Pemerintah mesti mengevaluasi manajemen penanganan pascabencana di Sulawesi Tengah yang telah berjalan enam bulan. Penanganan yang terlalu dikendalikan pemerintah pusat menyebabkan sejumlah persoalan.
Oleh
Videlis Jemali
·3 menit baca
PALU, KOMPAS — Pemerintah mesti mengevaluasi manajemen penanganan pascabencana di Sulawesi Tengah yang telah berjalan enam bulan. Kendali penanganan yang terlalu dikendalikan pemerintah pusat menyebabkan sejumlah persoalan.
Demikian kajian peneliti The Asia Foundation, Yulia Indri Sari, yang dipaparkan dalam diskusi oleh Forum Sulteng Bergerak di Palu, Sulteng, Kamis (11/4/2019). Penelitian dilaksanakan pada 20-28 Maret 2019 dengan metode kualitatif melalui wawancara penyintas, unsur pemerintah, dan aktivis lembaga swadaya masyarakat.
Gempa bumi, tsunami, dan likuefaksi melanda Kota Palu, Kabupaten Donggala, dan Sigi, 28 September 2019. Bencana itu menelan tak kurang 4.000 jiwa serta menyebabkan sekitar 100.000 rumah hilang dan rusak.
Persoalan yang belum selesai antara lain pembangunan hunian sementara (huntara) yang menurut rencana awal rampung Desember 2018, pencairan dana stimulan untuk perbaikan rumah rusak, pencairan dana santunan kematian, serta gelontoran uang jaminan hidup.
Penanganan bencana di Sulteng, terutama dari sisi anggaran, berada di bawah pemerintah pusat melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, serta Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Di pihak lain, pemerintah daerah mulai dari provinsi hingga kabupaten/kota hanya bertugas sebatas urusan pendataan.
Oleh karena diurus pusat, manajemen yang digunakan bercorak standar baku dan birokratis. Padahal, faktanya, dampak bencana terhadap masyarakat di Sulteng beragam, mulai dari warga yang rumahnya lenyap, rusak berat, hingga kehilangan pekerjaan. Setiap masalah membutuhkan penanganan berbeda.
Warga yang rumahnya hilang atau rusak berat, misalnya, membutuhkan hunian sementara lebih cepat. Namun, banyak penyintas kategori ini masih tinggal di tenda-tenda darurat. ”Masalahnya kompleks sehingga seharusnya ditangani lebih detail dengan mendengarkan keinginan atau kebutuhan penyintas,” kata Indri.
Oleh karena diurus pusat, manajemen yang digunakan bercorak standar baku dan birokratis.
Di pihak lain, pemerintah kabupaten/kota ataupun provinsi ingin bertindak cepat, tetapi anggaran untuk mengeksekusi program penanganan bencana dikendalikan pemerintah pusat. Akibatnya, pemerintah daerah hanya bertindak teknis, seperti verifikasi data.
Kondisi ini tampak dalam kasus dana stimulan perbaikan rumah rusak bagi para penyintas. Pemerintah ingin dana perbaikan rumah bagi penyintas yang rumahnya rusak berat, sedang, dan ringan dicairkan langsung. Namun, pemerintah pusat menginginkan adanya mekanisme khusus, seperti pembentukan kelompok masyarakat, agar dana itu dikelola bersama.
Tarik ulur itu membuat pencairan dana stimulan lambat. Dijanjikan awal Februari, sampai saat ini dana itu belum juga cair. ”Karena tidak kunjung direalisasikan, ada ketidakpastian, bahkan ketidakpercayaan kepada pemerintah,” ujar Indri.
Setelah enam bulan berlalu, Indri berharap ada perbaikan tata kelola administrasi penanganan bencana. Rehabilitasi dan rekonstruksi Sulteng pascabencana berlangsung dalam dua tahun ke depan. Dalam periode itu, banyak program besar yang perlu diselesaikan. Semuanya terkait langsung dengan kebutuhan dasar penyintas, seperti hunian tetap. Jangan sampai karena masalah birokrasi, penyediaan hunian tetap justru molor.
Terkait hal itu, Sekretaris Daerah Sulteng Hidayat Lamakarate menyatakan, mereka kesulitan mempercepat penanganan bencana karena wewenang kuasa anggaran berada di pemerintah pusat. Kewenangan daerah hanya sebatas menyiapkan data.
”Ketika kami telah menyiapkan data, harapannya segera ditindaklanjuti, tetapi faktanya tidak. Mungkin pemerintah pusat khawatir jangan-jangan data itu tak benar. Sebenarnya tak seperti itu juga karena kami pasti kawal dengan baik. Tidak mungkin kami cairkan uang begitu saja,” tuturnya.
Ansyar (49), penyintas yang saat ini mengungsi di tenda darurat kompleks Masjid Agung, Palu, mengatakan, pihaknya hanya dijanjikan segera menempati huntara. Huntara yang akan ditempati berlokasi di Kelurahan Kabonena, Kecamatan Ulujadi. ”Kami terus bersabar. Entah sampai kapan seperti ini. Kami berharap segera menempati huntara yang dijanjikan,” kata penyintas yang rumahnya rusak berat di Kelurahan Lere.
Masih banyak penyintas yang menempati tenda darurat di sana. Selain dari Kelurahan Lere, penyintas juga berasal dari Kelurahan Baru, Kecamatan Palu Barat.