Indonesia memiliki bahasa daerah yang beragam. Masyarakat Kelurahan Tafaga di Pulau Moti, misalnya, menguasai lima bahasa daerah. Keragaman bahasa daerah itu menjaga kerukunan masyarakat.
JAKARTA, KOMPAS — Keragaman bahasa daerah di dalam satu wilayah memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai faktor perekat kerukunan di masyarakat. Di saat yang sama, promosi penggunaan bahasa daerah untuk perdamaian juga bisa mencegah bahasa tersebut mengalami kepunahan dan juga bisa dijadikan sebagai lumbung kosakata baru untuk Bahasa Indonesia.
Hal itu mengemuka dalam Konferensi Linguistik Tahunan (Kolita) ke-17 yang dilaksanakan oleh Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta, Rabu (10/4/2019), di Jakarta. Kegiatan yang diselenggarakan hingga tanggal 12 April ini juga menghadirkan pemateri dari Malaysia, Amerika Serikat, Inggris, Australia, dan Jepang.
Salah satu pemateri utama dalam seminar itu adalah Gufran Ali Ibrahim, Kepala Pusat Pengembangan dan Perlindungan Bahasa dan Sastra di Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan milik Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Ia memaparkan penelitiannya di Kelurahan Tafaga di Pulau Moti, Ternate, Maluku Utara. Penduduk kampung itu mahir berbicara dalam bahasa Melayu Ternate, Ternate, Tidore, Taba, dan Omamoi. Tiga bahasa masuk ke dalam rumpun Austronesia, dan sisanya adalah bahasa non Austronesia. Artinya, kemiripan suku kata di antara kelima bahasa itu sangat kecil.
“Uniknya, tidak ada hierarki di dalam pemakaian bahasa. Perubahan pemakaian bahasa terjadi dengan sangat cair, tidak bergantung kepada jumlah populasi penutur maupun status sosialnya,” papar Gufran.
Tidak ada hierarki di dalam pemakaian bahasa. Perubahan pemakaian bahasa terjadi dengan sangat cair.
Contohnya, apabila ada dua anak bermain sambil bercakap-cakap dengan bahasa Ternate, ketika ada anak ketiga yang datang dan merupakan penutur bahasa lain, kemungkinannya ada dua. Pertama, pembicara ketiga akan turut berbicara dengan bahasa Ternate karena dua pembicara pertama jumlahnya lebih banyak dan lebih dulu berada di tempat pertemuan. Kemungkinan kedua adalah justru dua pembicara pertama beralih menggunakan bahasa ibu pembicara ketiga dengan alasan ia hanya sendirian atau topik yang sedang dibahas dianggap lebih sesuai jika dibicarakan dengan bahasa lain.
Rukun lewat bahasa
“Kunci dari budaya ini adalah akseptansi, integrasi, dan akomodasi,” kata Gufran. Akseptansi adalah seluruh warga menerima fakta ada lima bahasa di wilayah mereka. Integrasi berarti warga sepakat untuk mempelajari kelima bahasa tersebut. Akomodasi berarti warga dalam kehidupan sehari-hari selalu memberi ruang kelima bahasa tersebut dituturkan. Melalui tiga prinsip ini, warga membentuk relasi yang rukun antara kelompok penutur bahasa yang berbeda.
Sebagai lingua franca (bahasa pengantar), mereka memilih bahasa Melayu Ternate yang digunakan pada acara-acara adat seperti melamar dan pernikahan. Bahasa ini juga digunakan di SD kelas I, II, dan III karena merupakan jembatan bagi anak-anak untuk mengenal Bahasa Indonesia.
Bahasa Melayu Ternate adalah Bahasa Indonesia yang dilafalkan memakai dialek lokal sehingga mempunyai kesamaan banyak kosakata dengan bahasa nasional. Bahasa Indonesia penggunaannya masih terbatas di ruang formal seperti kantor-kantor pemerintahan.
Kepala Pusat Kajian Bahasa dan Budaya Unika Atma Jaya Jakarta, Yanti, mengatakan, tujuan dari Kolita adalah memberi ruang bagi dosen dan mahasiswa untuk menampilkan penelitian mereka. Bahasa daerah mendapat perhatian khusus karena sangat jarang akademisi Indonesia yang meneliti bahasa daerah.
“Justru, peneliti bahasa daerah Nusantara umumnya dari Belanda, Australia, Jepang, dan AS. Padahal, bahasa daerah kosa katanya potensial untuk disadur ke Bahasa Indonesia,” ujarnya.