Pemprov DKI Jakarta didorong menambah luas ruang terbuka hijau (RTH) dengan cara memanfaatkan tanah kosong aset pihak lain tanpa harus membeli.
Oleh
J Galuh Bimantara
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Provinsi DKI Jakarta didorong tidak lagi menggunakan strategi pengadaan lahan untuk menambah luas ruang terbuka hijau. Salah satu alternatifnya, memanfaatkan tanah kosong aset pihak lain tanpa harus membeli.
Tanah kosong itu bisa berupa lahan terbengkalai yang tidak atau belum dimanfaatkan pemiliknya, tanah di sisi rel kereta dan sempadan kali, tanah di bawah saluran udara tegangan ekstra tinggi (sutet), serta lahan kolong jalan layang.
”Saya sudah lebih dari sepuluh tahun menyampaikan hal ini, tetapi Pemprov DKI dari dulu berpikirnya membeli lahan. Seharusnya, itu prioritas paling bawah,” ucap ahli lanskap kota dan pegiat Peta Hijau, Nirwono Joga, Kamis (11/4/2019).
Jika mengutamakan cara membeli lahan, waktu yang dibutuhkan lebih banyak. Pemprov mesti memastikan pemilik lahan bersedia serta dokumen tanah lengkap dan tanpa masalah. Waktu lebih panjang lagi jika tanah dalam sengketa.
Kendala terkait pengadaan lahan diakui oleh Kepala Dinas Kehutanan DKI Suzi Marsitawati. Saat pengadaan tanah untuk ruang terbuka hijau (RTH) tahun 2018, kendala antara lain sertifikat tanah masih berupa girik, dokumen tanah tidak lengkap, serta surat bermasalah. Meski demikian, ia menekankan, dari target 47 hektar, pemprov bisa mendapatkan 43 hektar lahan.
Namun, Nirwono yang akrab disapa dengan Yudi itu tetap mengkritik kebijakan itu. Sebab, biaya amat besar yang digelontorkan hanya untuk pengadaan lahan, belum termasuk pembangunan dan pemeliharaan RTH. Alokasi anggaran pendapatan dan belanja DKI untuk pengadaan lahan RTH tahun 2018 sekitar dua triliun, sedangkan pada tahun ini Rp 1,55 triliun.
Dengan mengelola lahan pihak lain, DKI tidak perlu mengeluarkan biaya untuk membeli lahan, tetapi cukup untuk menghijaukan lahan. ”Ini percepatan menambah luas RTH tanpa harus membeli. Namun, DKI juga perlu meminta izin agar RTH yang terbangun dihitung sebagai RTH DKI,” ujar Yudi.
Saat ini, luas RTH di DKI terus bertambah, berkisar di angka 10 persen dari total luas provinsi. Sekretaris Daerah Provinsi DKI Saefullah pada September lalu menyatakan, RTH DKI baru 9,9 persen, sedangkan penambahan 1 persen RTH saja setara sekitar 81 hektar lahan (Kompas, 14/9/2018). Capaian DKI dengan program pengadaan lahan pada tahun lalu berarti baru menambah 0,53 persen.
Yudi mencontohkan, di sepanjang Jalan HR Rasuna Said serta sejumlah titik di area Sudirman Central Business District terdapat lahan swasta terbengkalai yang bisa dimanfaatkan. Namun, ia merekomendasikan agar DKI fokus pada lahan aset kementerian serta badan usaha milik negara agar lebih mudah dikoordinasikan sehingga penambahan RTH lebih cepat.
Ia memperkirakan terdapat potensi penambahan 14 persen RTH yang bersumber dari tanah kosong milik negara. Jika semua tergarap, DKI berarti bisa mempunyai 24 persen RTH. Itu belum termasuk RTH milik swasta.
Diterapkan di negara lain
Strategi mengelola lahan milik pihak lain, kata Yudi, sudah dijalankan Singapura. Pemerintah negara jiran itu menerapkan tiga langkah. Pertama, menginventarisasi lahan-lahan yang berkategori ”tanah telanjang” serta mendata pemiliknya.
Kedua, memberi tenggat kepada pemilik lahan untuk mengajukan proposal pemanfaatan lahan kosong mereka itu.
Ketiga, jika dalam satu-dua tahun pemilik lahan belum memiliki program pemanfaatan, misalnya karena belum memiliki dana, pemerintah mengambil alih pengelolaan lahan untuk RTH publik.
Cara itu berkontribusi meningkatkan RTH Singapura hingga sekarang mencapai 39 persen dari total luas kotanya. ”Informasi terbaru, Pemerintah Singapura menargetkan RTH 56 persen sampai 2050,” kata Yudi.
Ia merekomendasikan DKI meniru cara tersebut. Jika terganjal regulasi, gubernur bisa menerbitkan peraturan gubernur untuk memberi landasan hukum asalkan tetap sesuai peraturan daerah tentang rencana detail tata ruang dan peraturan zonasi serta perda tentang rencana tata ruang wilayah.
Jika pemilik lahan suatu saat ingin memanfaatkan lahannya yang sudah dihijaukan pemprov, pemprov bisa mengamankan dengan cara membuat regulasi yang menyatakan, pemilik lahan wajib memastikan 30 persen luas lahan tetap RTH, sedangkan 70 persen lainnya boleh untuk bangunan. Dengan demikian, RTH tetap tersedia dalam porsi yang cukup.
Taman di atap
Suzi mengatakan, pihaknya sudah merencanakan untuk tidak hanya mengandalkan pengadaan lahan dalam menambah luas RTH DKI. Contohnya, pemprov akan menyosialisasikan agar pemilik bangunan-bangunan tinggi di DKI menyediakan taman di atap gedung, atau membuat taman vertikal. Itu bisa dihitung sebagai tambahan RTH. ”Saat ini, kami sedang menyiapkan draf pergubnya,” ucapnya.
Namun, publik tidak akan bebas mengakses RTH di bangunan tinggi. Karena itu, menurut Yudi, pemanfaatan paling adil adalah dengan membuat RTH publik.
Salah satu pendiri jaringan gerakan advokasi pemanfaatan lahan kosong Wasteland Twinning, Alex Head, mendorong masyarakat untuk memanfaatkan lahan kosong di sekitar mereka sebagai ruang publik, misalnya dengan dijadikan taman sehingga menjadi paru-paru kota serta digunakan untuk beragam aktivitas bersama, seperti berolahraga dan berkesenian.
Wasteland Twinning memicu kerja sama di sejumlah negara untuk membuat proyek seni dengan obyek lahan kosong. Proyek itu untuk mendorong masyarakat di sekitar lahan kosong memikirkan cara terbaik memanfaatkan lahan kosong demi kepentingan publik.