DEPOK, KOMPAS — Universitas Indonesia melakukan reformasi budaya kampus guna meningkatkan efisiensi kinerja selaku Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum. Penyelarasan aturan di setiap fakultas dan satuan kerja akan dilaksanakan, dengan syarat tetap menghormati otonomi lembaga.
Hal tersebut dibahas dalam acara "Sembilan Nilai Universitas Indonesia Indentitas Kita" yang menampilkan pembicara anggota Dewan Komisaris Otoritas Jasa Keuangan Nurhaida dan mantan Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardoyo di UI, Depok, Jawa Barat, Selasa (9/4/2019). Nilai-nilai tersebut adalah kejujuran, keadilan, keterpercayaan, kemartabatan, tanggung jawab, kebersamaan, keterbukaan, kebebasan akademik, dan kepatuhan pada aturan.
"Sebenarnya, sembilan nilai itu sudah ada di Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga UI. Namun, belum semua fakultas dan satuan kerja menerapkannya," kata Direktur Sumber Daya Manusia UI Riani Rachmawati.
Umumnya, satuan kerja baru melaksanakan sebagian dari nilai-nilai tersebut. Selain itu, juga perlu dilakukan sosialisasi tidak hanya kepada staf UI, tetapi juga seluruh mahasiswa agar memahami landasan falsafah kinerja perguruan tinggi ini.
Penyelarasan aturan
Riani menjelaskan, reformasi budaya kinerja ini dalam proses pemetaan kebutuhan dan akan diikuti dengan penyelarasan aturan. Oleh sebab itu, mereka melibatkan konsultan di bidang peningkatan kompetensi kinerja, yaitu GML Performance sebagai mitra dalam penyusunan strategi, pengawasan, dan evaluasi.
Salah satu aturan yang akan diselaraskan adalah ketentuan mengenai plagiarisme. Selama ini, UI memiliki aturan dari Dewan Guru Besar UI yang berfungsi melakukan pembinaan kehidupan akademik dan integritas moral serta etika dalam lingkungan sivitas akademika.
"Aturan ini perlu dibuat adaptasinya berupa peraturan rektor yang memiliki kekuatan hukum mutlak di universitas. Dengan demikian, aturan tersebut wajib dibuat turunannya di setiap fakultas," ujar Riani.
Menurut dia, tantangan nomor satu dalam melakukan penyelarasan adalah otonomi yang dimiliki oleh fakultas dan program studi. Proses yang tengah dijalankan adalah memetakan aturan-aturan fakultas dan prodi agar tidak tumpang tindih serta tetap menghormati kemerdekaan fakultas.
Terkait hal ini, Agus Martowardoyo mengatakan pentingnya membangun jaringan jawara pemimpin di dalam lembaga. Setiap aturan yang dibuat bagaimana pun juga sangat bergantung kepada keterlibatan pemimpin.
"Tidak apa-apa dengan otonomi karena setiap satuan kerja memiliki sistem sendiri, yang penting adalah para pemimpinnya memiliki satu visi berlandaskan nilai-nilai komunal yang disetujui. Soal pengadaptasian per unit bisa disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing," tuturnya. Ia menerapkan sistem ini di Bank Indonesia dan ketika memimpin Bank Mandiri.
Birokrasi
Sementara itu, anggota Dewan Komisaris Otoritas Jasa Keuangan Nurhaida memaparkan pembenahan yang dilakukan di lembaga tersebut. Pertama-tama adalah dengan meninjau kembali makna birokrasi.
Sejatinya birokrasi ada untuk memastikan segala proses kerja sesuai dengan standar sehingga dapat dipertanggungjawabkan. Akan tetapi, ini kerap mengakibatkan birokrasi diartikan dan dijalankan dengan sangat kaku. Hasilnya justru sangat kontraproduktif karena prosedur kerja yang berbelit-belit dan memakan waktu lama.
"Birokrasi justru bertujuan membuat kinerja efisien. Artinya, birokrasi harus selalu relevan dengan perkembangan zaman dan kebutuhan. Perubahan menjadi lebih efisien dan sesuai dengan ciri khas unit kerja harus dilakukan, tentunya dengan kesepakatan bentuk melalui diskusi terbuka dengan semua komponen yang terlibat, termasuk staf," tuturnya.
Khusus di OJK, diadakan evaluasi setiap tiga bulan untuk memastikan sistem berjalan dengan semestinya dan apabila ada usulan untuk pembenahan lebih lanjut.