Dua kali ikut Pemilu, mengantarkan Hanura jadi partai dengan kursi paling sedikit di DPR RI. Di tengah dinamika internal yang terjadi, Hanura bertekad bangkit di Pemilu 2019
Dua tahun setelah kalah dalam pemilihan Presiden 2004, Jenderal (Purn) Wiranto mendirikan Partai Hati Nurani Rakyat atau Hanura. Dalam wawancara dengan Kompas, 21 Desember 2006 lalu, Wiranto mengatakan, Hanura lahir dari obsesi mengembalikan partai pada fungsi yang sesungguhnya.
“Nama ini sederhana, mudah diingat, tetapi bermakna. Selama ini antara rakyat yang memberi mandat dan elite yang diberi mandat ada jarak. Dengan nama ini, kami mengharapkan pemimpin mana pun berorientasi kepada nurani rakyat dan memperjuangkan misi kerakyatan.” ujar Wiranto saat itu (Kompas, 21/12/2006).
Kini, 12 tahun sudah berlalu. Hanura telah dua kali mengikuti pemilu, Empat tahun terakhir, Hanura menyusuri perjalanan yang dinamis. Sejumlah perubahan terjadi, yang antara lain ditandai dengan naiknya Oesman Sapta, yang awalnya bukan kader Hanura, sebagai ketua umum baru pada 2016. Ia menggantikan Wiranto yang saat itu ingin fokus menjabat sebagai Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan.
Pada awal 2018, konflik melanda internal partai itu, yaitu antara kubu kepengurusan yang mengakui Oesman Sapta sebagai ketua umum, dengan kubu yang mengusung Daryatmo sebagai ketua umum pengurus baru Hanura.
Menyusul konflik internal tersebut, sejumlah politisi Hanura pindah ke partai lain, hanya satu tahun menjelang penyelenggaraan pemilu. Mereka antara lain Sarifuddin Sudding, Dossy Iskandar, Dadang Rusdiana, dan Rufinus Hotmaulana.
Kini, Hanura praktis diisi wajah-wajah baru. Sebanyak 85 persen dari jumlah caleg yang dimajukan Hanura di pemilihan legislatif adalah tokoh baru dan anak muda. Partai itu kini juga banyak diisi oleh anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), pasca naiknya Oesman Sapta sebagai Ketua DPD menggantikan Irman Gusman.
Situasi konflik internal dan hengkangnya para tokoh lama itu sebagaimana diakui Wakil Ketua Umum Partai Hanura Gede Pasek Suardika, sempat menjadi tantangan konsolidasi untuk Hanura dalam menyambut pemilu.
Meski demikian, lanjut Suardika konsolidasi lambat laun dapat dicapai. “Perubahan itu sesuatu yang abadi. Kami tetap mencari jalan terbaik dan kami yakin bisa mencapai hasil maksimal di pemilu kali ini,” ujarnya, Minggu (7/4/2019).
Dua kali ikut pemilu, mengantarkan Hanura menjadi partai dengan jumlah anggota paling sedikit di DPR RI. Menjadi pemandangan yang sering terlihat dalam rapat-rapat komisi di DPR, ketika anggota Dewan dari fraksi lain bisa saling bergantian membagi tugas di komisi, para politisi Hanura menjadi pejuang tunggal yang harus hadir di setiap rapat karena tidak ada pengganti.
Di Pemilu 2019, Hanura berikhtiar memperbaiki kondisi itu. Hanura pun menetapkan target yang cukup tinggi, yakni 48 kursi DPR RI. Bahkan, Dalam Rapat Pemenangan Pemilu DPP Partai Hanura, Februari 2019 lalu, Oesman Sapta bahkan menargetkan partainya masuk tiga besar pemilu.
“Target kami, mendudukkan dan melipatgandakan lebih banyak wakil rakyat dibandingkan yang ada saat ini. Memang tidak mudah, tetapi itu tekad yang kami bangun,” ujar Suardika.
Kejutan
Hasil survei dari sejumlah lembaga, menempatkan Hanura sebagai partai pemilik kursi di DPR RI yang sulit lolos ambang batas parlemen Pemilu 2019 yang besarnya 4 persen dari suara sah nasional.
Namun, menurut Suardika, adanya keraguan terhadap capaian Hanura di pemilu kali ini, tak terlalu memengaruhi semangat para caleg yang berkontestasi. Hanura tetap optimistis karena kekuatan elektoral Hanura ada di caleg dan manajemen daerah pemilihan.
Suardika meyakini, di tengah keraguan publik, partainya akan membuat kejutan di pemilu 2019. “Berbagai hasil survei seolah jadi peradilan opini politik bagi Hanura. Namun, kami menikmati saja, justru semakin bersemangat ingin membuat kejutan dan mematahkan berbagai opini itu,” katanya.
Bisa tidaknya Hanura membuat kejutan dan mematahkan keraguan publik itu, akan diketahui pada pekan depan.