Titik Nadir Pemberantasan Korupsi di Indonesia
Dua tahun berlalu, pelaku penyiraman air keras terhadap penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi, Novel Baswedan, tak kunjung terungkap. Bahkan, serangan lain terus menggempur KPK, yang diduga itu berasal dari dalam. Lembaga antirasuah sedang berada di titik nadir.
Serangan teror yang menimpa Novel pada 11 April 2017 lalu hanya bagian dari teror besar terhadap KPK. Setidaknya, sejak lembaga itu berdiri tahun 2002 hingga sekarang, ada 10 rangkaian teror yang tak hanya menyerang para pegawai, tetapi juga pimpinan.
Mulai dari aksi penculikan, perampasan perlengkapan penyidikan, ancaman bom, hingga percobaan pembunuhan hampir selalu berkait erat dengan suatu perkara yang sedang ditangani oleh korban teror.
Wadah Pegawai KPK menduga itu karena ada kebocoran dalam pelaksanaan penyelidikan, paling tidak pada setahun belakangan ini. Hambatan disebut datang dari Kedeputian Penindakan yang dikepalai Inspektur Jenderal (Pol) Firli.
”Hampir seluruh satgas (satuan tugas) di penyelidikan pernah mengalami kegagalan dalam beberapa kali pelaksanaan operasi tangkap tangan yang sedang ditangani karena dugaan adanya kebocoran OTT,” demikian petisi yang diterima Kompas, Rabu (10/4/2019).
Dalam petisi itu disebutkan pula masalah lain yang dialami KPK, yakni penanganan perkara terhambat alasan yang tak jelas, adanya perlakuan khusus terhadap saksi, serta penolakan penggeledahan pada lokasi tertentu.
Baca juga : Pimpinan KPK Setengah Hati Selesaikan Kasus Kode Etik
Dampaknya krusial, KPK tak bisa mengembangkan kasus sampai ke level pejabat yang lebih tinggi, bahkan sampai kejahatan korporasi dan tindak pidana pencucian uang.
Novel menggambarkan kondisi KPK saat ini terpuruk sepanjang sejarah.
”Tak pernah dalam sejarah KPK separah ini. Perkara lain tidak jalan karena di-ampek (distop). Jadi, paling mengembangkan perkara-perkara lama saja atau melakukan pengembangan perkara yang belum selesai,” katanya.
Novel Baswedan : Saya Masih Diancam Mau Dibunuh
Tuntutan TGPF
Satu-satunya kunci yang paling mungkin menguak itu, menurut Novel, adalah pembentukan tim gabungan pencari fakta (TGPF). Tim tersebut diharapkan tak hanya mengungkap pelaku kasusnya, tetapi segala kebobrokan yang disebut telah menghambat kinerja KPK selama ini.
”Biar diungkap itu semua. Mau ada polisi yang ikut dalam tim itu tak masalah. Yang penting juga ada orang lain yang bisa berlaku kritis pada polisi itu,” ujar Novel.
Penekanan perlunya sikap kritis terhadap polisi bukan tanpa sebab. Dua tahun kasus Novel diurus oleh kepolisian, tetapi hasilnya nihil.
Tim Gabungan Penyelidik dan Penyidik yang dibentuk Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian sekitar empat bulan lalu untuk mengungkap pelaku kasus Novel pun tak membuahkan hasil apa-apa. Kegagalan itu disebut Novel karena Polri tak berani melibatkan tokoh-tokoh yang netral.
”Saya melihat tim ini seperti menutup diri. Hanya terdiri dari penyelidik dan penyidik sebelumnya dan mungkin ada penambahan dari orang-orang terdekat institusi Polri dan para staf ahli,” kata Novel.
Tak heran, Novel tak pernah percaya terhadap kinerja tim gabungan tersebut. Apalagi, Komisi Nasional HAM pernah menyebutkan bahwa dalam penyelidikan dan penyidikan kasus Novel sebelumnya telah terjadi pelanggaran prosedur (abuse of process).
”Pertanyaannya adalah apakah maksudnya abuse of process ini tak perlu diperiksa? Atau tim ini diminta untuk memeriksa dirinya sendiri? Menurut saya, itu hal yang menunjukkan ketidakseriusan,” kata Novel.
Jalan terbuka
Jalan sebenarnya terbuka lebar jika Polri ingin serius mengungkap seluruh rentetan teror kepada KPK. Dengan kecanggihan alat deteksi yang dimiliki Polri, semua bukan hal yang mustahil.
Menurut Novel, semua teror kepada KPK memiliki bukti-bukti yang jelas. Bahkan, beberapa pelakunya dikenali oleh korban.
”Terkait teror kepada saya, saksi yang melihat pelaku itu lebih dari lima orang dengan kualitas pengetahuan dan penglihatan seperti orang sedang ngobrol. Ketika seperti itu, saya katakan, tak ada kesulitan (mengungkap pelaku),” ujarnya.
Namun, fakta yang terjadi berlawanan. Kebuntuan dihadapi karena ada unsur kesengajaan menghilangkan bukti-bukti tersebut.
Dalam kasusnya saja, Novel menyebut, ada beberapa kejanggalan, antara lain sidik jari hilang, kamera pengawas (CCTV) tidak diambil, dan saksi-saksi merasa terintimidasi.
”Saya kira, itu suatu keanehan,” katanya.
Harusnya ditanyakan juga kepada Polri, apa hambatannya? Agar publik bisa menilai dan mendapat penjelasan yang utuh kenapa kasus Novel sampai hari ini belum tuntas.
Dengan ilmu penyidik yang dimilikinya, Novel pun mencoba menjabarkan sejumlah hal yang sepatutnya dilakukan kepolisian jika ingin serius mengungkap pelaku kasusnya. Secara berurutan, prosedurnya adalah pengumpulan saksi-saksi, sketsa wajah, pencarian CCTV, dan menggunakan cell tower dump (pelacakan orang di sekitar lokasi dari nomor ponsel).
”Karena saksi semua bilang, pelaku-pelaku ini semua sambil mau melakukan, dia menelepon terus. Kalau cuma diambil sekitar TKP, dia bisa dapat nomor ponselnya. Radiusnya, kan, juga tak luas,” katanya.
Ihwal perkembangan pengusutan terhadap pelaku teror terhadap Novel yang tak kunjung menemui titik terang ini, kepolisian lebih menyerahkannya kepada TGPF bentukan Kapolri. Awalnya, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Dedi Prasetyo saat diminta konfirmasi mengarahkan perkembangan kasus Novel ke pihak Polda Metro Jaya. Sebab, mereka yang menangani kasusnya sejak awal. Dedi tidak dapat menjelaskan perkembangan apa pun karena tidak mengantongi data terbaru.
Namun, saat Kompas meminta konfirmasi kepada Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Argo Yuwono, ia menyatakan bahwa kasus Novel kini sudah ditangani satuan tugas (satgas) yang berbeda. ”Silakan ke juru bicara tim (TGPF bentukan Kapolri) yang sudah dibentuk,” kata Argo saat dihubungi.
Baca juga : Serangan Balik Koruptor Masih Mengintai KPK
TGPF Novel dibentuk oleh Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian melalui Surat Tugas Kapolri Nomor Sgas/3/I/HUK.6.6/2019 pada 8 Januari 2019. Tim yang bertugas selama enam bulan tersebut dibentuk berdasarkan rekomendasi dari tim pemantauan kasus Novel oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
TGPF terdiri atas 65 anggota yang terdiri dari unsur Polri, KPK, dan pakar. Hendardi selaku Juru Bicara TGPF, yang juga anggota tim pakar, mengungkapkan, langkah pertama setelah dibentuk, tim langsung mendalami hasil penyelidikan dari Polri, Komnas HAM, dan Ombudsman yang sudah dilakukan sebelumnya.
Tim pakar bahkan mengulang penyelidikan tersebut sekaligus menepis adanya dugaan politisasi yang kerap dituduhkan kepada Polri selama hampir dua tahun menyelidiki kasus Novel. Dalam penyelidikan ulang, tim pakar juga memiliki wewenang untuk melibatkan Polri atau melakukan pemeriksaan secara independen.
”Kami mengulang dan menambah pemeriksaan kepada saksi-saksi dari awal, termasuk reka ulang TKP,” kata Hendardi.
Baca juga : Berburu Bukti Teror dari Kota ke Kota
Sikap presiden
Secara terpisah, Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Johan Budi tidak setuju apabila Presiden Joko Widodo dikatakan tak berbuat apa-apa bagi Novel. Presiden disebutnya telah ikut membantu pengobatan Novel dan secara langsung pernah mengadakan pertemuan dengan keluarga Novel.
Terkait upaya pengungkapan pelaku, sebelum ada permintaan TGPF pun, Presiden paling tidak tiga kali memanggil Kapolri untuk meminta penjelasan bagaimana kemajuan penyidikan yang dilakukan Polri terhadap kasus Novel.
”Jawaban Kapolri waktu itu, progresnyaada meski belum maju benar. Karena itu, Presiden belum membentuk TGPF,” ujar Johan.
Presiden, lanjut Johan, bukan tidak mau membentuk TGPF, tetapi perhatian Jokowi adalah kasus ini harus diungkap tuntas. Sebab, di negara hukum ini, siapa pun penyidiknya tak boleh mendapatkan penganiayaan saat melakukan tugas.
”Jadi, bukan soal ada TGPF atau tidak bagi Presiden, tetapi kasus ini harus diungkap. Kalau pengungkapan kasus ini harus melalui TGPF, Presiden bukannya tak setuju, setuju-setuju saja, tetapi, kan, dia harus memastikan itu kepada Kapolri soal kesanggupannya mengungkap kasus ini. Dan jawaban Kapolri saat itu, masih sanggup,” tutur Johan.
Baca juga : Presiden Dituntut Hadir
Namun, ia belum bisa memastikan sikap Presiden saat ini terkait pembentukan TGPF itu. ”Saya harus menanyakan dulu kepada beliau,” katanya.
Pada intinya, Presiden sudah memerintahkan kepada Kapolri untuk segera menyelesaikan kasus ini. ”Harusnya ditanyakan juga kepada Polri, apa hambatannya? Agar publik bisa menilai dan mendapat penjelasan yang utuh kenapa kasus Novel sampai hari ini belum tuntas,” ujar Johan.
Namun, sepertinya kondisi itulah yang coba ditutup-tutupi hingga sekarang. Jika begini terus, kita sulit berharap korupsi di negeri bisa diberantas. Ini benar-benar akan menjadi momok dalam upaya pemberantasan korupsi.