Indonesia dan Malaysia mencoba meyakinkan UE agar mempertimbangkan ulang kebijakan soal sawit. Jika aturan sawit disahkan UE, Indonesia akan meninjau ulang hubungan RI-UE.
BRUSSELS, KOMPAS— Dewan Negara-negara Produsen Minyak Sawit (CPOPC) menggelar pertemuan dengan pemangku kebijakan Uni Eropa untuk membahas kebijakan UE terkait kelapa sawit yang dinilai diskriminatif, tidak adil, dan dibuat berstandar ganda. Pertemuan itu berlangsung di Brussels, Belgia, Senin-Selasa (8-9/4/2019).
Pertemuan tersebut dihadiri, antara lain, oleh pemangku kebijakan industri bahan bakar nabati (biofuel), anggota Komite Hubungan Internasional Parlemen Eropa Elmar Brok, perwakilan Komisi Eropa, Dewan Eropa, akademisi, lembaga kajian, asosiasi sawit, dan industri terkait di Eropa.
CPOPC merupakan organisasi antarpemerintah negara- negara penghasil minyak sawit yang didirikan Indonesia dan Malaysia. Kedua negara ini merupakan negara utama produsen minyak sawit, memproduksi hingga 85 persen dari total produksi minyak sawit sedunia. Sebesar 10-15 persen produksi itu diekspor ke Eropa.
Misi ke UE dipimpin Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution. Malaysia diwakili Sekjen Kementerian Industri Primer Malaysia Tan Yew Chong. Juga hadir di pertemuan, Duta Besar Kolombia untuk Belgia dan Kepala Misi Kolombia untuk UE, Felipe Garcia Echeverri.
Dalam konferensi pers, Darmin mengatakan, Indonesia dan Malaysia telah mengirim surat kepada ketua Parlemen Eropa dan presiden Dewan Uni Eropa agar mereka memperhatikan kekecewaan kedua negara terkait kebijakan kelapa sawit. ”Kami percaya ada dialog yang lebih konstruktif dan berkelanjutan tentang kelapa sawit untuk membantu mencapai tujuan pembangunan yang berkelanjutan,” kata Darmin.
Pada 13 Maret 2019, Komisi Eropa mengadopsi aturan pelaksanaan Arahan Energi Terbarukan II (Renewable Energy Directive/RED II). Dokumen RED II, antara lain, berisi tidak direkomendasikannya minyak sawit mentah sebagai bahan bakar nabati di wilayah UE. Jika tak ada keberatan Parlemen Eropa dan Dewan Eropa hingga dua bulan setelah RED II diadopsi, aturan itu disahkan.
Darmin menjelaskan, masalah kelapa sawit dianggap sebagai pemicu perubahan peruntukan lahan hutan, komoditas yang tidak berkelanjutan, dan berisiko tinggi. ”Itulah yang dijadikan alasan delegated act yang dibuat diskriminatif, tidak adil, dan menggunakan standar ganda,” ujarnya.
Ia mengatakan, berdasarkan data 2017, sebanyak 63,9 persen dari 188,8 juta hektar total lahan Indonesia adalah hutan. Dari 120,6 juta hektar lahan hutan, hanya 7 persen merupakan kebun kelapa sawit. Jumlah ini jauh lebih sedikit dari hutan produksi 36 persen, hutan lindung 15,7 persen, dan kawasan konservasi 11,7 persen.
Dia membandingkan dengan hutan di Uni Eropa yang hanya sekitar 37,89 persen dari total lahan di seluruh Uni Eropa. Dari angka itu, hanya 16,43 persen yang bukan hutan kayu. ”Ini sangat ironis apabila Uni Eropa mengungkit isu ini (perubahan fungsi lahan),” kata Darmin.
Dalam pernyataan tertulis, Selasa (9/4), CPOPC mengatakan, undang-undang UE yang antikelapa sawit merupakan bagian dari politik proteksionisme UE yang berupaya memberi lebih banyak peluang terhadap produk minyak nabati dari bunga matahari, rapeseed, dan kedelai. Tanaman itu ditanam di wilayah UE.
Hubungan RI-UE
Bagi Indonesia, industri kelapa sawit adalah komoditas penting karena menciptakan lapangan kerja, mengurangi kemiskinan, serta dalam upaya pencapaian UN Sustainable Development Goals (UN SDGs). ”Kebijakan Uni Eropa yang berkembang saat ini disampaikan tidak menampung pandangan berimbang terkait sawit Indonesia. Namun, jika regulasi diskriminatif terhadap sawit tetap disahkan, pemerintah akan meninjau ulang hubungan Indonesia-Uni Eropa,” ujarnya.
Tan Yew Chong mengatakan, saat ini yang dibutuhkan adalah kompetisi sehat dan adil. ”Kadang-kadang kita bekerja sama, kadang-kadang kita berkompetisi. Tetapi, kita punya tujuan jelas untuk membangun kompetisi yang sehat,” ujarnya.
UE, melalui pernyataan yang dirilis Perwakilan UE untuk Indonesia, 21 Maret 2019, mengatakan, kriteria keberlanjutan untuk biofuel dan biomassa yang ditetapkan dalam RED II bersifat global, obyektif, dan tidak diskriminatif. (AYU)