Tak Ada Lagi WNI yang Disandera di Filipina Selatan
JAKARTA, KOMPAS — Pembebasan puluhan warga negara Indonesia yang disandera kelompok bersenjata di Filipina Selatan selama tiga tahun ini telah dituntaskan. Sejak 2016, ada 36 WNI yang disandera di sana, tetapi kini sudah tidak ada lagi.
Walau demikian, kelompok bersenjata garis keras yang sering beroperasi di Laut Sulu, Filipina Selatan, masih berkeliaran di wilayah itu. Oleh karenanya, negara-negara di sekitarnya, seperti Indonesia, Filipina, Brunei Darussalam, dan Malaysia, harus terus menjalin kerja sama guna menjaga keamanan.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Kamis (11/4/2019), telah menggelar acara serah terima salah satu WNI dan jenazah WNI korban sandera kepada keluarga masing-masing.
”Dalam pertemuan hari ini, kita bahagia karena satu keluarga kita kembali dengan selamat. Namun, hari ini juga kita berduka karena satu saudara kita meninggal dunia dalam proses pembebasan,” kata Retno.
WNI yang meninggal itu bernama Hariadin dan WNI yang berhasil diselamatkan adalah Heri Ardiansyah. Keduanya diculik bersama seorang warga negara Malaysia, Jari Abdullah, di Perairan Kinabatangan, Sandakan, Malaysia, 5 Desember 2018. Ketiganya diculik oleh kelompok bersenjata saat sedang bekerja di kapal penangkap ikan SN259/4/AF.
Setelah terbebas dari penyanderaan, 5 April 2019, Hariadin bersama Heri berusaha berenang ke Pulau Bangalao guna menghindari serangan angkatan bersenjata Filipina terhadap penyandera. Hariadin meninggal akibat tenggelam di laut. Jari, warga Malaysia, juga meninggal saat proses pembebasan sehari sebelumnya. Sementara itu, Heri Ardiansyah, berhasil diselamatkan.
Sejak akhir Februari 2019, Divisi 11 Angkatan Bersenjata Filipina yang didukung Tim Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI melakukan operasi pembebasan sandera dan terus memberikan tekanan kepada para penyandera. Dalam laporan yang dirilis pada 6 April 2019, para penyandera terdesak di Pulau Simisa, Provinsi Sulu, Filipina Selatan.
Baca juga: Indonesia Terus Upayakan Pembebasan Sandera di Filipina Selatan
”Yang menyedihkan dalam proses pembebasan ini adalah salah satu saudara kita, Hariadin, dan seorang warga Malaysia meninggal dunia. Atas nama Pemerintah Indonesia, saya ucapkan dukacita kami yang sangat dalam kepada seluruh keluarga atas kepergian Hariadin. Semoga seluruh keluarga diberikan keikhlasan dan kekuatan dalam menerima takdir ini,” tutur Retno.
Meskipun sudah tidak ada lagi WNI yang disandera di wilayah Filipina Selatan, Retno memperingatkan bahwa di sana masih ada kelompok bersenjata. ”Untuk itu, kita berusaha memperkuat kerja sama trilateral antara Indonesia, Filipina, dan Malaysia untuk menjaga perairan Sulu dan sekitarnya,” kata Retno menambahkan.
Baca juga: Lika-liku Liputan Pembebasan Sandera Abu Sayyaf
Perwakilan dari keluarga Hariadin dan Heri menyampaikan apresiasinya terhadap Pemerintah Indonesia, Pemerintah Filipina, serta seluruh pihak yang terlibat dalam membantu proses pembebasan anggota keluarga mereka yang disandera.
”Bersama keluarga besar, kami mengucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada Pemerintah Indonesia yang telah mengembalikan adik tercinta kami. Saya bersama keluarga sudah mengikhlaskan kepergian adik tercinta kami. Semoga ia diterima di sisi Allah Subhanahu Wataala,” tutur Saharudin, kakak Hariadin.
Pesan apresiasi juga disampaikan Kamalia yang mewakili keluarga Heri. ”Terima kasih kepada semua pihak yang berupaya membebaskan adik kami,” ucapnya.
Pekerja migran ilegal
Terkait dengan jenazah WNI, Direktur Pelayanan Advokasi untuk Perdamaian dan Keadilan (PADMA) Gabriel Sola menjelaskan, dalam konteks kematian pekerja migran Indonesia, paling banyak adalah yang berasal dari NTT dan Jawa Barat.
Gabriel menduga TKI atau pekerja migran Indonesia yang paling rawan menjadi korban kekerasan adalah mereka yang bekerja secara ilegal di luar negeri. Juga mereka yang tidak melalui proses pelatihan bersama perusahaan pengerah pekerja migran Indonesia yang terdaftar di Kementerian Ketenagakerjaan.
Pekerja migran Indonesia yang melalui proses ilegal untuk bekerja di luar negeri punya paspor, tetapi tidak punya visa kerja. Mereka ke luar negeri dengan visa umrah atau visa turis.
”Di NTT, ada banyak pekerja migran Indonesia yang dipulangkan dalam keadaan meninggal karena mereka pekerja ilegal dan tidak punya akses kesehatan. Ada korban meninggal akibat kekerasan majikan, karena sakit, atau kecelakaan. Di Timur Tengah, pekerja migran Indonesia masuk ke negara di sana melalui perdagangan manusia. Beberapa di antara mereka digunakan untuk berperang,” tutur Gabriel.
Sementara itu, pekerja migran Indonesia legal diperhatikan oleh perusahaan tempat mereka bekerja. Mereka diberikan upah, akses terhadap fasilitas kesehatan, dan hak cuti.
Gabriel mencatat, di NTT saja, ada 105 jenazah WNI yang dipulangkan pada 2018. Pada 2019, hingga awal April ini, ada 35 jenazah yang dipulangkan di sana.
NTT merupakan salah satu kawasan di Indonesia paling rawan terhadap kasus pekerja migran ilegal. Selain itu, Jawa Barat, menurut Gabriel, cukup banyak pekerja migran ilegal yang pergi ke negara-negara Timur Tengah dan terjebak kelompok ekstremis di sana.
Baca juga: NTT Darurat Perdagangan Manusia
Bagi Gabriel, upaya pencegahan pemerintah dalam menangani isu di atas belum banyak menurunkan jumlah pekerja migran Indonesia. Beberapa pekerjaan rumah yang perlu dijadikan perhatian adalah meningkatkan sinergi atau koordinasi antara semua lembaga kementerian yang menangani isu itu.
Untuk itu, Gabriel mengusulkan agar koordinasi itu diawasi dan dipimpin oleh Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan HAM. Ia juga menyatakan dukungannya terhadap balai latihan kerja terpadu, tempat semua layanan terkait disediakan di satu atap.