Mereka yang Bertahan Memanfaatkan Kulit
Biarpun dikit, yang penting lancar. Begitulah yang dikatakan Gunadi (38), penjual jaket kulit Garut di Pejompongan, Jakarta Pusat, saat didatangi Kompas pada Selasa (9/4/2019).
Setiap hari Gunadi menggantungkan jaket-jaket kulit di bagasi mobilnya yang terbuka sejak pukul 08.00. Sebuah papan yang menginformasikan satu jaket kulit ukuran sedang atau besar dihargai Rp 100.000 terpampang di bagian bawah bumper belakang mobil.
Gunadi mengakui, kebanyakan jaket yang dijual berbahan kulit imitasi karena lebih murah dan mudah laku. Meski demikian, pria asal Cirebon ini juga tetap menjual jaket kulit asli.
”Memang yang imitasi lebih mudah dijual. Namun, saya tetap membawa jaket kulit asli untuk jaga-jaga kalau ada yang berminat membelinya. Kemarin saja jaket kulit asli laku enam potong,” tutur Gunadi.
Harga jaket kulit asli memang lebih mahal, yaitu berkisar Rp 1, 8 juta-Rp 4 juta per buah. Namun, ada harga, ada kualitas. Gunadi mengatakan, jaket kulit asli dapat bertahan lebih dari sepuluh tahun, sedangkan jaket kulit imitasi paling bertahan tiga tahun.
”Selain itu, dari jenis bahan pun berbeda. Kalau jaket imitasi, bahan lebih tipis, kasar, dan panas. Berbeda dengan jaket kulit asli yang lebih tebal, halus, dan adem,” katanya.
Selama tujuh tahun berjualan, Gunadi telah merasakan pasang surut penjualan jaket kulit, khususnya dalam empat tahun terakhir. Awal berjualan, ia mampu menjual 30-40 buah jaket dalam sehari, sedangkan saat ini hanya 5-15 buah per hari.
”Omzet pun menurun. Kalau dulu bisa sampai Rp 20 juta per minggu, sekarang paling Rp 4 juta per minggu,” tuturnya.
Di sisi lain, Gunadi menambahkan, jumlah penjual jaket kulit ikut berkurang. Ia mengaku, di antara teman-temannya, hanya tinggal dirinya yang tetap bertahan berjualan jaket kulit di mobil.
Semakin maraknya jaket kulit imitasi, baik produksi lokal maupun impor, itu menjadi penyebab penurunan industri penyamakan kulit. Bahan baku kulit imitasi impor lebih murah sehingga akan lebih menghemat biaya produksi jaket kulit imitasi. Tak mengherankan jika jaket kulit harganya 15 kali lebih mahal ketimbang jaket kulit imitasi.
Asosiasi Penyamak Kulit Indonesia (APKI) mencatat, jumlah pabrik dan pekerja industri penyamakan kulit turun. Jumlah pabrik penyamak kulit besar dan menengah mencapai 112 pabrik dengan jumlah tenaga kerja 12.560 orang selama 1986-1998. Kini, jumlah pabrik terpangkas menjadi 42 pabrik dengan jumlah pekerja 5.645 orang pada 2017-2018.
Produksi industri penyamakan kulit juga menurun. Pada 1986-1998, produksi riil industri penyamakan kulit mencapai 210 juta feet per tahun atau 64 juta meter per tahun. Pada 2017-2018, produksi sebesar 110 juta feet per tahun atau 33,53 juta meter per tahun.
Baca juga: Industri Penyamakan Kulit Hadapi Tantangan
Persaingan usaha
Vice Secretary General APKI Arifin Kustiawan menyampaikan, produksi bahan baku kulit yang semakin menurun diperparah adanya persaingan untuk berebut bahan baku dengan industri makanan, khususnya pengolah kerupuk kulit dan krecek. Menurut dia, persaingan ini sudah dirasakan sejak tiga tahun lalu.
Pemilik Kerupuk Cowlit Suryo Arfianto (27) mengatakan telah memulai usaha pengolahan kerupuk kulit sapi sejak 2014. Bisnis ini dilakukan karena ada peluang besar bagi usaha kerupuk kulit untuk berkembang di Tanah Air.
Apalagi belum banyak pengusaha yang tertarik mengembangkan camilan klasik ini. ”Kalau ada peluang kenapa enggak? Di luar ekspektasi saya, ternyata banyak anak muda yang suka ngemil kerupuk kulit,” ujar Suryo.
Tren penjualan Kerupuk Cowlit pun meningkat positif. Kerupuk Cowlit dulu terjual berkisar 100-150 bungkus per minggu pada 2014. Kini, kerupuk ini dapat terjual hingga 280-350 bungkus per minggu.
Satu bungkus kerupuk kulit dijual dengan harga Rp 18.000. Dengan harga ini, omzet yang dapat diperoleh setidaknya mencapai Rp 20,16 juta per bulan.
Menurut Suryo, ia juga berinovasi agar kerupuk kulit semakin diminati. Salah satu caranya dengan menawarkan empat variasi rasa, yaitu asli, pedas, barbeque, dan keju.
Kerupuk Cowlit bermarkas di Bekasi, Jawa Barat. Bahan baku kulit diambil dari pasar terdekat, dari pemasok langganan, kemudian diolah dan dibungkus di rumah Suryo. Sepengetahuannya, kulit-kulit ini berasal dari sapi di Nusa Tenggara Timur.
Ia juga berinovasi agar kerupuk kulit semakin diminati. Salah satu caranya dengan menawarkan empat variasi rasa, yaitu asli, pedas, barbeque, dan keju.
Suryo meyakini, usaha kerupuk memiliki masa depan yang cerah. Untuk itu, ia telah mendaftarkan mereknya memiliki hak cipta. Selain itu, ia sedang mengurus agar kerupuk kulitnya segera lolos izin Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Feri Yurizal (47), pemilik usaha kerupuk kulit untuk krecek, sepakat, ada prospek yang bagus bagi usaha pengolahan kulit menjadi makanan. Setelah berusaha selama lima tahun di daerah Buncit, Jakarta Selatan, ia mengatakan omzet saat ini dapat mencapai Rp 60 juta per bulan.
”Dalam sebulan, kami bisa memproduksi sekitar 600 kilogram kerupuk kulit untuk dijadikan krecek,” kata Feri yang memasok kulit sapi dari Tegal Parang, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan.
Geliat UMKM
Dampak perebutan bahan baku antara penyamak kulit dan pengusaha makanan belum dirasakan oleh para pegiat usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) sektor kerajinan. Salah satunya adalah Mohamad Sumpeno (50), pengusaha produk kulit berlabel Pheryno Leather Collection asal Yogyakarta.
”Perebutan bahan baku kulit asli belum terasa di kalangan pelaku pengolahan kulit industri kecil dan menengah. Jumlah pelaku usaha malah makin bertambah di Yogyakarta,” katanya.
Baca juga: Lesu di Pasar Lokal, Lemah di Pasar Global
Sejak membuka usaha pada 2012, Sumpeno mengambil kulit dari Magetan, Jawa Timur. Ia sering mengambil hingga 200 feet kulit dalam satu kali pesan kepada penyamak langganannya dengan harga Rp 19.000 per lembar. Satu feet berukuran panjang dan lebar masing-masing sebesar 25 sentimeter.
Kulit-kulit itu ia warnai sesuai dengan desain produk yang ingin diciptakan. Sumpeno pun membuat berbagai macam produk menarik, seperti tas ransel, tas kecil, dompet, ikat pinggang, topi, gantungan kunci, dan tempat kartu nama.
Harga produk yang ditawarkan bervariasi. Misalnya, tas yang dijual berkisar Rp 200.000 hingga Rp 800.000. Sementara ikat pinggang dijual sekitar Rp 200.000. Pheryno Leather Collection meraup omzet rata-rata Rp 29 juta per bulan.
Menurut Sumpeno, potensi produk kulit asli untuk berkembang masih terbuka lebar di Tanah Air. Kulit asli masih memiliki pesona bagi pelanggan yang mengetahui kualitas karena awet hingga bertahun-tahun.
Kendati kulit imitasi mulai meramaikan pasar produk olahan kulit, Sumpeno tidak gentar. Justru, ia semakin termotivasi untuk berinovasi agar produknya berdaya saing dengan penambahan variasi pada produk kulit yang dibuat. Sebagai contoh, ia menambahkan kain tenun asal Nusa Tenggara Barat pada produk ikat pinggang kulitnya.
Semangat serupa datang dari pelaku UMKM lainnya, yaitu Isromi (52). Kreasi kerajinan tangan kulitnya muncul dengan label Ira Sari Leather. Melalui usahanya yang telah ditekuninya sejak 1985, Isromi kini mampu meraup omzet hingga Rp 35 juta per bulan.
Sebagai pegiat UMKM yang memanfaatkan bahan baku kulit asli, Isromi juga tidak gentar dalam menghadapi persaingan kulit imitasi. Usaha kerajinan tangannya memproduksi sandal, sepatu, gantungan kunci, dompet, dan tas yang dijual dengan harga berkisar Rp 30.000 hingga Rp 500.000.
”Fashion itu, kan, tidak ada matinya. Apalagi, selain karena kualitasnya baik, bahan kulit juga awet untuk didesain dan disimpan. Peminatnya pun terus tumbuh,” ujar Isromi.