Aditya Kresna Menggaungkan Lukis Cethe Tulungagung
Harum biji kopi arabika varietas Komasti Andungsari yang sedang dipanggang di Bumi Perkemahan Jurang Senggani, Tulungagung, Jawa Timur, seakan menyempurnakan pameran belasan lukisan di antara tegakan pinus dan cemara, dalam udara sejuk, dan sinaran mentari pagi di hari yang cerah. Lukisan-lukisan itu karya sang pelukis, Aditya Kresna yang menggunakan warna dari ampas terhalus kopi yang disebut dengan "cethe".
Penataan lukisan dengan warna dominan gradasi cokelat, hitam, dan putih itu tetap menarik mata dibandingkan dengan deretan tenda warna warni. Objek lukisan terasa lebih hidup dan mengandung pesan daripada sajian lanskap itu sendiri.
Salah satu lukisan menggambarkan seorang perempuan, berkerudung, berkaca mata hitam, berair wajah cemberut, satu tangan memegang hati merah, dan tangan lainnya memegang dompet. Perempuan itu berhadapan dengan seorang lelaki berpeci hitam, berkaca mata, mulut hendak memakan hati merah itu, dan tangan satu memasukkan uang-uang kertas ke dompet sang perempuan.
“Lukisan ini kritik tentang kasus penyebaran hoaks penganiayaan itu lho,” kata sang pelukis, Aditya Kresna menerangkan.
Lukisan dibuat dengan menggunakan ampas terhalus kopi atau di Tulungagung lebih dikenal dengan sebutan cethe. Di Tulungagung, nyethe merupakan tradisi tiada duanya yakni berbincang di warung-warung kopi sambil membatik rokok atau kertas dengan ampas terhalus kopi yang dicampur dengan sedikit susu cair.
Teknik melukis dengan ampas kopi sebenarnya sudah diketahui secara global.
Namun, Aditya mengembangkannya dari tradisi nyethe saat mencoba peruntungan membuka usaha warung kopi pada 2014-2016. Dengan menggunakan ampas kopi, Aditya menghasilkan sejumlah lukisan yang kini menjamin keberlangsungan hidup keluarganya.
Menggambar merupakan kegemaran Aditya sejak kecil. Darah seni menurun dari ayahanda yang merupakan perupa sekaligus pegawai negeri sipil pada Pemerintah Kabupaten Tulungagung.
Keinginan untuk terus bergulat dalam menggambar itulah yang membuat Aditya sukses menembus Program Studi Desain Komunikasi Visual Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Malang pada 1997 yang ketika itu dalam perubahan status menjadi Universitas Negeri Malang. DKV berada dalam Jurusan Seni Rupa Fakultas Bahasa dan Seni.
“Studi di sana menggantung. Saya selesaikan di tahun 2003 tetapi tidak ikut wisuda sehingga ijazah tidak punya sampai sekarang,” kata Aditya sambil tertawa.
Saat masih kuliah tepatnya di semester tujuh, Aditya bekerja di studio animasi CyberKid Indonesia di Malang sampai dua tahun. Setelah itu, ayah dari dua anak ini bekerja free lance di bidang desain grafis sejak lulus sampai 2007. Di sela kegiatannya, Aditya melukis di kertas dan sesekali di kanvas.
Selanjutnya, Aditya merantau ke Bali dan mencoba peruntungan. Di Pulau Dewata, Aditya bekerja sebagai desain grafis di Hotel Tugu lalu berpindah ke studio animasi milik pengusaha Perancis. Setelah dua tahun, Aditya bosan dan pindah kerja lagi ke Garuda Wisnu Kencana meski masih tetap menangani desain grafis sekaligus melanjutkan kesukaannya melukis.
“Seorang teman dari Perancis membeli dan membawa pulang beberapa lukisan saya ketika masih bekerja di GWK,” ujar Aditya. Pada 2013, Aditya bosan di Bali dan memutuskan pulang tetapi menganggur.
Setahun kemudian, Aditya mencoba peruntungan dengan membuka kedai kopi bernama Ngomah Warung Gallery. Tabungan yang dimiliki habis untuk modal usaha sehingga tidak ada lagi yang bisa untuk memenuhi hasratnya tetap melukis. Padahal, harga kanvas dan cat minyak mahal.
Ampas kopi
Sejak kembali ke Tulungagung, Aditya sudah mengetahui ada budaya cethe. Tradisi unik ini meluas seiring dengan menjamurnya kedai-kedai kopi di “Kadipaten Ngrowo” (nama Tulungagung di era Kesultanan Mataram) itu. Dana cekak untuk membeli kanvas dan cat sedangkan yang melimpah adalah ampas kopi. Selain itu, teknik melukis dengan ampas kopi sebenarnya sudah dikenal secara global. Yang belum ada dalam diri Aditya adalah mencobanya.
“Awalnya saya melukis sketsa dengan pensil tetapi merasa tidak sreg sehingga coba-coba dan akhirnya cocok dengan ampas kopi atau cethe,” kata Aditya.
Karya pelukis cethe atau ampas terhalus kopi, Aditya Kresna saat dipamerkan di Bumi Perkemahan Jurang Senggani, Tulungagung, Jawa Timur.
Awalnya saya melukis sketsa dengan pensil tetapi merasa tidak sreg sehingga coba-coba dan akhirnya cocok dengan ampas kopi atau cethe.
Lelaki ini terbantu dengan kehadiran kalangan jurnalis yang sering nongkrong di kedai miliknya. Pemberitaan lokal mengangkat namanya dan menarik perhatian Pemerintah Kabupaten Tulungagung. Aditya diajak berpameran seni budaya Tulungagung di Surabaya pada 2015. Dengan cethe, Aditya menggambar sosok Presiden Joko Widodo, Presiden ke-1 Soekarno, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, Bupati Tulungagung Syahri Mulyo dan dipamerkan di Balai Budaya Surabaya.
“Beberapa lukisan itu kemudian dibeli termasuk oleh Pak Syahri yang tahunya dari wartawan. Dari sana saya mulai yakin bahwa berkarya bisa untuk hidup,” kata Aditya.
Aditya tidak berhenti coba-coba untuk berkarya tetap dengan ampas kopi. Ia memikirkan bagaimana agar karya tidak menjamur, karakter warna setiap jenis kopi, dan pengaplikasian pada kanvas. Setahun merupakan masa eksperimen yang membuatnya kian mantap untuk terus berkarya.
Pameran
Loncatan itu tiba pada 2017 saat dirinya ditawari pameran ke Amerika Serikat mewakili Komunitas Perupa Jawa Timur (Koper Jati). Aditya berada selama 23 hari di negara bagian Texas yang 14 hari di antaranya berada di Dallas untuk memamerkan lukisan cethe Barongan dan mendemonstrasikan pembuatan lukisan cethe. Selain itu, Aditya turut mengikuti urban scetch internasional di Dallas sekaligus bertemu dengan komunitas diaspora asal Indonesia di sana.
Sepulang dari Negeri Paman Sam, Aditya kian semangat untuk terus berkarya. Usaha kedai kopi yang sulit dikembangkan terpaksa ditinggalkan. Jalan seni menjadi laku hidup yang dipilih dengan mantap oleh Aditya. Sudah lebih dari 200 lukisan dihasilkannya yang sebagian besar bertema kritik politik.
Di Tulungagung, ada kalangan yang menggemari lukisan Aditya. Ada seorang pengusaha yang mengoleksi lukisan ampas kopi. Sejumlah pameran kecil diadakan sehingga karyanya kian dikenal.
Untuk menghasilkan suatu karya, Aditya memerlukan setidaknya tujuh jenis kopi. Arabika, robusta, liberika, atau campuran yakni kopi ijo (campur dengan bubuk kacang hijau) juga dipakai. Misalnya, untuk nuansa gulita pekat didapat dari kopi gayo. Untuk warna kecokelatan memakai kopi sendang wilis. Rona kehijauan tentu dari kopi ijo yang kebetulan khas Tulungagung. Secara umum, kopi robusta berkarakter warna hitam kemerahan sementara arabika hitam keemasan.
Tradisi nyethe sejak 1970 di Tulungagung telah berkembang dari media rokok atau kertas ke lukisan kanvas. Perkembangan terus merangsek ke dalam kehidupan kreativitas warganya. Sudah mulai bermunculan produsen cendera mata dengan metode pewarnaan cethe di berbagai media.
“Dengan tujuan melestarikan nyethe, saya mencoba lewat jalan seni rupa dengan lukisan,” kata Aditya.
Aditya Kresna
Lahir: Tulungagung, 6 Juli 1978
Pendidikan:
- SDN 01 Kampung Dalem
- SMPN 02 Tulungagung
- SMAN 01 Kauman
- Universitas Negeri Malang
Istri: Durotul Fatimatuz Zahro
Anak:
- Adam Jauharna
- Kejora Ramadhania Kreshna
Penghargaan: Pelukis Cethe Tulungagung 2017