Perbaikan Kurikulum Butuh Pemerataan Infrastruktur dan Kompetensi
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pada era revolusi industri 4.0, sektor pendidikan terus beradaptasi pada perubahan yang terjadi. Sistem pembelajaran pun didorong dengan menerapkan teknologi pembelajaran berbasis digital. Namun, jika pemerataan kompetensi guru dan infrastruktur jaringan internet belum tuntas, upaya yang dilakukan tidak akan optimal.
“Masalah bangsa Indonesia kompleks. Jadi memang tidak mudah untuk berubah. Meski begitu, secara sistem sudah diarahkan ke sana (revolusi industri 4.0),” ujar Kepala Bidang Teknologi Pembelajaran Berbasis Multimedia dan Web Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Pendidikan dan Kebudayaan (Pustekom) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Gatot Pramono dalam acara Telkom Digisummit 2019 di Jakarta, Kamis (11/4/2019).
Ia mengatakan, penerapan kurikulum 2013 merupakan satu sistem yang dibangun untuk mendukung sumber daya manusia yang lebih kompeten saat ini. Pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, para siswa dituntut menerapkan kemampuan berpikir tingkat tinggi. Metode pembelajaran tidak lagi berpusat pada guru, melainkan pada siswa.
Meski begitu, Gatot mengakui, masih banyak kendala yang harus diselesaikan. Penguasaan teknologi, penerapan kurikulum, serta materi yang diajarkan belum sesuai dengan yang diharapkan.
Selain itu, peran teknologi komunikasi dan informasi dalam peningkatkan aktivitas pendidikan juga perlu dievaluasi. Sampai saat ini, belum ada data dan riset terkait hal itu.
"Pemerintah sedang menyiapkan aplikasi khusus yang bisa menyediakan transaksi pendidikan yang sedang berjalan. Lewat aplikasi ini akan bisa melihat pola perilaku siswa dan guru sehingga nanti bisa tahu pada titik mana yang harus diperbaiki," ucap Gatot.
Lintas sektor
CEO Pendidikan.id Santoso Suratso berpendapat, berbagai tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia di bidang pendidikan harus diselesaikan oleh lintas sektor. Konsep kolaborasi sebenarnya sudah diketahui dan dipahami bersama, namun pelaksanaannya yang sampai saat ini belum berjalan efektif.
“Agar teknologi bisa dimanfaatkan semua siswa di Indonesia tentu bukan perkara yang mudah, apalagi di daerah perbatasan. Untuk itu, masalah ini harus dikerjakan bersama agar teknologi benar-benar jadi jembatan dalam pendidikan,” katanya.
Menurutnya, masalah yang ada perlu dijabarkan lebih rinci sehingga pihak-pihak terkait tahu aspek mana yang bisa dikerjakan. Prioritas pengembangannya pun perlu disampaikan secara terbuka.
Andreas Raharso dari National University of Singapura menyampaikan, kendala lain yang bisa menjadi penghambat adalah ketakutan pada perubahan teknologi itu sendiri. Ketika ada ketakutan, seseorang biasanya akan menutup inovasi-inovasi yang bisa dikembangkan.
“Kita tidak pernah tahu apa yang terjadi di masa depan, tetapi kita harus bisa membuat masa depan. Untuk itu, pada sistem pendidikan coba jalankan kelas dengan mengedepankan next practice (praktik lanjutan) bukan best practice. Otomatis, kurikulum akan mengikuti, begitu juga dengan aturan pembelajaran,” ujarnya.