Perlu Akselerasi Pertumbuhan untuk Keluar dari Jebakan Kelas Menengah
Oleh
Sharon Patricia
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meski ada peningkatan, laju pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya berkisar 5 persen. Jika tidak ada upaya akselerasi, a akan sulit bagi Indonesia untuk keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah atau middle income trap.
Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mencatat, secara rata-rata, dari 2000-2018, laju pertumbuhan ekonomi 5,27 persen. Jika dirinci, dalam lima tahun terakhir, berdasarkan data Kementerian Perdagangan, ekonomi Indonesia tumbuh dari 5,01 persen (2014), 4,88 persen (2015), 5,03 persen (2016), 5,07 persen (2017), hingga 5,17 persen (2018).
”Memang tumbuh, tetapi sebenarnya kita bisa tumbuh hingga 7 persen. Jika pertumbuhan hanya berkisar di angka 5 persen, berarti ada yang salah dari stimulus yang diberikan oleh pemerintah selama ini,” ujar Wakil Direktur Indef Eko Listiyanto, di Jakarta, Kamis (10/4/2019).
Diskusi ini mengemuka dalam konferensi pers yang diselenggarakan Indef dengan tema ”Tantangan Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial”. Acara ini juga sekaligus sebagai pemanasan untuk debat capres-cawapres babak terakhir yang akan membahas ”Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial, Keuangan, Investasi, serta Perdagangan dan Industri”.
Lebih lanjut, Eko menyampaikan, untuk keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah dan menjadi negara maju, perlu ada kebijakan komprehensif dalam menjawab tantangan ekonomi. Salah satunya adalah dengan mendorong industri.
”Tidak ada negara yang berhasil keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah tanpa mendorong industri. Sebab, melalui industri, akan ada nilai tambah bagi sektor manufaktur kita,” kata Eko.
Sayangnya, yang terjadi malah deindustrialisasi. Meski ini merupakan hal yang lumrah, di Indonesia terjadi lebih cepat dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya.
”Dalam 10 tahun terakhir, porsi manufaktur Indonesia terhadap PDB menurun 7 persen. Sementara negara lain, yaitu Malaysia dan Thailand, penurunannya tidak lebih dari 4 persen,” kata Eko.
Selain itu, dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi, Indonesia masih ”kalah lari” dalam memberi kemudahan berinvestasi. Peneliti Indef, Andry Satrio Nugroho, menyampaikan, rumitnya regulasi masih menjadi hambatan bagi para investor untuk menanamkan modalnya.
Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), investasi langsung berupa penanaman modal asing (PMA) pada 2018 hanya 82,3 persen dari target. Realisasi PMA pada 2018 yang sebesar Rp 392,7 triliun itu lebih rendah 8,8 persen dari realisasi PMA pada 2017 yang mencapai Rp 430,5 triliun.
Andry melanjutkan, saat ini, Indonesia kalah dari Vietnam. Secara indikator kemudahan berbisnis atau ease of doing business (EoDB), Indonesia berada di posisi ke-73, sementara Vietnam ada di posisi ke-69.
”Indikator ini membahas mengenai bagaimana memulai bisnis, jaminan keamanan berinvestasi, hingga izin pembangunan. Sementara di Indonesia, peraturan di pemerintah pusat dengan daerah pun masih berbeda yang berujung membingungkan investor,” tutur Andry.
Ekonomi global
Dalam kesempatan yang sama, Presiden Komisaris Indef Fadhil Hasan turut memberikan pandangannya terkait perekonomian Indonesia. Tak dimungkiri, keadaan ekonomi global memang turut memengaruhi laju pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Fadhil menyoroti, berdasarkan data Bank Dunia, ekonomi global diproyeksikan melambat dari 3 persen ke 2,8 persen pada 2021. Keadaan yang sama juga diproyeksikan terjadi pada Amerika Serikat dan China dengan pertumbuhan ekonomi masing-masing 1,6 persen dan 6 persen.
”Meski langit hitam masih menjadi proyeksi perekonomian global, kita tidak boleh panik. Kita harus bisa mengendalikan gelombang untuk kebaikan bersama,” tuturnya.
Menurut Fadhil, dalam mengendalikan gelombang tersebut, salah satunya harus menyiapkan sumber daya manusia yang berdaya saing, khususnya bagaimana menyiapkan kemampuan manusia sejak dalam dunia pendidikan sehingga siap memenuhi kebutuhan dunia kerja.
Diharapkan persoalan-persoalan ini akan muncul dan dibahas dalam debat pemilihan presiden yang akan diselenggarakan pada Sabtu, 13 April 2019. Dengan demikian, masyarakat Indonesia dapat menilai kebijakan ekonomi setiap pasangan capres-cawapres.