JAKARTA, KOMPAS — Proyeksi pertumbuhan ekonomi global 2019 kembali dipangkas menjadi 3,3 persen. Revisi proyeksi Dana Moneter Internasional (IMF) ini didasari ketidakpastian negosiasi perang dagang Amerika Serikat-China, dampak kenaikan suku bunga Bank Sentral AS, dan harga minyak dunia.
Adapun pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) Indonesia 2019 dalam World Economic Outlook yang dirilis IMF diperkirakan 5,2 persen.
Deputi Bidang Koordinasi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Iskandar Simorangkir kepada Kompas, Rabu (10/4/2019), mengatakan, risiko jangka menengah yang mesti diwaspadai Indonesia adalah kinerja ekspor.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), neraca perdagangan 2018 defisit 8,496 miliar dollar AS. Defisit ini akibat impor sebesar 188,711 miliar dollar AS lebih besar daripada ekspor sebesar 180,215 miliar dollar AS.
Untuk mengatasi persoalan itu, lanjut Iskandar, pemerintah fokus pada kebijakan penyederhanaan ekspor, percepatan perizinan, pembangunan infrastruktur, pemberian insentif fiskal untuk industri pionir ekspor, substitusi impor, serta pendidikan dan pelatihan vokasi.
”Pemerintah juga berupaya menjalin perjanjian dagang dengan sejumlah negara untuk mengatasi tekanan dari penurunan transaksi perdagangan dunia,” kata Iskandar.
Minyak
Selain kinerja ekspor, tambah Iskandar, risiko lain yang diwaspadai adalah potensi kenaikan harga minyak dunia. Upaya menghadapi hal itu adalah mengurangi impor minyak secara bertahap melalui penggunaan biodiesel dalam setiap liter solar.
Pemerintah berupaya menjalin perjanjian dagang dengan sejumlah negara untuk mengatasi tekanan dari penurunan transaksi perdagangan dunia. (Iskandar Simorangkir, Deputi Bidang Koordinasi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian)
Direktur Pelaksana IMF Christine Lagarde menyampaikan, perekonomian global menghadapi momen yang sulit. Namun, tidak ada arah menuju resesi global. Pertumbuhan ekonomi diharapkan naik pada semester II-2019 dan 2020.
Lagarde menyebutkan, ketidakpastian harga minyak dunia akibat persoalan geopolitik di sejumlah negara meningkatkan risiko bagi perekonomian global. Negara-negara importir minyak diminta meningkatkan kewaspadaan agar defisit transaksi berjalan tidak melebar.
Secara terpisah, Direktur Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal berpendapat, kecenderungan harga minyak dunia yang naik mesti diwaspadai hingga akhir tahun ini. Kondisi itu akan berdampak terhadap neraca perdagangan migas. (KRN)