Candrian Attahiyyat Pemburu Penggalan Sejarah Ibu Kota
Usianya sudah melewati enam dasa warsa, tetapi ia tidak segan berjalan kaki ditimpa cahaya matahari yang terik, hingga membenamkan sepatu ke lumpur. Semuanya demi berburu peninggalan sejarah Jakarta yang belum tersingkap. Menjaga peninggalan sejarah bagi pria bernama Candrian Attahiyyat ini sama dengan mempertahankan jati diri bangsa.
“Hari Jumat saja. Jalan kaki,” tulis Candrian (61) melalui aplikasi percakapan Whatsapp, Rabu (27/3/2019). Ia menekankan pada kata-kata jalan kaki. Panas juga rasanya hati ini, ditantang arkeolog yang usianya terpaut 35 tahun lebih senior itu untuk sama-sama berjalan menyusuri sempadan Anak Kali Ciliwung dari utara Jalan Kunir hingga Jalan Tongkol di Jakarta Utara.
Lewat perjalanan sejauh dua kilometer di pinggir Ciliwung, Candrian berniat menunjukkan jejak-jejak sejarah Jakarta di era kolonial yang relatif masih tersembunyi dari publikasi.
Hari yang disepakati pun tiba. Candrian mengajak serta pemandu wisata Museum Sejarah Jakarta, Lulu Azizah, dan staf pendamping Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) DKI Jakarta Galih Abi pada Jumat (29/3/2019) itu. Jalan kaki dimulai pukul 14.00 dari area Museum Sejarah Jakarta, masuk ke Jalan Kunir, berbelok ke timur, lalu beralih ke utara ke jalan tanah nan berdebu di pinggir kali.
Lulu dan Galih terkesima. Sejumlah benda dan sisa struktur bangunan yang seakan tidak bernilai ternyata merupakan peninggalan sejarah. Contohnya, mereka menjumpai sisa pondasi jembatan lama yang diperkirakan mulai terbangun awal abad 19; kayu-kayu yang merupakan bantalan rel peninggalan perusahaan kereta api pemerintah Hindia Belanda, Staatsspoorwegen atau SS, yang beroperasi kurun 1875-1925; serta sisa struktur dinding turap berupa susunan batu bata di pinggir badan air kali, juga diperkirakan berasal dari awal abad ke-19.
Terakhir, Candrian mengajak kami melihat satu tonggak kayu berdiameter 40 centimeter di pinggir kali, tepatnya di selatan Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta Utara. Tampilan kayu besar yang tertancap di tanah itu amat jauh dari menarik, bahkan popok bekas pakai bertengger di atasnya. Namun, kisahnyalah yang membuat kayu ini memikat kami.
Menurut Candrian, di titik kayu tadi berada, terdapat aktivitas dermaga milik suatu perusahaan untuk tempat sandar kapal kecil atau perahu pada awal abad 20. Aktivitas itu kemungkinan bongkar muat material, atau galangan perahu. Namun, ia belum bisa memastikan nama perusahaan dan jenis bisnisnya.
“Foto udara tahun 1930 menunjukkan aktivitas itu,” ucap Candrian. Tonggak kayu tadi diduga berfungsi untuk menambatkan tali kapal kecil atau perahu di masa lampau.
Mencapai lokasi tonggak kayu ini merupakan perburuan paling menantang di hari itu. Kayu berdiri di tanah selebar lebih kurang dua meter di depan dinding turap kali yang sekarang. Sementara itu, ketinggian dinding turap sekitar tiga meter dan hanya tersedia tangga kayu untuk turun. Sampai di bawah, tantangan belum selesai, karena banyak titik tanah merupakan lumpur yang licin dan rawan mengakibatkan terpeleset ke air Anak Kali Ciliwung.
Namun, Candrian tidak peduli. Ia ikut turun dan berbecek-becek, membuat sepatu ketsnya terendam lumpur limbah rumah tangga, yang kami tidak ingin tahu bersumber dari aktivitas rumah tangga yang mana. Itu semua demi mendokumentasikan tonggak kayu "bermahkota" popok tersebut.
Tripod beserta handycam tidak pernah lepas dari genggaman Candrian. Mengikuti arus zaman, ia menyiapkan klip-klip video untuk dijadikan satu dokumenter utuh yang bakal tayang di akun Youtube-nya.
Rasa gerah semakin meningkat. Keringat bercucuran membasahi pakaian Candrian. Namun, semangat terus terpancar dari raut wajahnya dan berusaha ditularkan ke peserta perjalanan lainnya. Kecintaan mantan pegawai negeri DKI itu pada bukti otentik sejarah mengalahkan rasa lelah.
Candrian berkomitmen, perjalanan ini bukan yang pertama dan bukan juga yang terakhir, bisa jadi esok menghadapi petualangan yang mirip atau bahkan lebih menantang. Ia menarget dirinya sepekan sekali atau minimal sebulan sekali turun ke lapangan mendokumentasikan peninggalan-peninggalan sejarah Jakarta, terutama dari masa penjajahan. Banyak di antaranya belum tercatat sebagai cagar budaya DKI, seperti yang ditemukan di pinggir Anak Kali Ciliwung tadi.
Sejumlah pihak mencapnya pro kolonialisme karena kegetolannya mengampanyekan pelestarian peninggalan-peninggalan masa penjajahan. Padahal, “Ini penting untuk dilestarikan guna menghormati jati diri kita sendiri,” ujarnya.
Jakarta dan Indonesia punya riwayat dijajah, tetapi juga terukir di prasasti sejarah sebagai bangsa yang berjuang melawan penjajah dan merdeka. Jika bukti-bukti sejarah asli hilang, keseluruhan riwayat tersebut yang merupakan jati diri bangsa bakal diisi informasi bohong alias hoaks. Inilah jalan hidup Candrian agar hanya kabar benar yang tersiar.
Cerita kakek-ayah
Arkeologi menjadi dunia Candrian karena pengaruh unsur keluarga, yakni almarhum kakek nya, Wadjad, serta almarhum ayah, Kasngad. Tidak ada arkeolog di antara keduanya, tetapi cerita-cerita mereka membuat anggota Tim Ahli Cagar Budaya DKI sejak 2014 itu kecanduan sejarah.
Kakeknya pernah berkisah bahwa ia merupakan tukang batu yang ikut membangun benteng-benteng di Jakarta sebelum Perang Dunia II. Adapun ayahnya pada umur 12 tahun dibawa kapal perang Jepang berlayar tahun 1944-1945, tanpa tahu ke mana tujuannya. Namun, kapal rusak ketika di dekat Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah.
Kasngad turun dengan sekoci ke Nusakambangan mencari buah untuk persediaan makanan. Interaksi kakek dan ayahnya dengan bangsa penjajah menjadi cerita sejarah yang memikat.
Soal kecintaannya terhadap sejarah Jakarta, Candrian mengatakan, ia terpukau oleh rancangan bangunan Kota Batavia yang kemudian masih bisa dilihat di kawasan Kota Tua Jakarta. “Ketika masih siswa sekolah dasar, saya diajak paman ke gedung BNI 46 dan melihat Kota Tua masih biasa saja. Saat SMA, saya ke sana lagi. Menarik juga ini. Kok ada bangunan-bangunan setua itu ya,” tuturnya.
Ia tidak langsung memilih pendidikan arkeologi saat masanya kuliah tiba. Ia terlebih dulu menghabiskan dua tahun belajar teknik sipil di salah satu kampus swasta. Namun, ia tidak kuasa menolak panggilan hati. Ia lantas memutuskan mendaftar kuliah di Program Studi Arkeologi Universitas Indonesia dan diterima tahun 1979.
Ia lulus tahun 1985 kemudian langsung bekerja dengan status pegawai honorer di Dinas Museum dan Sejarah DKI. Meski belum menjadi pegawai negeri sipil (PNS), ia sudah kerap mewakili kepala dinas dalam berbagai rapat karena tergolong punya pengetahuan mumpuni.
Setelah tiga tahun, ia hampir menyerah dan keluar dari tempatnya bekerja karena tidak kunjung lulus seleksi PNS. Namun, pengalaman dimarahi Wakil Gubernur DKI Anwar Ilmar membuatnya punya jalan diangkat.
“Karena saya bukan pegawai, saya tidak mengenakan seragam sewaktu mewakili kepala dinas di rapat. Di luar ruang rapat, Pak Anwar memaki-maki saya karena saya dianggap tidak disiplin,” ujar Candrian. Setelah diberi tahu oleh kepala dinasnya bahwa Candrian bukan PNS, Anwar langsung menyuruh Candrian mendaftar seleksi hingga akhirnya lolos tahun 1987.
Selama menjadi bagian dari Pemerintah Provinsi DKI, Candrian pernah mengemban tugas sebagai Kepala Subdinas Pengawasan Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI, Kepala Unit Pelaksana Teknis Penataan dan Pengembangan Kawasan Kota Tua Jakarta, hingga menjadi Kepala Balai Konservasi DKI dan pensiun tahun 2013.
Lepas dari jabatan di pemprov bukan berarti lepas dari dunia yang dicintainya. Suami dari Liswati ini di masa pensiunnya terus memburu peninggalan-peninggalan sejarah yang patut dilindungi dengan pemberian status cagar budaya.
Ketika turun ke lapangan, ia berupaya agar ada yang ikut serta. Dengan cara demikian, ia bisa menyebarluaskan informasi ke teman jalannya tentang peninggalan yang perlu dilestarikan. Kadang-kadang, ia juga mengajak pejabat DKI agar perlindungan peninggalan sejarah diformalkan dalam bentuk kebijakan.
Candrian pun tidak segan ikut merambah ranah maya. Facebook, Instagram, dan Youtube juga direngkuhnya sebagai sarana transfer informasi. Itulah mengapa ia selalu membawa handycam setiap menjelajah. Setiap pekan, ia berupaya mempublikasikan minimal satu video dokumenter hasil perjalanan arkeologisnya.
Sejak 2016, jumlah video yang dimuatnya mencapai 174 video. Jumlah pelanggan akunnya 2.189 orang. Penikmat olahraga bersepeda setiap akhir pekan ini pun mau belajar mengedit video sendiri agar enak ditonton. Meski hasilnya tergolong sederhana, konten video Candrian amat berharga. “Saya mengedit video biasanya malam, antara 3-5 jam. Satu video selesai rata-rata satu minggu,” ucapnya.
Seorang senior tetapi berusaha tetap kekinian. Bukan untuk beken, melainkan agar penyebaran informasi lebih luas sehingga peninggalan-peninggalan sejarah segera terlindung. Sebab, saat ini terdapat 660-an cagar budaya dan diduga cagar budaya di Jakarta. Sebanyak 216 di antaranya sudah berstatus cagar budaya, sedangkan lainnya masih dalam pengkajian.
Pekerjaan belum selesai, dan Candrian belum akan berhenti berburu. “Saya berkejaran dengan umur dan dibayangi dua ancaman. Pertama, mati. Kedua, tidak sanggup lagi survei karena faktor usia. Jadi, saya buru-buru mendokumentasikan semua,” ujarnya.
Candrian Attahiyyat
Lahir: Jakarta, 4 September 1957
Istri: Liswati
Anak:
- Rizki Hidayati
- Hafizha Hudaya
Pendidikan: S-1 Arkeologi Universitas Indonesia (1979-1985)
Pekerjaan:
- Kepala Subdinas Pengawasan Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta
- Kepala Unit Pelaksana Teknis Penataan dan Pengembangan Kawasan Kota Tua Jakarta
- Kepala Balai Konservasi DKI Jakarta
- Anggota Tim Ahli Cagar Budaya DKI Jakarta (2014-sekarang)
Buku: Onrust: Pulau Tanpa Istirahat, Yang Telah Istirahat (Erasmus Huis dan Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta, 1991)