JAKARTA, KOMPAS – Sambil mengupayakan keberatan ke Organisasi Perdagangan Dunia dan sejumlah langkah lobi, Indonesia jangan melupakan perbaikan tata kelola perkebunan sawit. Industri perkebunan yang menjadi dasar 7 – 8 persen produk domestik bruto ini membutuhkan perbaikan sehingga tak lagi mudah terhambat dengan isu mendasar seperti lingkungan dan sosial.
Perbaikan tata kelola ini juga diharapkan bisa mengubah kebijakan Uni Eropa terkait arahan penggunaan energi terbarukan (RED II). Hingga 2023, Indonesia masih punya harapan kebijakan itu dipermudah agar sawit tak lagi “didiskriminasi” seperti anggapan selama ini.
Selain itu, langkah perbaikan tata kelola sawit juga menjadi kebutuhan bagi Indonesia yang mengadopsi tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs). Regulasi yang menjadi dasar perbaikan berupa moratorium kehutanan, moratorium perkebunan sawit, penguatan sertifikasi minyak sawit berkelanjutan wajib (ISPO), restorasi gambut, hingga penyelesaian penguasan lahan dalam kawasan hutan pun telah dimiliki Indonesia.
“Jadi akan sangat tepat jika sumber daya yang ada hari ini diarahkan untuk menyukseskan berbagai komitmen yang telah digariskan pemerintah,” kata Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, Selasa (9/4/2019) di Jakarta.
Jadi akan sangat tepat jika sumber daya yang ada hari ini diarahkan untuk menyukseskan berbagai komitmen yang telah digariskan pemerintah.
Dari sisi polemik yang terjadi pasca kebijakan RED II Delegated Act Komisi Eropa, ia melihat persaingan merupakan fenomena yang wajar. Ia berharap Indonesia bisa menyikapinya dengan bijak antara lain pemerintah bisa memanfaatkan kesempatan untuk intervensi perubahan kriteria pada kebijakan terkait pada masa revisi 2021-2023 karena kebijakan di EU bersifat dinamis.
Apalagi kemunculan kebijakan RED II tersebut tak tiba-tiba. Tuntutan masyarakat Eropa terhadap produk ramah lingkungan, termasuk bukan berasal dari penggundulan hutan tropis, ditangkap secara politik oleh Parlemen dan Komisi Eropa.
Indonesia
Di dalam negeri, Indonesia pun menyebutkan ada jutaan hektar kebun sawit ilegal berada di kawasan hutan. Selain itu, laporan Kajian Sistem Tata Kelola Komoditas Kelapa Sawit 2016 oleh Komisi Pemberantasan Korupsi menunjukkan 801 ribu ha hak guna usaha (HGU) kebun sawit berada di kubah gambut.
Masih dari laporan KPK tersebut, meski ekspansi sawit ketika itu terus berjalan – hingga muncul Inpres Moratorium Sawit pada tahun 2018 – peningkatan produksi dan ekspor tidak seelastis penerimaan pajak. Selain itu, kepatuhan wajib pajak perusahaan dan perseorangan pun turun signifikan pada 2011-2015.
Tingkat kepatuhan wajib pajak badan turun dari 70,6 persen tahun 2011 menjadi 46,3 persen tahun 2015 dan tingkat kepatuhan wajib pajak perorangan turun dari 42,3 persen tahun 2011 menjadi 6,3 persen tahun 2015.
“Jika akar masalah diatas dibereskan maka pengentasan kemiskinan dan pencapaian target SDs akan otomatis tercapai. Jadi tak ada hubungannya dengan RED II, Delegated Act, karena akar masalahnya ada pada bagaimana Indonesia menjalankan berbagai kebijakan positif tersebut,” kata Teguh Surya.
Ia pun menjelaskan masalah serius yang terjadi di Eropa saat ini yang harus dipahami Pemerintah Indonesia sebagai mitra bisnis. Pertama, sejumlah 99 persen minyak sawit yang masuk melalui Pelabuhan Rotterdam bersertifikat minyak sawit berkelanjutan dari berbagai skema sertifikasi namun tidak dapat dilacak sumbernya. Kedua, komitmen nasional UE dimana uang pajak rakyat tidak digunakan untuk insentif biodiesel.
“Jika Indonesia memahami situasi tersebut tentu jalan keluarnya sangat mudah, kerja bareng agar minyak sawit indonesia yang diperdagangkan di Eropa bisa benar-benar dijamin dan terlacak sumbernya tidak dari perusakan lingkungan, sehingga UE terbantu dan punya argumentasi kuat untuk menjelaskan kepada masyarakatnya,” katanya.
Di sisi lain, dalam siaran pers, Misi Gabungan Negara-negara Penghasil Minyak Sawit (CPOPC) telah berada di Brussels, Belgia pada 8 April 2019 waktu setempat. Delegasi Indonesia dipimpin Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution dan Delegasi Malaysia dipimpin Dato Tan Yew Chong (Sekretaris Jenderal Kementerian Industri Primer Malaysia), serta Kolombia sebagai negara pengamat diwakili Duta Besar Kolombia untuk Kerajaan Belgia Felipe Garcia Echeverri.
Misi ini merupakan tindak lanjut dari keputusan yang disepakati dalam Pertemuan Tingkat Menteri ke-6 CPOPC yang diadakan pada tanggal 28 Februari 2019 di Jakarta. Saat itu anggota CPOCC memprotes keras Suplemen Resolusi petunjuk Tambahan 2018/201 Uni Eropa mengenai RED II Delegated Act.
Selain menilai diskriminatif, CPOCP berpandangan resolusi itu akan menghambat pencapaian pengentasan kemiskinan – termasuk SDGs – pada negara produsen sawit. Sebab, sekitar 17 juta orang menggantungkan hidupnya secara langsung dan tak langsung dari industri dan perkebunan sawit.
Negara-negara Anggota CPOPC memandang undang-undang yang anti kelapa sawit sebagai kompromi politik di Uni Eropa. Tujuannya, mengisolasi dan mengecualikan minyak kelapa sawit dari sektor energi terbarukan.
“Demi keuntungan minyak nabati yang berasal dari bunga matahari (sun flower) dan rapseed maupun minyak nabati impor lainnya seperti minyak kedelai yang kurang kompetitif,” demikian pernyataan CPOCP.