Peluang Petarung Politik Perempuan Milenial
Dari seluruh daerah pemilihan Pemilu 2019, jumlah calon anggota legislatif milenial perempuan lebih besar dari pada laki-laki. Petarung politik perempuan milenial itu beberapa juga ditempatkan partai pada nomer urut pertama daftar calon anggota legislatif. Seberapa besar peluang kemenangan mereka?
Menempati nomer urut pertama daftar pencalonan anggota legislatif oleh tiap partai politik tergolong istimewa. Pasalnya, catatan sejarah berbagai pemilu sebelumnya menunjukkan, berada pada nomer urut pertama di setiap daerah pemilihan cenderung memiliki peluang keterpilihan paling besar dibandingkan dengan nomer lainnya.
Bercermin pada hasil Pemilu Legislatif 2014 lalu, misalnya, dari total sebanyak 560 anggota DPR yang terpilih, sebanyak 348 (62,1 persen) merupakan calon anggota legislatif yang menempati nomer urut paling atas Daftar Calon Tetap (DCT). Posisi selanjutnya, mereka yang berasal dari nomer urut pencalonan dua, sebanyak 95 (16,9 persen). Sisanya, anggota DPR yang dicalonkan selain kedua nomer pencalonan 1 dan 2.
Merujuk pada grafik di atas, menjadi tidak berlebihan jika calon anggota legislatif yang dalam Pemilu 2019 kali ini menduduki nomer urut pertama, terlebih pada partai-partai politik yang selama ini dikenal memiliki keterpilihan tinggi, paling berpeluang kuat menjadi anggota DPR.
Persoalannya, bagaimana jika model analisis semacam itu digunakan dalam Pemilu 2019 kali ini, yang secara khusus untuk mengetahui seberapa banyak kaum perempuan generasi milenial yang bertarung politik saat ini? Seberapa besar pula peluang kemenangan mereka?
Rinciannya, dari total sekitar 4.981 calon anggota legislatif beridentitas lengkap yang akan bertarung di 80 daerah pemilihan (Dapil) seluruh Indonesia, teridentifikasi hanya sebanyak 1.415 calon anggota legislatif masuk dalam kelompok milenial.
Menariknya, jika dipilah berdasarkan jenis kelamin, dari total calon anggota legislatif milenial yang terdata, terdapat 816 calon anggota legislatif perempuan. Artinya, perempuan milenial menjadi bagian terbesar dari calon anggota legislatif milenial (57,6 persen).
Apabila ditelusuri lebih jauh, tidak semua perempuan milenial ditempatkan partai politik dalam nomer pertama DCT. Hasil penelusuran menunjukkan, setidaknya hanya terdapat 37 calon anggota legislatif perempuan milenial yang menduduki tempat utama pencalonan. Terdapat pula sebanyak 47 sosok yang dicalonkan pada nomer urut 2. Selebihnya berada pada urutan tiga ke bawah.
Berdasar rincian grafik di atas, tampak bahwa partai politik menempatkan sebagian besar perempuan milenial bukan pada nomer urut pencalonan utama. Dari total perempuan milenial yang dicalonkan, kurang dari 5 persen saja yang masuk dalam nominasi pencalonan pertama.
Dari seluruh pencalonan partai, PSI menjadi partai yang paling banyak menominasikan calon anggota legislatif perempuan pada nomer utama DCT. Menyusul selanjutnya Gerindra dan PPP.
Dengan kondisi demikian, jika tidak terjadi suatu perubahan radikal dibandingkan dengan masa pemilu sebelumnya, maka dapat diperkirakan tidak akan banyak calon anggota legislatif perempuan milenial yang bakal menguasai arena pertarungan politik.
Bahkan, jika peluang diperluas hingga pada keterpilihan calon anggota legislatif bernomer urut 2, maka besaran peluang keterpilihannya tidak lebih dari 10 persen saja.
Relatif rendahnya peluang keterpilihan kaum perempuan milenial dalam pemilu kali ini di satu sisi tampaknya cenderung memperkuat pembenaran hipotesis klasik terkait dengan kehadiran kaum perempuan maupun kalangan muda popular yang lebih banyak ditempatkan sebagai pengumpul suara (vote getter) partai politik semata.
Akan tetapi, di sisi lain kemunculan calon-calon anggota legislatif perempuan milenial yang tergolong wajah baru perpolitikkan bahkan hingga lahirnya partai politik yang memfokuskan pada kalangan milenial semacam ini memberikan warna baru dalam perkembangan politik di negeri ini. Menjadi persoalan selanjutnya, apakah mereka mampu menggantikan dominasi politik yang sudah terbentuk selama ini?
Jika dikaji dari sisi besaran peluang kaum perempuan milenial saat ini memang cenderung menempatkan mereka yang bernaung dalam partai politik mapan yang paling berpeluang paling besar. Menjadi semakin besar peluang mereka jika sebelumnya sudah pernah merebut kursi legislatif pada Pemilu 2014 lalu.
Pada Pemilu 2019 kali ini, jika dikelompokkan terdapat sebanyak 11 calon anggota legislatif perempuan milenial yang pada pemilu lalu berhasil meraih kursi legislatif.
Dari jumlah tersebut, paling banyak berpeluang, mereka yang dicalonkan oleh Gerindra. Selanjutnya, Golkar dan PKB (Grafik 3). Pada pemilu kali ini, jika tidak terjadi suatu perubahan besar maka ke-11 calon anggota legsilatif ini yang paling berpeluang besar meraih kembali kursi DPR.
Pada kelompok lainnya, kaum perempuan milenial yang sebelumnya bukan merupakan anggota legislatif memiliki peluang yang beragam. Terdapat sebanyak 21 calon anggota legislatif dalam kelompok ini.
Berbeda dengan para petahana legislatif, pada calon anggota legislatif kelompok ini sekalipun dinominasikan sebagai calon pertama, tidak berarti langkah politik mereka menjadi ringan. Beberapa potensi kendala, seperti riwayat penguasaan partai politik pengusung dan besar kecilnya derajat persaingan yang terbentuk di daerah pemilihan membuat para calon anggota legislatif perempuan milenial kelompok ini memiliki beban politik relatif berat.
Bagi calon anggota legislatif seperti Irene yang dicalonkan Gerindra di Papua, bisa jadi tidak seberat yang dihadapi Anna Kurniawati, yang dicalonkan PKS di Papua Barat. Bagaimanapun Gerindra memiliki sejarah penguasaan suara yang cukup signifikan di Papua dibandingkan dengan PKS. Kondisi yang relatif sama juga pada calon anggota legislatif berasal dari PAN di wilayah Sumatera Barat, yang menjadi salah satu kantong suara partai ini pada pemilu-pemilu sebelumnya.
Dari berbagai partai bersama calon anggota legislatif perempuan milenial yang diusungnya, menarik mencermati peluang partai-partai baru. Secara khusus pada kehadiran PSI, partai yang menominasikan 10 calon anggota legislatif perempuan milenial pada tempat pertama. Menjadi semakin menarik lagi, jika sebagian dari calon yang diusung bertarung pada daerah pemilihan yang dikenal ketat pola persaingannya.
Di Dapil Jakarta 2, yang meliputi Jakarta Selatan dan Pusat, misalnya, PSI mencalonkan Tsamara Amany. Sosok berusia 22 tahun yang kini banyak malang melintang dalam perdebatan politik media massa tersebut akan berhadapan dengan 104 calon anggota legislatif lainnya.
Setidaknya, ia akan bersaing dengan petahana legislatif, Biem Triani Benjamin dari Gerindra, Hidayat Nur Wahid, yang kembali dicalonkan PKS. Dari PDIP, terdapat Eriko Sotarduga dan Masinton Pasaribu, dua sosok anggota legislatif yang tidak kalah populer. Sesama perempuan, ia juga akan bersaing dengan Okky Asokawati yang kali ini dicalonkan Nasdem. Terdapat pula calon utama Demokrat, Melani Leimena Suharni.
Sebagai pendatang baru, ia juga akan berhadapan dengan calon anggota legislatif yang juga baru seperti Zuhairi Misrawi yang dicalonkan PDIP ataupun Davin Kirana dari Nasdem. Pada Dapil DKI 2 dengan jumlah pemilih sebesar 2,5 juta itu diperebutkan 7 kursi DPR.
Jalan terjal yang harus dilalui oleh politisi pendatang baru dari PSI ini juga akan dihadapi oleh Ratu Ayu Isyana Bagus Oka (38) di Dapil kompetitif Banten 3, ataupun Dara Adinda Kesuma Nasution (23) yang bertarung di Dapil Sumut 3.
Tampaknya, pertarungan mereka, para perempuan milenial dari partai politik baru ini tidak hanya sebatas persoalan bagaimana memenangkan sebanyak-banyaknya pemilih. Lebih dari sekadar itu, kiprah mereka menjadi simbol keberhasilan ataupun justru malah kegagalan para petarung politik perempuan milenial. (LITBANG KOMPAS).