JAKARTA, KOMPAS – Pemilu 2019 dianggap menjadi momen krusial bagi kerukunan dan persaudaraan bangsa. Oleh karena itu, seluruh elemen bangsa, terutama peserta pemilu, perlu merekatkan kembali persatuan bangsa yang renggang seiring kontestasi politik.
Dalam acara “Forum Titik Temu: Persaudaraan Insani, Hidup Damai, dan Hidup Berdampingan” di Jakarta, Rabu (10/4/10), Sinta Nuriyah, istri mendiang Presiden RI keempat Abdurrahman Wahid, mengatakan, pertemuan seluruh elemen masyarakat, mulai dari tokoh bangsa, tokoh agama, organisasi keagamaan, dan organisasi kemasyarakatan, diperlukan untuk mengingatkan para elite dan rakyat bahwa persaingan politik di Pemilu 2019 tidak memecah belah bangsa dan negara.
Seiring penandatanganan dokumen persaudaraan yang dilakukan Imam Besar Al-Azhar Sheikh Ahmed al-Tayeb dan Paus Fransiskus, 8 Februari lalu, menurut Sinta, dokumen itu sangat relevan dengan kondisi bangsa Indonesia saat ini. Indonesia yang menghadapi kontestasi politik, tambahnya, rentan terhadap masalah pertikaian dan perpecahan.
“Dokumen itu berisi tentang masalah kerukunan dan persatuan yang penting diingat kembali oleh seluruh elemen bangsa. Pemilu 2019, terutama, pemilihan presiden, jangan dijadikan ajang perpecahan, tetapi harus menjadi ajang pemersatu bangsa,” ujar Sinta.
Forum Titik Temu diselenggarakan oleh Nurcholish Madjid Society, Jaringan Gusdurian, Maarif Institute, dan Wahid Foundation. Selain Sinta, pembicara lain dalam acara tersebut, di antaranya, Wakil Presiden RI keenam Try Sutrisno; mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif; istri cendekiawan muslim Nurcholish Madjid Omi Komaria; Uskup Agung Jakarta Ignatius Suharyo; Ketua Dewan Pengawas Majelis Buddhayana Indonesia Sudhamek AWS; mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD; dan mantan Kepala Badan Pembinaan Idelogi Pancasila Yudi Latif.
Try mengingatkan, bangsa Indonesia harus menghadirkan kewaspadaan diri dalam pelaksanaan Pemilu 2019. Rasa waspada, lanjutnya, harus dimiliki setiap individu warga negara agar tidak mudah terjerumus dalam potensi ancaman bangsa yang dapat berdampak buruk bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Peristiwa besar, seperti Pemilu, tidak mustahil ada campur tangan pihak luar yang ingin menghadirkan distorsi di Indonesia,” katanya.
Atas dasar itu, Try menekankan, bangsa Indonesia perlu memupuk kembali nilai-nilai Pancasila yang bersifat universal dan menyatukan seluruh agama di Tanah Air. Apabila diamalkan dan dijalankan dalam kehidupan berbangsa, menurut Try, Pancasila merupakan falsafah yang dapat menuntun Indonesia menjadi bangsa yang eksis dengan kebesaran.
Kesalahan bersama
Yudi menilai, perlu ada upaya nyata untuk menemukan titik temu dari meruncingnya perbedaan di masyarakat saat ini. Hal itu, tambah Yudi, disebabkan tidak berjalannya tiga peran penjaga perbedaan itu, yakni komunitas, pemerintah, dan pasar.
Komunitas bertugas sebagai gembala nilai akhlak, lalu pemerintah ialah gembala tata kelola negara, sedangkan pasar seharusnya berperan sebagai gembala kemakmuran yang inklusif. Tetapi, nyatanya, ketiga elemen bangsa itu tidak menjalankan tugas. Komunitas yang seharusnya menjaga nilai justru terlibat politik praktis, pemerintah tidak mampu menjalanakan tata pemerintahan yang baik, dan pasar tidak terlibat dalam social capital.
“Sudah saatnya tiga elemen itu melakukan pertobatan kolektif. Hanya dengan itu bisa membawa kemaslahatan hidup bersama,” kata Yudi.