Maduro Izinkan Bantuan Kemanusiaan Masuk ke Venezuela
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·3 menit baca
CARACAS, KAMIS -- Presiden Venezuela Nicolas Maduro mengumumkan, Rabu (10/4/2019) waktu setempat, bahwa dirinya telah mencapai kesepakatan dengan Komite Internasional Palang Merah (ICRC) untuk mengizinkan bantuan kemanusiaan masuk ke Venezuela. Negara produsen minyak ini mengalami kekurangan makanan, obat-obatan, dan kebutuhan dasar lain, seperti sabun dan kertas toilet.
Melalui siaran televisi nasional dan radio, Maduro menyampaikan, pemerintah yang ia pimpin dan ICRC sepakat untuk "bekerja sama dengan badan-badan dunia guna memasukkan bantuan kemanusiaan yang bisa dibawa ke Venezuela.”
Maduro menyangkal anggapan bahwa negaranya mengalami krisis kemanusiaan. Ia menyalahkan Amerika Serikat atas buruknya kondisi ekonomi Venezuela.
Di tengah kondisi ekonomi Venezuela yang memburuk, Maduro bersaing untuk memperebutkan kekuasaan dengan pemimpin oposisi yang lebih popular, Juan Guaido. Guaido saat ini diakui sebagai pemimpin sementara Venezuela yang sah oleh lebih dari 50 negara, termasuk AS. Ia menyalahkan pemerintahan Maduro yang tidak kompeten dan korup sebagai penyebab krisis.
Dalam pengumumannya, Maduro menyebutkan, kampanye bantuan kemanusiaan itu harus “dikelola tanpa manuver politik, tanpa politisasi, dan melalui saluran yang legal dan saling menghormati”.
Pada Januari lalu, Guaido berupaya membawa bantuan makanan dan obat-obatan untuk masuk dari Kolombia, Brasil, dan Pulau Curacao. Ia berhadapan langsung dengan pasukan penjaga perbatasan. Usaha itu gagal. Tentara yang setia pada Maduro memblokade perbatasan Venezuela-Kolombia.
Maduro beralasan, memasukkan bantuan asing ke Venezuela yang mayoritas datang dari lembaga di AS akan menjadi langkah pertama intervensi AS di Venezuela. Guaido pun menekan militer agar meninggalkan Maduro dan berpihak pada rakyat.
Laporan PBB menyebutkan, seperempat dari sekitar 30 juta penduduk Venezuela membutuhkan bantuan kemanusiaan. PBB memperkirakan sebanyak 3,7 juta warga malnutrisi, dan 22 persen anak balita menderita kekurangan gizi kronis.
Selain kekurangan makanan dan obat-obatan, Venezuela juga mengalami hiperinflasi yang diperkirakan mencapai 1 juta persen tahun ini. Akibatnya, penghasilan masyarakat pun tidak bernilai dan tidak mencukupi untuk membeli kebutuhan dasar sehari-hari.
Maduro tetap menyangkal anggapan bahwa negaranya mengalami krisis kemanusiaan. Ia menyalahkan Amerika Serikat atas buruknya kondisi ekonomi Venezuela.
Minggu lalu, perwakilan ICRC mengeluarkan pernyataan yang menyatakan bahwa mereka “khawatir dampak serius” dari situasi di Venezuela dialami oleh masyarakat terutama mereka yang tidak memiliki akses pada layanan dasar.
Kolapsnya Venezuela memaksa lebih dari 3,4 juta penduduknya meninggalkan negara itu. Jumlah itu diperkirakan bakal meningkat hingga 5,3 juta pada akhir tahun 2019 mendatang.
Pemerintah Venezuela menghadapi merosotnya pendapatan dari minyak bumi. Komoditas ini merupakan 96 persen pendapatan mereka. Selain itu, sanksi ekonomi AS memperberat krisis yang dialami negeri tersebut.
Tekanan diplomatik
AS meningkatkan tekanan terhadap Maduro ketika Wakil Presiden AS Mike Pence meminta PBB untuk mengakui Guaido sebagai pemimpin Venezuela yang sah. Di forum Dewan Keamanan PBB, Pence menegaskan bahwa "Nicolas Maduro harus pergi.”
Washington akan mempresentasikan rancangan resolusi PBB yang bertujuan untuk mengakui pemimpin oposisi, mencabut kredensial utusan Maduro di PBB, dan menunjuk wakil Guaido sebagai duta besar di PBB. "Sudah saatnya bagi PBB untuk mengakui presiden sementara Juan Guaido sebagai presiden yang sah Venezuela dan menempatkan wakilnya di lembaga ini,” kata Pence.
Maduro membalas dengan mengatakan di televisi bahwa dirinya melihat Pence “telah mempermalukan dirinya di DK PBB” dengan permohonannya. “Saya tidak bisa memahami arogansi dan harga dirinya, supremasi rasialisnya,” kata Maduro.
Maduro adalah seorang sopir bus yang meniti karir politik hingga akhirnya dipilih oleh pemimpin Venezuela terdahulu, Hugo Chavez, yang beraliran sosialis. Ia mempertahankan kendali kekuasaannya dengan dukungan militer dari Rusia dan China. Bulan lalu, Rusia mengirimkan pasukan ke Caracas, membuat ketegangan antara Washington dan Moskwa meningkat.
Di Jakarta, Duta Besar Federasi Rusia untuk Indonesia Lyudmila Vorobieva, menyebutkan, Rusia mendorong semua pihak di Venezuela untuk mengedepankan dialog untuk mencari solusi atas krisis yang terjadi. Ia menilai, sanksi ekonomi oleh AS tidak akan membuat kondisi Venezuela membaik, tetapi malah membuat sengsara warga Venezuela.
Presiden Donald Trump telah berulangkali mengatakan, semua opsi tersedia, mengisyaratkan intervensi AS di Venezuela.