UU ITE Cenderung Tebar Ketakutan dan Lemahkan Kebebasan Pers
JAKARTA, KOMPAS — Pemberlakuan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik beberapa tahun terakhir cenderung menyebarkan ketakutan berlebihan kepada publik, termasuk awak media. Kerawanan jurnalis mengalami kriminalisasi akibat pemberitaan justru berpotensi melemahkan kebebasan pers.
Pemberlakuan UU ITE pada awalnya ditujukan untuk melindungi kepentingan warga masyarakat dan tidak digunakan untuk menyasar kerja-kerja jurnalistik. Namun demikian, dalam perkembangannya justru berkebalikan.
“Instrumen hukum UU ITE begitu mudahnya digunakan untuk menyerang kebebasan berekspresi warga negara, tak terkecuali karya-karya jurnalistik,” kata Ketua Pusat Studi Hukum Hak Asasi Manusia Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Herlambang P Wiratraman, Rabu (10/4/2019), dalam Diskusi Publik “Kebebasan Pers di bawah Bayang-Bayang Kriminalisasi Hukum Siber” di Gedung Dewan Pers, Jakarta.
Selain Herlambang, tampil empat pembicara lain, yaitu Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo, peneliti media sekaligus dosen FISIP Universitas Diponegoro Wijayanto, Ketua Presidium Asosiasi Media Siber Indonesia Wenseslaus Manggut, dan Direktur Eksekutif The Institute for Digital law and Society Awaludin Marwan. Diskusi ini dipandu tenaga ahli Dewan Pers Christiana Chelsea.
Dalam konteks perkembangan kebebasan pers di Indonesia, serangan-serangan terhadap jurnalis pada peliputan isu-isu sensitif masih menjadi persoalan serius. “Karya jurnalistik paling berisiko dan bahkan mematikan, yaitu tatkala media meliput isu-isu sensitif, seperti persoalan eksploitasi sumber daya alam secara eksesif dan pemberitaan soal korupsi,” kata dia.
Karya jurnalistik paling berisiko dan bahkan mematikan, yaitu tatkala media meliput isu-isu sensitif, seperti persoalan eksploitasi sumber daya alam secara eksesif dan pemberitaan soal korupsi.
Sejumlah kasus penyiksaan dan bahkan pembunuhan akibat pemberitaan dan kerja jurnalistik dialami beberapa jurnalis, seperti Akhmadi di Simelue, Herliyanto di Probolinggo, Prabangsa di Bali, atau Ardiyansah Matrais di Merauke. Kasus-kasus seperti ini masih terus terjadi pasca jatuhnya rezim otoritarian militer Order Baru 1998.
Sesuai UU Pers, sengketa pemberitaan diselesaikan menggunakan mekanisme hak jawab dan/atau koreksi serta pengaduan ke Dewan Pers. Namun demikian, pertanyaan yang kemudian adalah, bagaimana jika kedua mekanisme itu dirasa belum memuaskan pihak-pihak yang bersengketa.
Herlambang mengusulkan agar proses selanjutnya diupayakan melalui gugatan keperdataan atau gugatan ganti rugi secara proporsional, bukan melalui pemidanaan. Proporsional dalam konteks gugatan tersebut adalah gugatan yang tidak mengubur atau membungkam kebebasan pers.
“Penyelesaian (sengketa pers) melalui peradilan pidana harus dihapus karena pasal-pasal pidana digunakan bukan untuk mendukung jaminan kebebasan pers, melainkan sebaliknya untuk menekan pers. Kedua, pasal-pasal pemidanaan di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sering dipakai sebagai dasar hukum untuk menyerang pers yang pemberitaannya dinilai merugikan pihak tertentu,” ujarnya.
Penyelesaian (sengketa pers) melalui peradilan pidana harus dihapus karena pasal-pasal pidana digunakan bukan untuk mendukung jaminan kebebasan pers, melainkan sebaliknya untuk menekan pers.
Merujuk pada putusan Mahkamah Agung Nomor 1608/K/PID/2005 menyatakan, peradilan keliru apabila menerapkan KUHP di mana kasus tersebut terkait pemberitaan pers yang lingkupnya diatur UU Pers. Selain itu, haruslah mempertimbangkan pondasi filsafat yang menopang UU Pers bahwa pers nasional harusnya menjadi pilar keempat demokrasi sehingga hakim harus berkontribusi membangun perlindungan hukum untuk pekerja pers dengan mempertimbangkan UU Pers sebagai lex specialis. Putusan MA juga menyerukan bahwa aturan pers haruslah lebih diprioritaskan dibandingkan aturan lainnya, termasuk kriminalisasi atas dasar KUHP.
“Kini sudah lebih dari 50 negara yang telah mengarahkan atau menggeser isu pemidanaan seperti pencemaran nama baik, fitnah, dan perbuatan tak menyenangkan menjadi isu perdata. Bahkan, sejumlah negara itupun telah menghapus pasal-pasal pencemaran nama baik karena dinilai memperburuk proses demokratisasi,”tambahnya.
Penelusuran jejak digital
Awaludin mengungkapkan, dalam dua tahun terakhir, media yang banyak tersandung kasus pidana khususnya hukum siber adalah media-media daring. Dalam kasus-kasus tersebut, pasal yang paling banyak disematkan adalah Pasal 27 ayat 3 UU ITE.
“Vonisnya rata-rata tiga bulan sampai satu tahun dengan denda sebesar Rp 500.000 hingga Rp 1 juta,” ujarnya.
Dari sisi pembuktian, sebagian besar bukti yang diajukan ke persidangan justru berupa cetak layar (screenshot) dan telepon pintar. Padahal, bukti forensik digital yang diakui adalah gudang perangkat keras, misalnya dalam kasus wartawan yang menggunggah tautan atau link berita.
Menurut Wijayanto, pertumbuhnya media-media daring dengan begitu pesat akhir-akhir ini semakin memperumit tantangan media masa kini. Di samping tuntutan memproduksi konten-konten, kini media juga harus berlomba-lomba menarik klik sebanyak-banyaknya dari para pembaca.
Dalam kondisi seperti ini, menurut Yosep, pers harus mampu menunjukkan profesionalisme dengan memproduksi karya-karya jurnalistik yang berkualitas. Dengan karya-karya jurnalistik yang terpercaya, berimbang, dan bertanggungjawab, maka jurnalis tidak akan terjerat UU ITE.
“UU ITE tidak akan menyasar jurnalis karena jurnalis menjalankan amanat UU untuk memenuhi hak publik atas informasi. Isu kriminalisasi terhadap jurnalis menjadi rawan karena pemahaman aparat hukum terkait UU Pers masih bermacam-macam,” paparnya.
UU ITE tidak akan menyasar jurnalis karena jurnalis menjalankan amanat UU untuk memenuhi hak publik atas informasi.
Berdasarkan data Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), sejak UU ITE diundangkan tahun 2008, sudah ada 16 kasus kriminalisasi dengan hukum siber tersebut. Pemidanaan tersebut rata-rata menggunakan pasal 27 ayat (3) UU ITE.