dan Garuda, karena elektabilitasnya jauh berkurang untuk memperkuat posisinya lolos ambang batas parlemen. Hanura menjadi satu-satunya partai peraih kursi DPR pada Pemilu 2014 yang masuk dalam ‘lampu kuning’ untuk bisa lolos ambang batas parlemen.
Tentu saja, ketiga kategori di atas akan diuji kebenarannya pada saat pemungutan suara 17 April nanti. Sisa waktu beberapa hari ini tetap membuka peluang bagi semua partai untuk mengubah elektabilitasnya. Tentu, salah satunya berharap pada dinamika politik yang bisa saja berubah dengan cepat.
Terjeratnya Ketua Umum PPP M. Romahurmuziy dalam kasus suap oleh KPK atau tertangkapnya calon lagislatif dari Golkar dengan bukti puluhan dus berisi amplop yang diduga untuk serangan fajar saat pemilu, diakui atau tidak, bisa memengaruhi persepsi publik pada partai bersangkutan.
Sebuah pekerjaan berat buat PPP dan Golkar, misalnya, untuk meyakinkan publik setelah kasus tersebut, apalagi dengan masuk kategori kedua di survei ini, peluang PPP lolos ambang batas parlemen bertumpu pada selisih tipis dengan angka minimal yang disyaratkan.
Partai Baru
Nasib partai baru dalam pemilu sejak era reformasi memang mengalami dinamika. Kalau kita lihat sejak Pemilu 1999 sebagai kontestasi politik pertama pasca runtuhnya Orde Baru, banyak bermunculan partai-partai baru.
Di tahun 1999 setidaknya ada 148 partai yang mencoba mengajukan pengesahan di Kemenkumham agar disahkan sebagai sebuah partai politik. Dari hasil verifikasi hanya 141 partai politik yang lolos badan hukum. Dari jumlah yang berbadan hukum ini, sebanyak 98 partai mendaftar sebagai peserta pemilihan umum 1999, namun hanya 48 partai yang lolos sebagai peserta pemilu.
Dari 48 partai itu, meskipun separuh diantaranya meraih kursi di DPR, namun secara elektoral dan basis massa, tidak banyak yang kemudian bertahan sebagai partai politik peserta pemilu. Selain tiga partai warisan politik Orde Baru, seperti PPP, Partai Golkar, dan PDI Perjuangan, terdapat juga Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Amanat Nasional (PAN).
Dua partai ini yang sejak 1999 menjadi pendatang baru yang relatif sukses mendapatkan dukungan rakyat. Keduanya setidaknya memang menjadi representasi sosok Gus Dur dan Amin Rais yang sama-sama menjadi simbol saat itu dari dua organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, yakni Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama.
Pasca 1999, seperti halnya PAN dan PKB, pada Pemilu 2004 muncul Partai Demokrat sebagai pendatang baru yang relatif mencuri perhatian. Partai ini lahir bersamaan dengan menguatnya arus dukungan kepada Susilo Bambang Yudhoyono ketika itu untuk maju menjadi calon presiden di pemilihan presiden langsung 2004.
Partai Demokrat lahir sebagai alat tawar politik sekaligus kendaraan politik bagi SBY. Hasilnya, tidak begitu mengecewakan, sebagai pendatang baru, Partai Demokrat mampu mendulang 7,4 persen. Perolehan suara ini setara dengan PKS dan PPP sebagai partai yang lebih dahulu ada di panggung politik nasional.
Apalagi di Pemilu 2009 partai berlambang bintang segi lima ini menjadi jawara di pemilu. Posisi SBY sebagai presiden petahana sedikit banyak menjadi faktor pendorong popularitas dan tingkat keterpilihan partai.
Kemenangan Partai Demokrat di Pemilu 2009 ini mencatatkan dalam sejarah pemilu di Indonesia bahwa Partai Demokrat, untuk sementara ini menjadi satu-satunya partai yang lahir di era reformasi yang pernah menjadi pemenang di Pemilu. Di Pemilu 2009 sendiri tidak ada partai baru yang berhasil lolos ambang batas parlemen dan meraih kursi di DPR RI.
Masuknya partai-partai baru dalam kluster kelompok partai yang kemungkinan kecil lolos memenuhi ambang batas parlemen mengindikasikan satu hal, partai baru tidak mudah bertarung dalam pemilu.
Baru kemudian di Pemilu 2014 ada satu partai pendatang baru yang berhasil masuk dalam parlemen di Senayan. Partai tersebut adalah Nasdem yang di pengalaman pertamanya menjadi peserta pemilu mampu meraup 6,7 persen suara dan berhasil merebut 36 kursi.
Selain ditopang oleh jaringan media yang dimiliki oleh sang ketua umumnya, Nasdem juga memiliki jaringan politik yang relatif bersinggungan dengan Partai Golkar. Hal ini tidak lepas dari jejak pendirian partai ini tidak lepas dari banyaknya kader-kader Golkar yang masuk dalam Partai Nasdem.
Boleh jadi hal itulah yang dicoba oleh Perindo. Dengan memanfaatkan jaringan media yang dimiliki ketua umumnya, partai ini relatif sukses mengangkat popularitasnya karena jauh-jauh hari sudah mendeklarasikan diri sebagai partai. Namun, hasil survei masih menempatkan Perindo di bagian terbawah bersama partai-partai pendatang baru lainnya, seperti PSI, Berkarya, dan Garuda.
Masuknya partai-partai baru dalam kluster kelompok partai yang kemungkinan kecil lolos memenuhi ambang batas parlemen mengindikasikan satu hal, partai baru tidak mudah bertarung dalam pemilu. Pengalaman yang dirasakan oleh partai baru generasi awal reformasi tentu berbeda dengan tantangan partai-partai baru di era saat ini.
Rekam jejak partai, sosok tokoh partai, dan isu-isu yang dibawakan partai memegang peran penting untuk mendongkrak pamor partai baru bersaing dengan partai-partai yang sudah lama eksis.
Jika kemudian disimulasikan, angka elektabilitas dikurangi derajat resistensinya, semua partai baru masuk dalam zona minus keterpilihan.
Dengan kata lain, diferensiasi menjadi kata kunci bagi partai baru untuk mampu mencuri perhatian publik. Langkah ini sebenarnya sudah dilakukan oleh PSI. Kemunculannya sebagai partai baru berbasis anak-anak muda sudah kompatibel dengan komposisi jumlah pemilih yang sebagian besar (40 persen) adalah pemilih muda dan mula.
Syarat keanggotaan PSI yang menekankan belum pernah menjadi anggota dan aktif di partai politik menjadi menu baru dalam tradisi rekruitmen politik partai. Apalagi dalam penjaringan calon legislatifnya, PSI melakukan fit and proper test dengan melibatkan tokoh berintegritas.
Sayangnya, PSI dan partai baru lainnya berat mendapat tempat di hati pemilih. Hal ini tampak dari pola respon publik terhadap partai baru. Hasil survei merekam, penolakan pemilih untuk mencoblos partai-partai baru angkanya lebih tinggi dibandingkan elektabilitas yang diraih partai-partai baru ini.
Lihat saja, baik Partai Berkarya, Garuda, Perindo maupun PSI, tingkat resistensinya justru lebih besar dari tingkat keterpilihannya. Jika kemudian disimulasikan, angka elektabilitas dikurangi derajat resistensinya, semua partai baru masuk dalam zona minus keterpilihan.
Menariknya, resistensi terbesar justru dialami oleh PSI. Di survei ini angka keterpilihan partai yang identik dengan anak-anak muda milenial ini mencapai 0,7 persen. Namun, tingkat resistensinya justru berada di angka 5,6 persen.
Sejumlah wacana yang dikumandangkan PSI selama ini, seperti penolakan perda syariah, poligami, sampai pada polemik mereka dengan sesama partai pendukung Jokowi-Ma’ruf, memengaruhi persepsi publik pada partai ini.
Jika kita tengok rekam jejak di pemilu-pemilu sebelumnya, dapat disimpulkan, keberadaan partai-partai baru tidaklah mudah. Jika partai-partai lama berjuang untuk meraih elektabilitas dan mengurangi resistensi pada dirinya, partai baru lebih dari itu.
Mereka ditantang untuk melewati fase pengenalan atau popularitas lalu akseptabilitas, sebelum kemudian bertarung untuk mendapatkan elektabilitas. Tentu, di fase kampanye inilah resistensi terhadap partai, apalagi dikaitkan dengan pemilu yang digelar serentak, akan membayangi peluang mereka meraih elektabilitas. (Yohan Wahyu/Litbang Kompas)