Upaya tim gabungan pencari fakta bentukan Kepala Polri Jenderal (Pol) Tito Karnavian untuk mengungkap kasus penyiraman air keras terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, Novel Baswedan, disangsikan.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya Tim Gabungan Pencari Fakta bentukan Kepala Polri Jenderal (Pol) Tito Karnavian untuk mengungkap kasus penyiraman air keras terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, Novel Baswedan, disangsikan. Apalagi, hingga kini publik tak kunjung melihat hasil kerja dari tim tersebut. Berangkat dari hal itu, Presiden Joko Widodo kembali didesak untuk membentuk tim pencari fakta yang independen dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Dua tahun berlalu sejak penyiraman air keras terhadap Novel pada 11 April 2017, kepolisian tak juga bisa mengungkap kasus tersebut. Kemudian, atas rekomendasi dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Tito membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) pada 8 Januari 2019.
TGPF berisi 65 orang, sebanyak 30 orang di antaranya berasal dari unsur kepolisian. Sisanya dari eks komisioner KPK, Komnas HAM, Komisi Kepolisian Nasional, dan masyarakat sipil. TGPF ditugaskan untuk bekerja selama enam bulan, tetapi hingga kini kerja dari tim tak pernah diketahui.
Ini salah satu yang dikritik oleh Ketua Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Oce Madril. Ketiadaan keterbukaan informasi dari tim mengenai apa yang sudah dilakukannya, dan apa hasil yang diraih, membuat orang sangsi akan kerja tim dalam mengungkap kasus penyerangan terhadap Novel Baswedan.
”Penegak hukum Indonesia sebenarnya sudah memiliki sederet prestasi dalam mengungkap kasus dengan kerumitan tinggi, seperti terorisme. Sementara kasus Novel yang tergolong kasus sederhana belum menemukan titik terang. Padahal, ada banyak alat bukti yang ditemukan, seperti rekaman kamera pemantau (CCTV), sidik jari, berderet keterangan saksi, dan lainnya,” papar Oce.
TGPF yang dibentuk oleh Kapolri dan di dalamnya ada personel Polri disinyalir menghambat kerja TGPF. Apalagi santer terdengar, penyerangan terhadap Novel melibatkan oknum polisi. Oleh karena itu, menurut dia, negara seharusnya hadir. Presiden perlu membentuk TGPF berisi orang-orang independen, yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
TGPF bentukan Presiden ini dinilainya dapat mengatasi hambatan pengungkapan kasus yang kemungkinan terjadi di antara penegak hukum.
”Jadi, seperti tim pencari fakta yang sebelumnya pernah dibuat, misalnya Tim Pencari Fakta kasus Munir, lalu Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum atas kasus Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto. Tim yang dibentuk Presiden dapat mengatasi hambatan di tingkat institusi penegak hukum,” tutur Oce.
Deputi Bidang Advokasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Putri Kanesia juga sangsi dengan kerja TGPF bentukan Kapolri. Apalagi jika melihat jumlah unsur dari kepolisian di TGPF yang mendominasi. Padahal, sebelumnya, Komnas HAM merekomendasikan TGPF diisi oleh orang-orang yang independen.
”Terkait kasus Novel, Komnas HAM menemukan indikasi keterlibatan oknum kepolisian. Kalau tim investigasi juga dari kepolisian, kita takut ini tidak independen. Jadi, lebih baik Presiden membentuk sendiri TPGF yang diisi orang-orang independen,” kata Putri.
Kalaupun hal ini sulit direalisasikan oleh Presiden, Presiden hendaknya tidak lepas tangan. Presiden diminta memberikan tenggat waktu kepada TGPF bentukan Kapolri dalam mengungkap kasus Novel.
”Saya pikir, jauh lebih baik kalau kerja tim tersebut diberi tenggat waktu agar publik juga dapat kepastian,” ujarnya.
Untuk diketahui, tuntutan agar Presiden membentuk TGPF yang diisi orang-orang yang independen sudah disuarakan banyak pihak ketika kepolisian tak kunjung bisa mengungkap kasus Novel. Desakan itu muncul tidak hanya dari masyarakat sipil dan akademisi, tetapi juga dari DPR.