JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah perusahaan dari Swedia dan Asosiasi Pengusaha Indonesia sepakat bekerja sama mencari peluang untuk mengembangkan energi terbarukan di Indonesia. Rencana Indonesia meningkatkan bauran energi terbarukan menjadi 23 persen pada 2025 adalah peluang besar bagi banyak pihak. Apalagi, di Indonesia tersedia aneka ragam sumber energi terbarukan.
Ada enam perusahaan Swedia yang terlibat dalam acara Swedish Energy Forum 2019 yang diinisiasi Swedish Energy Agency dan Asosiasi Pengusaha Indonesia, Rabu (10/4/2019), di Jakarta. Keenam perusahaan itu bergerak di bidang manajemen efisiensi energi dan bidang jaringan listrik pintar (smart grid).
Sebelumnya, Swedia dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral telah menandatangani nota kesepahaman untuk pengembangan energi terbarukan pada Februari 2017 di Jakarta.
Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Surya Darma yang hadir di acara tersebut mengatakan, Swedia dan Indonesia memiliki kesamaan dalam program optimalisasi energi terbarukan.
Indonesia mencanangkan target bauran energi nasional pada 2025, dengan porsi energi terbarukan 23 persen. Target ini sangat menantang lantaran porsi energi terbarukan saat ini masih 7 persen.
Pertemuan ini diharapkan menghasilkan kesepakatan mengenai pengembangan energi terbarukan di Indonesia. ”Bidang kerja samanya antara lain teknologi energi terbarukan, manajemen efisiensi energi, dan pengembangan sumber daya manusia,” ujar Surya.
Sementara itu, Country Manager for Indonesia dari Swedish Energy Agency Paul Westin mengatakan, Swedia memiliki kesamaan dengan Indonesia dalam hal pengembangan energi terbarukan. Swedia, katanya, menargetkan sektor transportasi sepenuhnya menggunakan tenaga listrik pada 2030. Bahkan, pada 2040, Swedia mencanangkan target 100 persen sumber energinya dari sumber energi terbarukan.
”Tidak seperti negara kami, Indonesia memiliki banyak sumber energi terbarukan, seperti panas bumi, tenaga surya, tenaga angin, maupun biomassa. Penjajakan ini diharapkan menghasilkan kesepakatan positif untuk pengembangan energi terbarukan di Indonesia,” ujar Paul.
Untuk menuju 100 persen pemanfaatan energi terbarukan pada 2040, kata Paul, Swedia akan mengandalkan tenaga hidro, biomassa, dan tenaga angin. Swedia juga dalam proses menutup sejumlah reaktor nuklir yang digunakan sebagai pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN). Tenaga nuklir masih berperan 40 persen dalam bauran energi di Swedia.
Di Indonesia, mengacu data Kementerian ESDM, penggunaan energi terbarukan dalam bauran energi pembangkit PLN terus dinaikkan. Pada saat yang sama, pembangkit yang menggunakan energi fosil (bahan bakar minyak) terus ditekan hingga menjadi 5 persen atau turun signifikan sejak 2014 yang sebesar 11,8 persen. Namun, batubara masih menjadi sumber energi primer utama, yaitu 60 persen pada 2018.
Adapun kapasitas pembangkit listrik dari energi terbarukan terus meningkat dari 1.400 megawatt (MW) pada 2014 menjadi hampir 2.000 MW pada 2018. Akan tetapi, sejumlah kalangan menilai, pengembangan energi terbarukan di Indonesia tidak secepat yang diharapkan. Persoalannya, antara lain, pada masalah harga jual beli tenaga listrik dari pengembang ke PLN yang sulit disepakati.
Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Pengembang Pembangkit Listrik Tenaga Air (APPLTA) Riza Husni mengakui, kendati pengembangan energi terbarukan di Indonesia tak mudah, ia optimistis energi terbarukan memiliki masa depan yang cerah. Hal itu seiring dengan ongkos produksi listrik dari tenaga hidro yang kian murah dibandingkan dengan batubara. (APO)