Media Sosial Berperan Picu Perundungan
PONTIANAK, KOMPAS — Media sosial berpengaruh besar dalam penyebaran kasus penganiayaan dan perundungan terhadap siswi sekolah menengah pertama berinisial A (14) di Pontianak, Kalimantan Barat. Persoalan kenakalan remaja ini seharusnya dapat diselesaikan melalui pendampingan keluarga dan sekolah secara simultan.
Dugaan penganiayaan dan perundungan yang menimpa A terjadi pada 29 Maret 2019. Kasus ini kemudian tersebar melalui media sosial Instagram dan mendapat perhatian publik hingga mancanegara.
Presiden Joko Widodo pun mengungkapkan kesedihannya atas peristiwa perundungan tersebut. Presiden Jokowi meminta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menangani masalah ini.
Dalam kunjungan kerja ke Pontianak, Kamis (11/4/2019), Muhadjir menemui korban perundungan, para pelaku, kepala sekolah se-Pontianak, polisi, dan rumah sakit. Ia menghimbau agar keluarga dan sekolah mendampingi anak-anak dengan lebih bijaksana, khususnya dalam menggunakan media sosial.
”Orangtua dan guru harus tahu apa saja yang dilakukan anak, terutama dalam menggunakan gawai,” ujar Mendikbud.
Dalam kasus ini, Muhadjir memandang, kenakalan remaja adalah suatu hal yang wajar. Meskipun demikian, ia tetap menyesalkan tindakan kekerasan. Perilaku menyimpang yang dilakukan remaja terjadi karena mereka sedang memasuki tahap pubertas atau masa badai.
Kondisi biologis ini merupakan sesuatu yang wajar sehingga pendidik seharusnya tidak panik dan menggunakan pendekatan rasional untuk mengatasi persoalan ini. Pendidik harus mampu melihat persoalan ini sebagai sebuah proses tumbuh kembang anak.
Perilaku menyimpang tersebut akan menjadi persoalan yang lebih kompleks ketika mereka berkelompok. Mereka akan berkumpul berdasarkan status sosial dan identifikasi diri yang mereka temukan.
”Misalnya, perempuan yang merasa dirinya cantik akan berkumpul dengan yang merasa cantik juga,” ujar Muhadjir.
Persoalan ini dapat diatasi melalui ilmu pendidikan jiwa dengan melihat perkembangan anak. Dalam hal ini, orangtua dan guru memiliki tanggung jawab yang sama besar dalam memperhatikan perilaku anak.
Muhadjir berharap persoalan ini dapat diatasi dengan cara mendidik karena anak bukan penjahat. Mereka dapat terampas masa depannya dan berharap mereka tidak terintimidasi oleh publik, ataupun pihak yang mengolah isu ini secara tidak bertanggung jawab.
Ia ingin agar polisi menemukan pelaku yang membuat kasus ini tersebar luas di media sosial dan membuat citra buruk dunia pendidikan. Selain itu, perlu ditemukan orang yang membuat cerita hiperbola sehingga kasus ini terlihat menjadi persoalan yang besar.
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto mengatakan, situasi saat ini mengalami perubahan gaya hidup yang ditandai dengan kemajuan teknologi, khususnya gawai. Akan tetapi, masyarakat belum siap dalam memanfaatkan teknologi sehingga mereka salah dalam menggunakannya.
Sebagai contoh, anak-anak gemar mendokumentasikan peristiwa negatif di sekolah melalui foto dan video, kemudian menyebarkannya melalui media sosial. Kasus-kasus perkelahian, perundungan, dan ketidakhormatan kepada guru seharusnya menjadi bahan evaluasi bersama.
Tren kasus yang masuk ke KPAI menunjukkan adanya pergeseran, dengan kecenderungan anak menjadi pelaku kekerasan meningkat. Sebagian besar dari mereka menjadi seperti itu karena pengaruh dari dunia maya di media sosial.
Susanto berharap agar masyarakat tidak menyebarkan konten-konten bermuatan negatif, terutama tidak menyebarkan gambar pelaku, korban, atau saksi, karena tindakan tersebut masuk ke ranah pidana. Hal tersebut telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) Pasal 19 Ayat (1).
Hasil visum
Kepala Kepolisian Resor Kota Pontianak Komisaris Besar Anwar Nasir mengatakan, persoalan ini merupakan masalah perkelahian remaja yang dipicu perselisihan di media sosial. ”Mereka berkelahi satu per satu dan tidak ada pengeroyokan,” kata Anwar.
Tindakan kekerasan yang dilakukan tiga pelaku siswi sekolah menengah atas, yakni N (17), T (16), dan F (16), tidak sebesar yang diberitakan di media sosial. Dari hasil visum yang dikeluarkan Rumah Sakit Promedika Pontianak, tidak ada bukti yang menunjukkan kekerasan pada kelamin.
Pelaku telah mengakui mereka telah menjambak, memukul, mendorong, dan menendang A. Tindakan tersebut dilakukan satu per satu dan A juga melakukan perlawanan. Informasi tentang pengeroyokan yang dilakukan 12 orang tidak dibenarkan para pelaku.
Persoalan yang terjadi, ada anak yang tidak ada di lokasi, tetapi ikut dituduh sebagai pelaku. Ia pun menjadi korban perundungan melalui media sosial. Hal serupa juga dialami ketiga pelaku. Mereka mendapatkan ancaman dari orang yang tidak dikenal.
Para pelaku telah terbukti bersalah dengan melanggar UU SPPA Pasal 76 Ayat (C) juncto Pasal 80 tentang kekerasan dan penganiayaan. Mereka dijatuhi hukuman pidana selama tiga tahun enam bulan. Karena hukuman mereka dibawah tujuh tahun, mereka dapat melakukan diversi dengan syarat korban mau menerimanya.
Tidak menerima
Ibu korban, L, mengaku dirinya tidak menerima hasil visum dari RS Promedika. Meskipun demikian, ia dan A telah memaafkan para pelaku. Namun, mereka tetap akan menempuh jalur hukum agar para pelaku jera.
”Kami ingin para pelaku jera karena tidak hanya A yang menjadi korban, sebelumnya sudah ada korban dan saya ingin tidak ada korban lagi,” ujar L.
Pengacara A, Daniel Edward Tangkau, mengatakan, keluarga telah meminta visum ulang secara lebih rinci. Keluarga ingin menyelesaikan persoalan ini sesuai jalur hukum.