Kampanye Negatif Kelapa Sawit Rugikan Indonesia di Eropa
Oleh
M Paschalia Judith
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Selama kunjungan ke Uni Eropa, Pemerintah Indonesia menemukan kesenjangan pemahaman dan pandangan terkait kelapa sawit akibat kampanye negatif yang cukup merugikan petani dan negara produsen. Pemerintah terus berupaya menekan kesenjangan pemahaman tentang kelapa sawit akibat informasi keliru untuk mempertahankan pangsa pasar di Eropa.
Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution memimpin kunjungan delegasi Indonesia dalam rangka misi bersama Pemerintah Malaysia dan Kolombia ke Brussel, Belgia, pada Senin (8/4/2019)-Selasa (9/4/2019). ”Persepsi negatif mengenai kelapa sawit sudah terbentuk di tingkat pejabat UE, bahkan konsumen,” ucapnya dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (12/4/2019).
Menurut Darmin, perdebatan dengan Komisi Eropa berlangsung alot. Pembahasan diakhiri dengan usulan Komisi Eropa membuat proposal dan pembahasan tertulis untuk mengadakan kunjungan ke Indonesia dalam rangka memperbarui informasi dan data baru terkait kelapa sawit.
Pembahasan tertulis itu dapat menjadi pertimbangan Komisi Eropa untuk merevisi dokumen delegated acts Arahan Energi Terbarukan (RED) II dalam pengkajian ulang pada 2021. Bentuk revisinya berupa penggolongan minyak kelapa sawit mentah (CPO) sebagai sumber bahan bakar nabati (BBN) yang berisiko rendah.
Hingga saat ini, CPO digolongkan sebagai sumber BBN berisiko tinggi. Penggolongan tersebut berdasarkan metode berbasis alih fungsi lahan secara tidak langsung atau indirect land use change (ILUC).
CPO yang tergolong dalam risiko tinggi ini akan dimanfaatkan sebagai BBN dalam jumlah tertentu sesuai dengan penggunaan pada 2019 hingga 2023. Mulai tahun 2024, jumlah tersebut akan berkurang secara bertahap menjadi nol pada 2030.
Adapun pemberlakuan dokumen delegated acts RED II akan disahkan pada 12 Mei 2019. ”Pemberlakuannya bisa diumumkan ataupun secara diam-diam,” kata Darmin.
Selain itu, Darmin menambahkan, pihaknya juga akan mengkaji ulang perjanjian dengan UE yang tengah dirundingkan. Perjanjian itu berupa perjanjian kemitraan ekonomi komprehensif antara Indonesia dan UE (I-EU Comprehensive Economic Partnership Agreement/CEPA).
Mengadu ke WTO
Apabila RED II berlaku, Staf Khusus Menteri Luar Negeri untuk Penguatan Program- program Prioritas Peter F Gontha mengatakan, Indonesia akan melawan. Salah satu bentuknya ialah jalan litigasi ke Badan Penyelesaian Sengketa Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Deputi Bidang Koordinasi Kerja Sama Ekonomi Internasional Kementerian Koordinator Perekonomian Rizal Affandi Lukman juga turut menemui sejumlah pelaku industri BBN di Eropa. ”Mereka (pelaku industri BBN) berpendapat, hingga saat ini belum menemukan pengganti CPO sebagai sumber bahan baku yang cocok untuk BBN,” ucapnya.
Saat ini, CPO tengah bersaing dengan minyak rapeseed, biji bunga matahari, dan kedelai sebagai sumber BBN. Dari segi produktivitas, Kementerian Koordinator Perekonomian menyatakan, kelapa sawit berproduksi sedikitnya 10 kali lebih banyak dibandingkan tanaman penghasil minyak nabati lainnya sehingga membutuhkan lahan lebih sedikit.
Murni diskriminasi
Dalam kunjungan tersebut, pemerintah menemukan kampanye negatif tentang kelapa sawit yang menimbulkan persepsi yang salah di antara konsumen dan masyarakat Eropa. Misalnya, kampanye negatif soal kelapa sawit di Italia lima kali lipat lebih masif dibanding iklan minuman ringan asal Amerika Serikat.
Oleh sebab itu, Peter berpendapat, perlakuan UE terhadap minyak kelapa sawit murni bersifat diskriminatif. ”CPO selalu dikaitkan dengan isu kesehatan dan lingkungan. Namun, sudah ada bantahan terkait isu kesehatan yang menyerang CPO dari Food and Drugs Association,” katanya.
Terkait kampanye negatif yang mengaitkan kelapa sawit dengan isu lingkungan, ada juga potensi bantahan. Peter berpendapat, saat ini organisasi nonpemerintah bidang lingkungan, World Wide Fund for Nature (WWF), tengah membantu menyiapkan bantahan tersebut.
Di samping itu, Peter menambahkan, pihaknya akan melakukan demarche kepada 28 negara anggota UE. Wujudnya ialah memberikan mandat pada duta-duta besar Indonesia di 28 negara Eropa untuk menyampaikan keberatan pemerintah terhadap tindakan diskriminasi UE pada CPO.