Penyelesaian Utang dan Peningkatan Penerimaan Negara Disoroti
Oleh
Karina Isna Irawan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Berbagai persoalan di sektor keuangan intens diperbincangkan dalam sepekan terakhir atau menjelang debat kelima di Pemilu Presiden 2019. Setidaknya ada dua isu yang menjadi sorotan, yakni penyelesaian utang negara dan peningkatan penerimaan pajak.
Debat terakhir di Pemilu Presiden 2019 yang rencananya digelar, Sabtu (13/4/2019), akan diikuti oleh pasangan calon presiden-wakil presiden, Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno. Debat kali ini akan mengangkat tema ekonomi dan kesejahteraan sosial, keuangan dan investasi, serta perdagangan dan industri.
Hasil jajak pendapat Litbang Kompas, 9-10 April 2019, dengan 534 responden menunjukkan, mayoritas responden menilai ada dua hal yang penting diselesaikan calon di bidang keuangan dan investasi, yakni penyelesaian utang negara (19,29 persen) dan pendapatan negara dari pajak (13,86 persen).
Mengutip data statistik utang luar negeri yang dirilis Bank Indonesia, utang luar negeri Indonesia per Januari 2019 sebesar 383,3 miliar dollar AS. Dengan nilai tukar berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) pada Jumat (12/4/2019), yakni Rp 14.153 per dollar AS, jumlah utang itu setara Rp 5.424,8 triliun.
Rinciannya, utang pemerintah dan bank sentral sebesar 190,2 miliar dollar AS serta utang swasta, termasuk BUMN, sebesar 193,1 miliar dollar AS. Secara tahunan, utang luar negeri Indonesia Januari 2019 tumbuh 7,2 persen dibandingkan Januari 2018. Peningkatan utang bersumber dari pertumbuhan utang pemerintah di tengah perlambatan utang luar negeri swasta.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance Abra Talattov pun memprediksi, isu penyelesaian utang akan menjadi salah satu yang mengemuka di debat terakhir tersebut. Harapannya, perdebatan yang lahir kelak substansial bukan sekadar kritik atau klaim dari kedua kubu.
“Kita mau melihat kebijakan utang untuk 5 tahun ke depan bagaimana? Janji-janji politik itu bergantung pada kemampuan fiskal,” ujar Abra.
Menurutnya, ada paradoks dalam pengelolaan utang yang mesti diselesaikan. Peningkatan utang menyebabkan kemampuan APBN untuk membayar utang dalam jangka panjang makin berat. Rasio utang terhadap belanja Pemerintah Pusat saat ini mencapai 17 persen atau meningkat dari sebelumnya 11 persen.
Meski demikian, pemerintah sudah berupaya mengurangi penarikan utang baru. Pembiayaan utang dalam APBN 2019 sebesar Rp 359,3 triliun atau lebih rendah dari realisasi APBN 2018 sebesar Rp 366,7 triliun. Pada 2017, realisasi pembiayaan utang mencapai Rp 429,1 triliun.
Mengutip data Kementerian Keuangan, kebutuhan penerbitan surat berharga negara (SBN) bruto tahun 2019 sebesar Rp 825,7 triliun. Penerbitan SBN itu digunakan untuk membiayai utang jatuh tempo Rp 382,74 triliun, defisit anggaran (SBN neto) Rp 388,96 triliun, dan pembiayaan non-utang Rp 54 triliun.
Masalah utama
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah mengatakan, saat ini setidaknya ada dua masalah sektor keuangan Indonesia, yaitu suku bunga tinggi yang menyebabkan biaya ekonomi tinggi, dan struktur ekonomi lemah sehingga terjadi defisit transaksi berjalan.
Dibandingkan negara-negara kawasan Asia Tenggara, lanjut Piter, perkembangan sektor keuangan Indonesia masih rendah. Misalnya, defisit transaksi berjalan Indonesia menjadi salah satu yang terdalam dibandingkan negara tetangga, yakni sebesar 3 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).
Sebagai perbandingan, neraca transaksi berjalan Malaysia surplus 2,3 persen, Vietnam surplus 3 persen, Thailand surplus 7,5 persen, bahkan Singapura surplus 19 persen. Defisit neraca transaksi berjalan seperti dialami Indonesia, terjadi di Filipina, dengan besar 2,4 persen.
“Kalau defisit ini tidak diperbaiki, kurs rupiah sangat rentan terhadap tekanan eksternal yang ujungnya akan memengaruhi penerimaan negara,” kata Piter.
Terkait penerimaan negara, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo dalam berbagai kesempatan menyatakan, salah satu pekerjaan terbesar yang mesti diselesaikan adalah peningkatan rasio pajak.
Rasio pajak merupakan perbandingan antara penerimaan pajak terhadap PDB nominal. Rasio pajak mengukur kemampuan negara untuk membiayai kegiatan penyelenggaraan negara dengan pajak.
Rasio pajak tercatat terus menurun. Pada 2012, rasio pajak Indonesia 14 persen dari PDB. Rasio ini turun menjadi 13,6 persen dan 13,1 persen pada 2013 dan 2014, masa akhir dari ledakan harga komoditas.
Pada tahun-tahun berikutnya menjadi 11,6 persen (2015), 10,8 persen (2016), dan 10,8 persen (2017). Adapun pada 2018 sebesar 11,5 persen, sementara target APBN 2019 adalah 12,2 persen.
Menurut Prastowo, reformasi perpajakan tidak cukup sebatas penyederhanaan administrasi atau prosedur, tetapi harus menyentuh tataran kebijakan. Hal itu bisa dilakukan jika pemerintah mengedepankan konsistensi, kejelasan, dan kepastian dalam implementasi reformasi.