Sertifikat Internasional Perbaiki Posisi Tawar Tuna Indonesia
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·3 menit baca
Sertifikasi internasional untuk perikanan berkelanjutan menaikkan posisi tawar dan harga jual tuna Indonesia di pasar global. Nelayan dibina untuk mendapatkannya.
JAKARTA, KOMPAS — Para pelaku yang tergabung dalam Asosiasi Perikanan Pole & Line dan Hand Line Indonesia mematok target memperoleh sertifikat dari Marine Stewardship Council atau MSC pada 2020. Selain meningkatkan nilai jual produk, penangkapan tuna dengan cara yang ramah lingkungan juga meningkatkan keberlanjutan perikanan tangkap.
Ketua Asosiasi Perikanan Pole & Line dan Hand Line Indonesia (AP2HI) Janti Djuari di Jakarta, Selasa (9/4/2019), menyatakan, proses sertifikasi bagi nelayan yang menangkap tuna satu per satu dengan pancing ulur (hand line) dan huhate (pole and line) telah berjalan lima tahun untuk tiga wilayah, yaitu Sulawesi Utara, Maluku Utara, serta Maumere dan Larantuka di Nusa Tenggara Timur (NTT).
Menurut Janti, nelayan pancing ulur dan huhate yang telah melaksanakan prinsip perikanan ramah lingkungan hingga kini belum memperoleh sertifikasi karena banyaknya syarat tata kelola perikanan berkelanjutan, antara lain pendataan dan ketertelusuran. Proses sertifikasi ekolabel itu ditempuh melalui kemitraan dengan organisasi International Pole & Line Foundation (IPNLF).
Sertifikasi MSC menjamin rantai produk mudah ditelusuri, mulai dari nelayan, jenis kapal, daerah tangkapan, jenis ikan, pedagang, usaha pengolahan ikan, hingga ritel. Produk tuna memiliki nilai jual 10-15 persen lebih tinggi ketimbang hasil tangkapan masif dengan alat tangkap pukat cincin (purse seine).
Produk berlabel MSC bernilai jual lebih tinggi sehingga diharapkan berimbas kepada nelayan.
Dengan demikian, pelaku usaha perikanan memiliki posisi tawar lebih baik dalam pemasaran produk di tingkat global. ”Produk berlabel MSC bernilai jual lebih tinggi sehingga diharapkan berimbas kepada nelayan,” kata Janti.
Bina nelayan
Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan, produksi tuna, tongkol, dan cakalang Indonesia mencapai 20 persen dari total produksi perikanan tangkap Indonesia pada 2018 yang mencapai 6,72 juta ton. Capaian itu sekitar 16 persen dari produksi tuna, tongkol, dan cakalang dunia.
Selain MSC, upaya meningkatkan daya saing produk tuna Indonesia juga ditempuh melalui sertifikasi Fair Trade (FT) dari Amerika Serikat. Lembaga sertifikasi FT telah menjalin kemitraan dengan banyak pelaku ritel di AS, salah satu negara konsumen utama tuna di pasar global.
Kini ada satu perusahaan Indonesia yang memperoleh sertifikat MSC, yaitu PT Citra Raja Ampat Canning di Sorong, Papua Barat. Sementara sertifikat FT untuk pancing ulur diperoleh PT Harta Samudera di Ambon, Maluku.
Inisiatif untuk sertifikasi FT antara lain ditempuh Yayasan Masyarakat dan Perikanan Indonesia (MDPI) dengan membina nelayan pancing ulur mitra PT Harta Samudera. Nelayan binaan antara lain tersebar di Nusa Tenggara Barat, NTT, Maluku, Maluku Utara, dan Sulawesi Utara dengan total 3.679 orang.
Direktur Eksekutif MDPI Saut Tampubolon menyatakan, pihaknya menargetkan produk tuna yang memperoleh sertifikat FT meningkat dari 1.349 ton pada 2018 menjadi 5.000 ton pada 2020. Nelayan binaan yang memenuhi kriteria diharapkan meningkat dari 859 orang menjadi 1.500 orang pada 2021.
Sertifikat itu menguntungkan nelayan karena ada dana premium. Dana ini adalah tambahan 0,3 dollar AS per kilogram ikan jika nelayan memasok perusahaan yang juga tersertifikasi FT.