Pembangunan pariwisata terutama di kawasan konservasi, mesti mampu menyeimbangkan aspek ekonomi dan lingkungan. Koordinasi antarlembaga mesti diperkuat agar tidak terjadi tumpang tindih kebijakan dan egosentris masing-masing instansi.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
SEMARANG, KOMPAS - Pembangunan pariwisata terutama di kawasan konservasi, mesti mampu menyeimbangkan aspek ekonomi dan lingkungan. Koordinasi antarlembaga mesti diperkuat agar tidak terjadi tumpang tindih kebijakan dan egosentris masing-masing instansi.
Hal tersebut mengemuka dalam penyampaian hasil Riset Strategi Akselerasi Pengembangan Pariwisata Jawa Tengah, Kamis (11/4/2019) di Kota Semarang. Riset tersebut dilakukan Bank Indonesia Perwakilan Jateng bersama Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Cabang Semarang.
Firmansyah dari ISEI Cabang Semarang, yang terlibat dalam tim riset, mengatakan, sinergi antara dinas pariwisata dan balai konservasi sumber daya alam sangat penting. "Itu untuk memetakan kawasan konservasi yang boleh menjadi lokasi wisata dan kawasan konservasi steril," ujarnya.
Sinergi antara dinas pariwisata dan balai konservasi sumber daya alam sangat penting
Di Jateng, salah satu destinasi wisata unggulan yang merupakan kawasan konservasi yakni Kepulauan Karimunjawa di Kabupaten Jepara. Karimunjawa masuk dalam empat Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) Jateng, selain Candi Borobudur, Dataran Tinggi Dieng, dan Museum Purbakala Sangiran.
Menurut Firmansyah, perlu komitmen untuk menjaga kelestarian alam melalui kegiatan pembatasan wisatawan pada waktu tertentu. "Juga sinergi berkala antarpelaku, akademisi, bisnis, komunitas, pemerintah, dan media," ujar Firmansyah yang juga wakil Dekan Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro (Undip) tersebut.
Pengawas Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Sembungan, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Tafrihan, menuturkan, di kawasan Dieng, warga perlu mendapat pendampingan dari pemerintah dalam pengelolaan wisata agar tidak menggerus fungsi lahan.
Perlu komitmen untuk menjaga kelestarian alam melalui kegiatan pembatasan wisatawan pada waktu tertentu
Tafrihan menuturkan, di Dieng, tanaman kentang merupakan komoditas andalan. Namun, di sisi lain, pariwisata juga terus dikembangkan. Padahal, penanaman kentang yang sangat massif mengancam ekosistem lahan. "Pendampingan dari pemerintah masih diperlukan. Saat ini, kenyataannya, masih banyak terjadi tanah longsor," ucapnya.
Kepala Dinas Kepemudaan, Olahraga, dan Pariwisata (Disporapar) Jateng Sinoeng Noegroho, menuturkan, dalam pengembangan pariwisata, ada rambu-rambu konservasi yang perlu terus dijaga. Koordinasi dengan pihak taman nasional atau Perhutani sangat diperlukan.
"Persoalan seperti ini hanya bisa selesai dengan bertemu dan berkomunikasi. Gerakan pengembangan pariwisata ini tak bisa sendiri. Kami akan mendorong forum-forum untuk duduk bersama sehingga semua terlibat dan tidak ada benturan dengan konservasi," ujarnya.
Berdasarkan data Disporapar Jateng, kunjungan wisman ke Jateng menurun 13 persen dari 781.107 pada 2017 menjadi 677.168 pada 2018. Sementara itu, kunjungan wisnus meningkat 24 persen dari 40,1 juta pada 2017 menjadi 50 juta pada 2018. Rata-rata pertumbuhan wisman dan wisnus dalam lima tahun yakni 10 persen.
Sebelumnya, Sinoeng menuturkan, penurunan kunjungan wisman pada 2018 disebabkan, antara lain, Bandara Internasional Adi Soemarmo Solo sudah tak melayani penerbangan langsung internasional. Selain itu, revitalisasi kawasan Kota Lama Semarang juga mengurangi jumlah wisatawan.
”Saat revitalisasi Kota Lama rampung, kami yakin bisa meningkatkan jumlah kunjungan, demi target 1,2 juta wisman pada 2019,” ujarnya.
Disporapar Jateng elah menetapkan Calendar of Events 2019 di Jateng. Sejumlah kegiatan menampilkan simbol dan ritus sosial yang meneguhkan karakter budaya dan identitas lokal, antara lain Borobudur Marathon, Festival Kota Lama, Festival Cheng Ho, Dieng Culture Festival, dan Ontel Kebangsaan.